Buku Tanpa Kertas

Ah, betapa sulitnya bisa merangsang adrenalin membaca, apalagi gairah menulis buku karya sendiri. Itu tidak hanya terjadi di nusantara ini yang minat baca sebagian besar masyarakatnya memang masih tergolong 3L (loyo, lemas, lesu), tetapi juga menggejala di sejumlah negara tetangga. Padahal, sudah menjadi rahasia umum bahwa aktivitas baca –terlebih bila telah menjadi satu kegemaran– memberikan faedah yang luar biasa. Di antaranya berkat sensasi kelana intelektual yang asyik banget, suplai nutrisi batiniah yang bahkan dapat mujarab sebagai suplemen awet muda, termasuk hikmah dalam kitab suci yang bernilai ibadah, peluang menyesap wawasan luas sehingga bisa menjauhkan dari jurang kemiskinan, dan seterusnya. Memang, sepintas membaca buku terasa membosankan, sebelum menyelam ke dasar kenikmatan sensasinya yang tiada tara.

Geliat problem sosial seputar minat baca masyarakat itulah yang barangkali disadap sebagai sebuah fakta cukup menggiurkan naluri bisnis dan kemudian menjentik inspirasi salah satu produsen alat digital terkenal di AS, Playaway, untuk menelurkan inovasi peranti teknologi paling gres belum lama ini. Seperti pernah dirilis di kolom mungil Sementara Itu… di halaman utama koran ini beberapa waktu kemarin, Playaway meluncurkan produk berupa buku tanpa kertas (BTK). Yaitu, buku yang telah dimodifikasi menjadi sebentuk buku audiovisual. Pada peluncuran perdana, Playaway mengedarkan buku elektronik hasil modif buku novel seorang sastrawan Barat. Diyakini peredaran BTK bisa mendongkrak minta baca masyarakat, dengan harga yang dipatok lebih murah dibandingkan buku konvensional aslinya.

Munculnya BTK mengandaikan keniscayaan yang lekat membingkai potret kehidupan di era serba-teknologi seperti sekarang. Tepatnya, ketika berbagai produk teknologi –kebanyakan bermuasal dari Barat– makin dominan memuaskan hampir seluruh kebutuhan setiap orang secara cepat, praktis, dan relatif menghemat isi kocek; di tengah tuntutan merengkuh seabrek capaian optimal dalam kancah persaingan yang sedemikian ketat dengan mobilitas yang tinggi. Bisa dibilang aneka rupa peranti teknologi canggih sudah menjadi salah satu ikon gaya hidup yang lumayan digandrungi oleh manusia abad kini, sehingga pemanfaatannya seakan kian tak terelakkan. Sistem kinerja yang mengharuskan pemakaian perangkat serba-digital pun ikut memacu keranjingan banyak orang terhadap perkembangan teknologi berikut bermacam produknya yang sangat pesat dewasa ini.

Tentu kehadiran BTK bakal meramaikan pangsa pasar barang-barang elektronik. Mengingat demand masyarakat dunia terhadap peralatan macam itu cukup tinggi. Lebih-lebih bagi masyarakat Indonesia yang cenderung konsumtif sebagai bagian komunitas technomania. Lama sebelum BTK tercetus, peranti sejenis berwujud Alquran Digital (QD) pernah beredar di pasaran. Bisa jadi pemasaran BTK yang membidik segmen pasar lebih luas meliputi segenap lapisan sosial akan lebih prospektif, daripada pemasaran QD yang hanya menukik pada kalangan terbatas (mayoritas muslim). Dipastikan pula peredaran BTK akan turut memarakkan dunia perbukuan, lebih tepatnya ikut merangsek ke tengah arena kompetisi di antara penerbit buku berbahan baku kertas.

Bersamaan itu, sederet masalah –tanpa bermaksud apriori– membayang di pelupuk mata seiring mencuatnya BTK. Terutama jika buku elektronik itu mulai membanjiri estalase pusat perbelanjaan barang elektronik dan rak-rak toko buku di berbagai daerah negeri ini. Beberapa masalah yang mungkin timbul bukan sekadar secara ekonomis, namun tidak tertutup kemungkinan juga mengenai persoalan non-ekonomis. Dari sisi ekonomis, kemunculan BTK bukan mustahil membuat prospek bisnis perbukuan terancam. Pihak penerbit buku utamanya kelompok kelas teri dengan pendanaan amat minim yang selama ini megap-megap, jelas bertambah kelimpungan menjalankan bisnisnya. Mungkin tak lama lagi pula tidak sedikit penerbit buku yang gulung lapak, manakala pemasaran BTK berhasil mendominasi pasar.

Jika sudah demikian, unsur-unsur pelaku usaha yang tergabung dalam network penerbitan buku, baik langsung maupun tak langsung, juga akan terkena imbasnya. Antara lain pihak produsen kertas, percetakan, penghasil plastik, peracik lem buku, dan sebagainya bakal makin kehilangan order. Lalu para penjual buku loakan semisal di kawasan Kwitang Jakarta, Jalan Semarang Surabaya, dan sekitar Malioboro Jogja akan mengalami banyak kekurangan stok buku bekas dan lama kelamaan segera kukut. Para pengepul rongsokan yang biasanya menadah setoran tumpukan buku tak layak pakai dari tukang rombeng keliling sebagai pasokan ke pabrik-pabrik daur ulang kertas pun akan gigit jari. Ujung-ujungnya, BTK bisa meretas simpul mutual bisnis yang sekian lama terjalin, hingga menyumbat kesempatan mengais recehan rezeki bagi masyarakat kecil.

Dari sisi non-ekonomis, prediksi bahwa BTK dapat mengatrol minat baca belum terjamin membuahkan hasil signifikan kalau sample-nya masyarakat Indonesia. Pasalnya, konfigurasi masyarakat Indonesia yang masih terbilang masyarakat lisan justru akan lebih memilih sebatas berleha-leha mendengarkan ujaran yang keluar dari corong peranti BTK ketika melafalkan rangkaian teks buku, ketimbang motivasi menelaah untaian kalimat yang tersurat. Yang terjadi kemudian justru disfungsi BTK, ditandai dengan indikasi merebaknya perilaku masyarakat kian malas membaca. Dari sini pula muncul persoalan kebahasaan yang lazim bermula akibat kesenjangan antara “apa yang tertulis” dengan “apa yang dituturkan”. Mengingat jalinan kata beserta pertalian tanda baca (titik, koma, tanda petik, dll) merupakan kesatuan wacana yang mengemas konteks tertentu dan tidak cukup memadahi bisa dicerna atau pun diungkapkan semata lewat bahasa tutur.

Masalah lain yang juga mesti dicermati, bila peranti BTK memiliki kapasitas koneksi dengan perangkat komputer, maka bukan tidak mungkin kegunaannya memantik lebih dahsyat libido copy-paste bagi para pembajak buku atau karya tulis. Belum lagi, BTK pasti mempunyai tingkat radiasi yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan dan sifat rentan terjangkit virus sama halnya komputer dan telepon genggam. Karena itu, masyarakat perlu memertimbangkan plus-minus beredarnya BTK kelak secara seksama. Jangan karena terpesona oleh kemolekan BTK demi memanjakan hasrat hedonis, sedulur terlena dan tidak memikirkan antisipasi atas segala kemungkinan gelinjang negatifnya. Sementara, penolakan terhadap hadirnya BTK di dalam negeri bukanlah sikap elegan, tapi cermin sikap anti-teknologi kalau bukan anti-perubahan.

Inilah tantangan yang menarik bagi penerbit buku konvensional untuk segera membenahi beragam kekurangan, sekaligus melancarkan terobosan progresif agar tidak terhempas dari gelanggang persaingan global. Selebihnya, ketika tiba masanya buku tanpa kertas mengambil alih dunia perbukuan, buku kehidupan akan terasa hambar tanpa rona “kembang kertas”, kicau “burung kertas”, dan pendar “rumah kertas” (seperti lakon Teater Koma yang pertama) yang mendedahkan imajinasi romantika (cinta) anak bangsa. Waba’du, selamat datang buku tanpa kertas, selanjutnya terserah sampeyan!

Dimuat di rubrik "Di Balik Buku" edisi Mingguan Harian Jawa Pos tgl 11-Februari-2007
Lanjutkan baca...