Pentingnya Keahlian bagi Siswa SMA


ADA kabar cukup menggembirakan terkait dengan gagasan Diknas Surabaya yang berencana mewajibkan program keahlian bagi siswa SMA (Jawa Pos, 6 Desember 2005). Alasannya, ternyata banyak siswa SMA yang setelah lulus memutuskan untuk langsung mencari pekerjaan. Program tersebut diharapkan dapat membekali siswa dengan ragam ketrampilan. Dengan begitu, kelak bila siswa tidak berkeinginan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, dia siap berebut pekerjaan atau justru membuka lapangan kerja sendiri.

Diknas juga akan memberikan wewenang kepada sekolah-sekolah untuk menjalin partnership dengan perusahaan-perusahaan yang berperan mentransfer berbagai keahlian kepada siswa. Tampaknya, Diknas amat yakin bahwa aplikasi program tersebut bisa turut mencerahkan prospek masa depan para generasi muda. Terutama menyangkut kemudahan atas upaya pemenuhan kebutuhan berpenghasilan secara layak bagi segenap siswa pascalulus sekolah.

Gagasan soal program keahlian itu seharusnya terlaksana sejak lima tahun silam. Tepatnya ketika arus globalisasi memicu semakin sengitnya kompetisi mendapatkan pekerjaan bagi kalangan alumnus lembaga pendidikan formal maupun informal, khususnya di Surabaya. Minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia dan bejibunnya jumlah lulusan lembaga pendidikan setiap tahun mengakibatkan proses seleksi terhadap pencari kerja amat ketat.

Lebih-lebih, hingga kini umumnya instansi atau perusahaan seakan hanya memprioritaskan calon pekerja yang freshgraduate atau telah berpengalaman bekerja. Sekurangnya target rekrutmen sebuah perusahaan selalu lebih tertuju kepada lulusan yang telah memiliki keterampilan dasar pada posisi yang dibutuhkan.

Tentu persyaratan yang ditentukan oleh instansi atau perusahaan macam itu mustahil bisa dipenuhi sebagian besar lulusan sekolah. Utamanya mereka yang selama mengenyam pendidikan belum dibekali dasar keterampilan yang memadahi. Fenomena tersebut kerapkali menjadi "bom waktu" atas peningkatan jumlah pengangguran dari kelompok tanaga kerja produktif.

Sementara itu, diakui atau tidak, lembaga pendidikan formal (sekolah dan perguruan tinggi) sering kalah bersaing –dalam menyiapkan calon tenaga kerja yang kualifaid– dengan lembaga kursus yang selama ini pertumbuhannya bagaikan jamur di musim hujan. Itu disebabkan, lembaga kursus lebih mengedepankan praktik kepada para peserta didik, sejalan dengan tuntutan kualifikasi instansi atau perusahaan penyedia lowongan pekerjaan.

Implikasinya, terbukti para lulusan kursus lebih mudah diterima dan berkesempatan mengisi jabatan strategis di perusahaan tertentu. Sementara itu, lulusan yang berlatarbelakang pendidikan formal terpaksa harus rela antri di urutan berikutnya, meski mereka telah mengantongi ijazah paling rendah tingkat SMA. Itu pun jika bernasib mujur memperoleh panggilan tes wawancara.

Pada saat bersamaan, terjadi pergeseran paradigma para lulusan sekolah soal pilihan kuliah atau bekerja. Jika sebelumnya mereka lebih memilih meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi agar mudah mendapatkan pekerjaan, sekarang kebanyakan lulusan memilih bekerja dulu baru kuliah atau bekerja sambil kuliah. Mereka berpandangan, kuliah pada masa sekarang sekadar menambah titel dan keinginan kuliah lebih mudah direalisasikan –asal punya cukup biaya– daripada mencari pekerjaan. Dalam kondisi dilematis, lulusan sekolah cenderung menempuh studi di sebuah lembaga kursus agar bisa menyerap seperangkat keterampilan parksis dalam kurun waktu relatif singkat dibandingkan kuliah.

Dengan kata lain, modal keterampilan atau keahlian mutlak dimiliki oleh setiap lulusan yang siap bekerja selepas tamat sekolah atau kuliah. Tanpa adanya keterampilan yang bisa diandalkan, dapat dipastikan mereka akan tersisih dari bursa lapangan pekerjaan. Tentunya mereka sulit meraih kesukseskan yang diinginkan.

Untung, Diknas berpikiran progres untuk menjembatani masalah di atas dengan memunculkan gagasan mengenai program keahlian bagi siswa SMA. Kendati bisa dibilang agak terlambat dan masih sebatas wacana, namun gagasan itu perlu disambut dan diwujudkan. Apalagi, upaya pencapaian tujuan idealisme pendidikan ke arah "memanusiakan manusia" terasa absurd bila ditempuh melalui pengembangan ranah kognisi, afeksi, dan psikomotor siswa secara parsial.

Sebagaimana taksonomi tujuan pendidikan formal menurut Prof. Dr. Benyamin Bloom bahwa ketiga ranah tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Logikanya, tingkah laku setiap individu (siswa) lazimnya diawali dengan pengetahuan, kemudian sikap, dan lalu berbuat. Pada gilirannya, pendidikan sekolah perlu pula mengusung orientasi pragmatisme, yakni adanya jaminan perolehan pekerjaan bagi seluruh alumninya.

Seiring dengan itu, beberapa masukan kiranya perlu disampaikan dalam menyikapi penerapan rencana program Diknas tersebut. Pertama, pemberian keahlian laiknya tidak melulu bersifat akademik seperti kompetensi bidang administrasi (umum dan perkantoran), akuntansi, sekretaris, kenotariatan, dan sejenisnya. Tapi, keahlian yang diberikan hendaknya juga bertolak dari pentingnya eksploitasi potensi bakat siswa semacam keterampilan seni (musik, olah vokal, koreografi, lukis, hasta karya, bahkan teater), linguis, jurnalistik, grafis, enterpreneur, dan sebagainya.

Kedua, proses transformasi materi keahlian diusahakan tidak mencerabut eksistensi siswa dari ikatan sosio-kultural lingkungan sekitarnya. Jangan sampai keterampilan yang ditanamkan hanya mengiming-iming siswa dengan gebyar nan glamouritas potret dunia metropolitan. Sebaliknya, bagaimana dengan keahlian yang diperoleh itu, siswa menjadi anggota komunitas yang semakin peduli untuk memberdayakan segala aspek muatan lokal yang meliputi potensi alam dan relasi kancah sosialnya.

Ketiga, siswa yang dinyatakan telah berhasil mengikuti program keahlian berdasar parameter penilaian yang ditetapkan mestinya berhak memperoleh sertifikat yang dilegalisasi bersama antara sekolah, instansi atau perusahaan rekanan, dan Diknas. Sertifikat tersebut sangat berharga sebagai referensi penunjang kompetensi siswa manakala mengajukan lamaran pekerjaan, sekaligus akan menjadi pertimbangan yang menentukan penerimaannya di tempat kerja.

Keempat, Diknas dapat berperan sebagai mediator kerjasama antara sekolah dan instansi atau perusahaan terkait untuk menyelenggarakan aktivitas magang bagi siswa. Sangat diharapkan, kontrak itu benar-benar mencerminkan bergainning position yang menguntungkan semua pihak serta mencakup tentang kepastian rekrutmen dan jaminan perlindungan hukum bagi siswa.

Dimuat di halaman "Opini Metro" Harian Jawa Pos, 21 Desember 2005
Lanjutkan baca...