Kisah Cinta Adam dan Hawa

Prolog

Tuhan mencipta segalanya, termasuk jagat semesta berikut isinya, dengan Cinta-Nya yang sungguh berbeda. Cinta yang sungguh murni jauh melebihi murninya kebersamaan antara debur samudera yang mengulum bibir pantai sepanjang waktu. Cinta yang sungguh suci jauh melebihi sucinya kebersamaan gulita yang menyelimuti malam, juga terang mentari yang menemani pagi hingga senja. Dan Cinta yang tak habis dilukiskan dengan kata-kata, hanya secercah mungkin bisa diresapi oleh para jiwa yang senantiasa dahaga akan Kasih-Nya yang tanpa batas ruang dan waktu.


Masa itu, dengan Cinta-Nya, Tuhan telah menciptakan bumi dan sejumlah planet (kosmos) juga mikrokosmos lainnya sebagai permulaan kehidupan. Namun, matahari belum berada di pusat edar untuk menerangi bumi, sehingga bumi ini masih gelap gulita. Meski sudah ada gunung-gunung, sungai, tetumbuhan, bunga-bunga yang indah, berjenis-jenis hewan, dan sebagainya. Tapi waktu itu, belum ada sosok manusia di bumi. Hanya kerumunan jin yang menyesaki dan menguasai antero bumi.

Hmm... betapa hanya secercah Cinta-Nya telah menjelma segala yang ada di bumi, di langit, bahkan segala yang tidak ada di bumi dan di langit. Dari sini sebenarnya kita sudah bisa memetik pelajaran semisal tentang "maiyah" (kebersamaan) dan perbedaan. Coba renungkan bintang-bintang yang kemudian berjuluk gemintang. Jelas bintang-bintang itu terkesan berbeda satu sama lain, baik dari ukuran maupun terang cahayanya dalam pandangan kita. Tapi walau begitu, bintang-bintang tetap dalam orbit "maiyah".

Bahkan, perbedaan yang benar-benar beda sekalipun di antara makhluk atau ciptaan-Nya justru meneguhkan eksistensi antarsesama makhluk yang lain. Misalnya tentang tumbuhan: disebut tumbuhan karena ada akar, batang, daun, dan buah. Disebut akar karena ada batang. Disebut batang karena ada cecabang. Disebut cecabang karena ada reranting. Disebut reranting karena ada dedaunan. Disebut dedaunan karena ada bebuah. Disebut bebuah karena ada biji-biji, dst. Juga manusia disebut manusia karena ada tetumbuhan. Disebut tetumbuhan karena ada hewan, dst.

Semua warna-warni perbedaan dan maiyah pada segala ciptaan-Nya merangkai bait-bait puisi mahaindah tentang Keagungan Cinta-Nya yang Hakiki. Curahan keindahan puisi itu akan lebih terasa nikmatnya ketika kita meluangkan waktu untuk "Ngaji Alam" di sela-sela rutinitas duniawi kita. So, perbedaan, maiyah, kemudian nanti cinta adalah bagian "fitrah" yang bersifat azaly. Allahu Akbar, Puji Tuhan!

Bait-bait puisi mahaindah tentang Keagungan Cinta-Nya pun kemudian berlanjut dengan rangkaian kisah tak kalah asyiknya seputar terciptanya surga. Sebuah tempat atau keagungannya melebihi istilah "tempat" yang di dalamnya mengalir sejuknya gemericik air telaga Kautsar, juga oleh indahnya taman Firdaus atau Eden, dan berbagai keindahan lainnya yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, diresapi dengan perasaan, maupun dibayangkan dalam angan-angan.

Masa itu, secercah Cinta-Nya juga telah membias menjadi cahaya dan dari cahaya itu terciptalah para malaikat. Secercah Cinta-Nya menyemburatkan pula bias yang lain berupa seberkas api dan dari api itu terciptalah iblis. Para malaikat dan iblis waktu itu, pada mulanya, tinggal di surga.

Dan beberapa masa kemudian Ia berkehendak menjelmakan secercah Cinta-Nya menjadi sosok makhluk yang kelak tercipta dalam keadaan "ahsan taqwim" (sebaik-baik bentuk). Makhluk itu adalah manusia pertama, sekaligus "khalifah fi al-ardh" (pemimpin di bumi).

Sejak itu, semesta raya mulai lebih berwarna karena Tuhan telah memoles kehampaan layaknya selembar kanvas putih dengan hadirnya beragam ciptaan-Nya. Aneka kuntum cinta (baik dalam wujud komponen galaxi, gemintang, dan mahaeksotisme surga maupun makhluk semisal para malaikat dan iblis) yang bersemi sebelumnya dari secercah Cinta-Nya, senantiasa menyebutsucikan Nama-Nya serta bersenandung puji-pujian atas Keagungan-Nya. Sejenak kemudian Tuhan memanggil para malaikat yang memang tercipta untuk melulu mengagungkan-Nya.

Tuhan lantas menyampaikan Kehendak-Nya menciptakan manusia (pertama) selaku pemimpin di bumi dan meminta komentar para malaikat tentang hal itu. Oh my God! Betapa Ia menghargai banget keberadaan segenap makhluk-Nya hingga Ia masih berkenan sharing. Coba bayangkan, bukankah Ia memiliki Kuasa penuh melakukan apapun yang dikehendaki cukup dengan berkata “Jadilah!” (jauh lebih dahsyat dari sekadar “simsalabim”) dan tanpa harus dengan persetujuan siapapun, karena Kehendak mutlak memang hanya ada di “tangan”-Nya? Kiranya, ini membiaskan pelajaran bahwa setiap rencana ataupun masalah yang penting hendaknya lebih dulu dibicarakan secara bersama-sama sehingga diharapkan bisa mencapai hasil yang terbaik. Para orang tua zaman dulu juga pernah berpesan bahwa dua kepala lebih baik dari hanya satu kepala.

Lalu apa komentar para malaikat waktu itu? Sayang, para malaikat terburu-buru berapriori atas Kehendak-Nya tersebut. Para malaikat justru terkesan balik mempertanyakan mengapa Tuhan hendak mencipatakan manusia apalagi sebagai pemimpin di bumi? Padahal, manusia diyakini hanya akan berbuat maksiat, merusak alam, demen berselisih, bahkan doyan saling menumpahkan darah hanya gara-gara masalah sepele kelak. Tapi dengan sifat Maha Bijak-Nya selanjutnya Ia pun memungkasi anggapan para malaikat tersebut dengan penegasan bahwa Ia lebih Mengetahui segala apa yang (belum/tidak) diketahui oleh para malaikat maupun semua hamba dan makhluk-Nya! Dan sungguh teramat laik Ia tetap berkehendak mencipatakan manusia!

* Adam *

Maka, dimulailah lelaku Mahakreasi-Nya dalam rangka penciptaan manusia. Secara singkat, Ia menciptakan manusia (pertama) saat itu dari tanah dengan sebaik-baik bentuk. Anatomi jasadnya sungguh berbeda dan lebih sempurna ketimbang makhluk-Nya yang lain yang sudah tercipta pada masa itu maupun yang akan mengada berikutnya hingga akhir kisah kehidupan dunia fana ini nanti. Lebih dari itu, Ia menyematkan naluri (jauh lebih sempurna dari insting), akal-pikiran, nurani, serta budi pekerti dalam pribadi bakal makhluk yang satu ini. Ia pun menyisipkan pendar sifat-sifat ketuhanan guna mengimbangi bahkan meredam potensi gejolak nafsu kebinatangan yang juga melekat pada diri manusia. Pada gilirannya, Ia meniupkan “ruh” seiring Ucapan-Nya “Jadilah!”, maka seketika menjelmalah sosok manusia pertama yang sangat rupawan lahir dan batin dan kemudian diberi nama “ADAM”!

Hanya saja, rupanya Ia masih menyisakan sedikit kekurangan dalam penciptaan Adam demi hidden agenda yang tak kalah mahahebatnya di lain waktu. Allahu Akbar, Puji Tuhan...!

Hadirnya Adam membuat seluruh ciptaan terutama para malaikat terpesona seraya melantunkan puja-pujian kehadirat-Nya pada saat itu. Para malaikat dengan tulus memenuhi perintah-Nya. Hanya iblis yang menolak perintah tersebut. Tuhan pun menanyakan kenapa iblis tak sudi bersujud kepada Adam. Dengan jumawa iblis menjawab bahwa ia lebih mulia karena tercipta dari api ketimbang Adam yang tercipta dari tanah. Maka, atas pelanggaran itu Ia meminta iblis untuk keluar dari surga dan selanjutnya menempati tempat baru yang lebih pantas untuknya yaitu neraka.

Sebagian orang mungkin membenarkan penolakan iblis tersebut dengan alasan bahwa perintah bersujud kepada Adam sama artinya menyembah kepada selain Tuhan dan jelas bertentangan dengan kehendak-Nya, sehingga iblis tidak serta merta bisa diusir dari surga. Tapi, apakah memang demikian maksud-Nya? Bagaimana jika Ia meminta iblis keluar dari surga lantaran iblis telah membangkang, bukan karena menolak menyembah kepada selain Tuhan? Dan iblis pantas menerima sanksi dari Tuhan karena telah ingkar terhadap perintah-Nya.

Lagi pula kejumawaan iblis yang merasa lebih mulia karena dirinya tercipta dari api sedangkan Adam hanya tercipta dari tanah tidak sepenuhnya bisa dibenarkan. Sebab, jika dipikir-pikir unsur tanah lebih banyak mengandung manfaat dan kegunaan dibandingkan api maupun cahaya. Tanah bisa memadamkan api dan meredam bias cahaya. Bukankah dengan demikian tanah mempunyai kelebihan daripada api maupun cahaya? Ini hanya pemikiran saya lho, dan pasti ada dalih ilmu pengetahuan yang bisa lebih tokcer menjelaskan perkara tersebut secara rasional!

Peristiwa ini mengandung pelajaran, bahwa setiap makhluk termasuk manusia mempunyai kebebasan berkehendak. Betul, bahwa segala ketentuan tentang perjalanan hidup manusia telah digariskan oleh-Nya. Namun Ia juga menganugerahkan kemerdekaan kepada manusia untuk menentukan pilihan. Karena itu, ada idiom bahwa TIDAK ADA PAKSAAN DALAM AGAMA MAUPUN BERKEYAKINAN. Ia hanya mengabarkan tentang jalan-Nya dan jalan yang bisa menjerumuskan manusia ke jurang kesesatan. Selanjutnya manusia sendiri yang memilih jalan yang akan dilewatinya berikut risiko yang akan ditanggung.

Selain itu, kejadian penolakan iblis bersujud kepada Adam juga memberikan hikmah bahwa segala perbuatan yang mencerminkan pengingkaran terhadap perintah-Nya memiliki konsekuensi sanksi. Nah, ini selaras dengan pemikiran manusia di kemudian hari (sekarang) yang juga menetapkan hukum alam tentang reward (penghargaan) dan punishment (hukuman) atas perbuatan manusia. Artinya, sejak peristiwa itu sebenarnya Ia mengajarkan bahwa agama adalah rasional. Kendati memang ada hal-hal yang tak terjangkau oleh rasio manusia.

Kembali tentang kehadiran Adam, kemudian Ia mengajarkan Adam tentang segala yang ada di surga. Oh iya, ada yang terlewat. Gelapnya surga kemudian dialihkan menjadi gelapnya malam di dunia (bumi) sehingga surga menjadi terang-benderang. Sedangkan terang dan panasnya neraka dialihkan menjadi terangnya dunia (bumi) pada siang hari, sehingga neraka kemudian menjadi gulita. Jadi, gelapnya malam di dunia adalah peralihan suasana surga, sehingga kita lebih merasa nyaman ketika malam hari ketimbang saat siang hari. Dengan kata lain, Adam menjalani masa “ospek” selama di surga sebagai bekalnya hidup di bumi kelak, sebab segala yang bertebaran di surga termasuk nama-nama benda atau tempat merupakan gambaran segala hal di bumi. Adam pun bersuka cita menjalaninya.

Kendati demikian, drama penentangan iblis masih membekas dalam ingatan Adam, bercampur rasa kehilangan yang sesekali mencungul dalam batinnya. Ya, kehilangan bukan karena perpisahan lahiriah untuk sementara atawa selamanya. Tapi, kehilangan sebab teman serasa tak lagi berasa senasib, empatik, serta pengertian seperti dulu; hanya gara-gara lepas kendali untuk tetap tulus saling menghargai.

Adam juga merasakan, betapa perlakuan-Nya sungguh Mahabijaksana kepada makhluk sebengal iblis sekalipun. Betapa sejatinya Ia tak pernah bermaksud mengusirnya dari surga. Lantaran dalam pandangan kita, “mengusir” terbilang perbuatan kasar dan jelas Ia tak akan melakukannya termasuk kepada siapapun. Tapi, iblis sendirilah yang mengambil pilihan itu bermula dari keingkarannya, juga permintaannya hendak menjerumuskan para hamba-Nya sampai kiamat nanti yang mengesankan sikap iri, dendam, congkak, dengki, angkuh, dst.

* Hawa *

Waktu terus berputar. Kuntum-kuntum bunga merekah nan semerbak wangi di taman Eden (Firdaus/Tamansari Swargaloka). Gemericik air telaga Kautsar mengalunkan irama syahdu tentang Kasih-Nya yang tanpa batas dan tanpa pandang bulu. Secercah Cinta-Nya juga kian tumbuh menjadi tunas-tunas cinta baru yang ohoy sungguh indahnya. Sementara Adam terus mengenal dan bersahabat dengan segenap entitas surgawi. Juga belajar tentang menjadi manusia, bukan sekadar manusia purba. Hingga.....

Entah bagaimana mulanya gelora perasaan misterius tiba-tiba menyeruak dari palung hati Adam yang terdalam. Perasaan yang merentang jedah panjang sehingga pendulum waktu terasa berayun sangat lambat. Perasaan yang mengusik pikirannya, seolah ada yang kurang juga membuatnya bertanya-tanya lalu mencari seakan-akan ada yang hilang dalam dirinya. Perasaan membutuhkan yang ia sendiri tak tahu apa yang diinginkannya. Perasaan yang teramat melenakan sekaligus melunglaikan sekujur dayanya. Aha, ternyata secercah Cinta-Nya juga mulai menyemai sesuatu yang berbeda di taman kalbunya, yang tak sanggup ia hentikan dengan segala cara.

Gelora itu menandai bahwa manusia pasti berlumur kekurangan, sesempurna apapun diri berikut kehidupannya. Mungkin juga pertanda buncahan hasrat manusia tak pernah benar-benar pupus dalam putaran waktu yang sedemikian lamban hingga ajal menjemput. Sekali tempo manusia akan pula bertanya-tanya, mencari, serta membutuhkan. Di lain kesempatan manusia menjadi tidak tahu, kehilangan arah, terlena, untuk kemudian tersungkur lunglai. Hmmmmm.....

Tuhan sangat Memahami apa yang sedang dialami oleh Adam saat itu. Karenanya, Ia segera berkehendak Mencipta sesuatu yang dicari dan dibutuhkannya. Para sobat tentu masih ingat kan ketika pada bagian akhir Season 3 kisah ini sebelumnya, aku menulis begini: Hanya saja, rupanya Ia masih menyisakan sedikit kekurangan dalam penciptaan Adam demi hidden agenda yang tak kalah Mahahebatnya di lain waktu. Nah, dari secuil kekurangan (tulang rusuk) Adam itulah, dengan “Kun”-Nya Ia menjelmakan sosok manusia serupa tapi tak sama dengan Adam yang kelak dipanggil “Hawa”.

Eits, tunggu dulu! Hawa memang terlahir dari sedikit “kekurangan” Adam. Tapi tidak serta merta berarti jatidirinya beserta segenap keturunannya lemah, lebih rendah, dsb. Bisa jadi justru sebaliknya. Coba pikirkan, hanya dari secuil rusuk sosok Hawa bisa sesempurna wujud Adam dengan Kehendak-Nya. Bedanya cuma soal jenis kelamin dan bentuk sejumlah organ yang pada dasarnya hanya menyesuaikan karakteristik maupun peran masing-masing di kemudian hari.

Bayangkan pula, bagaimana jadinya Adam tanpa Hawa? Juga rona dunia ini seandainya hanya dihuni manusia berikut makhluk golongan lelaki seluruhnya? Dari sinilah terasa banget arti penting keberadaan perempuan yang turut menahbiskan hakikat manusia yang selalu akan membutuhkan sesama, tak bisa hidup seorang diri, serta senantiasa berbalut ragam perbedaan dalam persamaan kedudukan, hak, dan martabat. Selebihnya, kisah hidup manusia diwarnai romansa berpasangan.

Jadi, sejak masa tak berbilang Ia Menghendaki manusia TAK SATU UMAT; melainkan berbeda-beda untuk saling mengenal, bersama, berpasangan, dst! Sebagaimana juga takdir sekalian makhluk selain manusia. Di sisi lain, bagi-Nya antara lelaki dan perempuan adalah mitra setara yang berbekal segala kelebihan dan kekurangan bersama-sama saling berbagi, melengkapi, mengerti, serta menghargai guna merajut harmoni kehidupan. Perkara aksi saling membenci, menyakiti, dan merendahkan bahkan disertai kekerasan terutama secara disengaja; sesungguhnya bukan lagi soal lelaki dan perempuan. Tapi lebih dikarenakan jiwa sedang terjangkit pilek berat hingga kronis yang mesti segera mendapat pertolongan.

Satu lagi, sekadar catatan bahwa perempuan dianugerahi tiga peran mulia yang tak bisa digantikan oleh lelaki seperkasa apapun; yakni mengandung, melahirkan, lalu menyusui. Begitu juga tersedia peran spesial yang seharusnya dimainkan secara apik oleh kaum lelaki semisal melindungi, memberikan sandaran batin, juga menjadi teladan (bukan sebatas pemimpin) dalam bahtera kebersamaan menuju dermaga kebahagiaan. Selisih paham atau keliru pengertian hendaknya cuma menjadi bumbu yang akan semakin menguatkan cita rasa kasih sayang. Lalu, siapa bilang perempuan hanya pantas di sumur, di dapur, dan di kasur belaka? Sesekali boleh-boleh saja bertukar peran dalam keadaan tertentu sejauh tetap memberikan rasa nyaman satu sama lain.

Seluruh makhluk amat mengapresiasi kehadiran Hawa sebagai “garwa” (sigare nyawa/separuh nafas) Adam waktu itu. Bunga-bunga tamansari swargaloka pun bergumam, “Sungguh perempuan adalah seberkas keindahan Tuhan yang memendarkan spektrum keindahan semesta!” Perempuan bukan semata sangkar madu, tapi dirinya benar-benar madu yang turut membubuhkan manisnya romantika hidup. Tak heran, ketika Adam dan Hawa dipertemukan pertama kali, seketika Adam terpesona dan klepek-klepek. Mungkin perasaan yang berkecamuk dalam batinnya, “kesan pertama begitu menggoda...” Selanjutnya terserah Sampean, wahai bapak Adam! Hehehe... Dan naluri Adam pun tergugah hendak menyentuh sang Hawa.

Belum sampai Adam melakukannya, Tuhan lebih dulu mencegahnya lantas memerintahkan keduanya untuk merayakan kebersamaan mereka berdua dengan pernikahan. Tau nggak, sob? Ternyata Tuhan sendiri yang menikahkan Adam dan Hawa lho... Momen tersebut menandai titik awal perayaan maiyah dan cinta sejoli leluhur manusia yang kelak menoreh novel kehidupan, sebagaimana pula kebersamaan kita di Maiyah Cinta ini, walau dengan nuansa beragam cerita yang berbeda.

Tatkala Adam dan Hawa usai dinikahkan, sekali lagi, dengan Kehendak-Nya tiba-tiba dari arah tubuh bagian rusuk (sulbi) Adam menyemburat ruh-ruh yang kelak bersemayam dalam raga setiap generasi manusia yang terlahir hingga akhir usia dunia. Tuhan kemudian berkata kepada para ruh itu, “Apakah kalian semua bersaksi bahwa Aku adalah Tuhan kalian?” Masing-masing ruh itu pun serentak menjawab, “Ya, kami bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan kami!”

Ah, semakin jelas bahwa Tuhan selalu punya rencana tersembunyi yang memendam senarai hikmah. Dan untuk bisa meresapinya harus memakai “tool” yang tersembunyi pula yakni NURANI!

* Romantisme di Surga *

Perayaan maiyah dan cinta Adam dan Hawa masih jadi perbincangan makhluk-makhluk di surga, seraya bersenandung puji-pujian kehadirat-Nya penuh kekaguman. Bintang-bintang semakin bersinar binar. Bunga-bunga semakin merekah indah seiring mulai tumbuhnya putik atau pun benang sari. Waktu itu, Adam duduk termenung di atas sebuah batu di tepi telaga Kautsar. Pandangannya menerawang ke dalam genangan air yang sungguh bening dan beriak tenang.

Adam masih bertanya-tanya sendiri tentang Hawa: seseorang yang akan turut mengisi hari-hari bersamanya. Entah mengapa pula kemunculan Hawa terasa menjadi jawaban atas gelegak perasaannya sebelumnya. Perasaan yang merentang jedah panjang sehingga pendulum waktu terasa berayun sangat lambat. Perasaan yang mengusik pikirannya, seolah ada yang kurang dalam dirinya. Perasaan membutuhkan yang ia sendiri tak tahu apa yang diinginkannya. Perasaan yang teramat melenakan sekaligus melunglaikan sekujur dayanya.

Dalam batinnya juga masih terngiang-ngiang penjelasan Tuhan mengenai riwayat perdana kehadirannya. Mula-mula Tuhan menciptakannya dari tanah, lantas menjadi sosok makhluk “ahsan taqwim” (sebaik-baik bentuk) berspesies manusia laki-laki. Namun walau begitu, ia tidaklah benar-benar sempurna, lantaran ternyata struktur tulang rusuk dalam tubuhnya kurang secuil.

Lalu, dari bagian kecil rusuknya itulah Tuhan menciptakan manusia kedua bernama Hawa yang serupa tapi tak sama dengannya. Sosok lain yang merupakan bagian dirinya, tapi dengan Kehendak-Nya bisa menjadi pribadi yang berbeda. Pribadi berkodrat perempuan dengan karakteristik jasmani, pikiran, hati, dan perasaan tersendiri. Pribadi yang memiliki dunianya sendiri tapi senantiasa tersambung dengan dunianya.

Dari situ, ia menyadari bahwa manusia seperti dirinya termasuk juga Hawa sesungguhnya tiada yang sempurna. Yang ada hanyalah keniscayaan untuk saling menggenapi kekurangan dan menghargai kelebihan satu sama lain. Bukan saling menyakiti apalagi merendahkan hanya gara-gara perbedaan yang tak sungguh berbeda.

“Hey, mengapa kulihat sejak tadi kau berdiam diri?” tiba-tiba terdengar suara yang mengagetkannya. Seketika lamunannya buyar.
“Oh, rupanya kau, Hawa!” balasnya terbata-bata setelah mengetahui si empunya suara.

“Apa kau sedang memikirkan sesuatu?” tanya Hawa lagi, lalu mengambil tempat di sisinya.
“Hmmm... iya neh!” jawabnya sambil menerawang.

“Omong-omong, apa yang sedang kau pikirkan hingga selarut tadi?” tanya Hawa ingin tahu.
“Aku sedang memikirkan dirimu?”

“Memangnya ada apa dengan aku?” selidik Hawa.
“Entahlah, aku sendiri tak tahu apa yang kupikirkan tentangmu sebenarnya. Yang jelas aku merasakan bahwa hadirmu telah membuat diriku berarti dengan menegaskan bahwa aku ada!” balasnya singkat sambil menghela nafas.

Entah kenapa kata-kata Adam sempat menyihir Hawa hingga terdiam dan tersipu malu mendengarnya. Dalam hati, Hawa serasa bermandikan rinai embun pagi. “Sungguh Agung Tuhan yang telah membisikkan kata-kata yang menyejukkan itu dalam hati Adam, lalu menyuarakannya lewat bibirnya!” Hawa membatin sendiri. Hawa juga yakin bahwa kata-kata Adam juga keluar dari lubuk kalbunya.

“Wahai Hawaku! Ceritakanlah lebih banyak tentang siapa dirimu sesungguhnya!” bisik Adam lirih sambil meraih tangan Hawa dengan lembut. Lagi-lagi Hawa hanya bisa terdiam dan wajahnya semakin tertunduk dengan perasaan berkecamuk.

bersambung sob...
Tambahkan Komentar

0 comments