Tayangan Religi Bermasalah RCTI di Bulan Puasa


SEMBARI bersantai usai sahur di pagi-pagi buta tempo hari, saya menonton program televisi bertajuk Hadits-Hadits Palsu? untuk kedua kalinya. Acara yang ditayangkan RCTI saban hari sekitar pukul 04.30 pagi –tampaknya baru dan khusus– selama bulan puasa kali ini.

Tayangan yang dipandu host Jono ”Gugun Blues Shelter” bareng Hafiz Salim itu diawali narasi berikut cuplikan ilustrasi fenomena sosial berkenaan dengan geliat keseharian masyarakat, ndak kecuali pelaksanaan ibadah puasa dan bulan Ramadhan seperti kini. Sembari kemudian melansir hadits tertentu, rata-rata dawuh Bapak Muhammad saw yang sudah jamak. Disusul komentar tokoh agama yang selanjutnya mengklasifikasikan hadits terkait. Kebanyakan lantas cenderung dikategorikan sebagai hadits palsu? Wuaduh...

Ustadz atau kiai yang dipilih, tampaknya menjadi komentator utama, yakni Opa Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yaqub yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta serta ahli hadits dengan sederet latar belakang studi dan penghargaan utamanya di bidang ilmu hadits. Acara yang cukup pendek durasinya itu digenapi pula komentar ustadz lainnya semisal Om Ustadz Andi Rahman dan lain-lain.

Ketika pertama kali menyaksikannya bikin dahi berkerut dengan serangkum pertanyaan dalam benak. Stasiun televisi sekaliber RCTI kok menayangkan tontonan yang cetar membahana semacam itu yo? Sepintas judulnya saja terkesan begitu menyentak pikiran, untuk ndak dikatakan provokatif banget. Para sedulur terutama kaum muslim-muslimah seperti saya yang teramat dahaga guna lebih menyelami sumber hukum kedua setelah Alquran tersebut juga bukan mustahil bakal surprised mendengarnya, apalagi menontonnya hehehe...

Embel-embel ”hadits palsu” yang juga disematkan sebagai judul tayangan itu, mengingatkan saya pada serangkaian informasi yang lumayan sporadis mengemuka, khususnya di berbagai ruang social media dan internet belakangan ini. Saya pun bertanya-tanya, apakah wacana serupa dalam acara tersebut, nanti berkaitan pula dengan salah seorang pengkaji hadits yang sering dijadikan sandaran dalam beragam kesempatan di jejaring sosial selama ini yo? Dan apakah seliwerannya telah leluasa mendapatkan ruang media massa segede RCTI, sehingga akan semakin massif tersaji ke hadapan khalayak luas mendatang?

Beruntung, saya ndak perlu menunggu lama menemukan jawaban permulaannya. Kala menyimaknya untuk kedua kalinya pagi itu (11/7), terlontar juga nama penggila hadits bersangkutan. Dalam hal ini, Om Andi sempat menyebutkannya saat mengomentari hadits soal tiga fase hari-hari Ramadhan, serta tampak malu-malu menyatakannya sebagai hadits ”semi palsu” setelah Opa Yaqub memberikan komentar.

Siapa lagi kalau bukan Syech al-Albani, saya lebih suka menyebutnya Albani saja karena pengucapan dua kali suku kata ”al-” demikian terasa ribet di lidah. Entah apakah Om Andi sebatas keceplosan atau memang kadung terbiasa mengadopsi serangkaian pendapat komentator hadits asal negara Albania ini dari berbagai tulisannya sebagai bagian rujukan? Tentu hanya diri Om Andi dan Tuhanlah yang lebih mengetahuinya hehehe...

Opa Yaqub kiranya sudah ndak diragukan lagi kemumpuniannya di bidang hadits. Dengan sederet background pendidikan yang memukau, beliau memang layak dimintai fatwanya lebih-lebih soal hadits. Selain itu, beliau juga sering menjadi narasumber dalam berbagai forum, termasuk pernah mengasuh rubrik khusus hadits di Majalah Amanah pertengahan 1990 silam. Belum lagi, beliau telah menulis buku mengenai sejumlah hadits yang berkembang di masyarakat, berumbul Hadis-Hadis Bemasalah cetakan pertama tahun 2003.

Begitu pula dengan Om Andi yang turut nongol memberi penjelasan dalam acara itu, tentu kapasitas pemahamannya mengenai hadits meyakinkan banget. Selain kerap mengisi berbagai acara dan forum, beliau juga merupakan penggiat di sejumlah lembaga pendidikan. Di antaranya beliau termasuk ustadz di Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah asuhan Opa Yaqub.

Hanya, disayangkan banget tayangan keluaran RCTI itu cenderung berupa cuplikan layaknya sinema trailer lainnya. Padahal, sebenarnya muatan bahasannya terbilang berat lho. Walau deskripsinya pada situs resmi stasiun televisi nasional tersebut ditulis bahwa penayangannya terkemas dengan bahasa ringan. Maka, pemutarannya cenderung berwujud ”vonis” atas hadits-hadits yang disebutkan. Kalau pun disertai penjelasan, terkesan nyaris tanpa referensi terpercaya yang komprehensif.


Opa Yaqub sendiri memerlukan waktu sembilan tahun untuk menghimpun dan menelaah hadits-hadits yang dipermasalahkan masyarakat dan baru meliputi 33 hadits yang kemudian diterbitkan bertitel Hadis-Hadis Bermasalah sedekade lampau. Itu pun dalam muqadimahnya, beliau ndak melabeli bukunya Hadis-hadis Palsu dan Lemah Sekali, melainkan cukup memakai judul Hadis-Hadis Bermasalah dengan penulisan kata ”Hadis” bukan ”Hadits” sebagaimana ejaan dari transelerasi kata asalnya.

Lebih disayangkan lagi, keterangan penopang komentar para narasumber acara itu, kok masih bersandar –salah satunya– pendapat Albani seperti diungkapkan Om Andi pada episode beberapa hari kemarin (11/7) yo? Taruhlah misalnya berkaitan dengan hadits tentang hari-hari Ramadhan, bukan ”Ramadan” seperti tertulis pula di web RCTI yang bila diartikan ”sakit mata yang parah hampir buta” kendati sudah kaprah dipakai hampir semua media. Sedangkan penulisan kata Hadits pun berbeda antara tulisan dalam gambar dan judul deskripsi di portal televisi saudara kandung MNCTV dan Global TV tersebut.

Dalam karya tersebut beliau menuliskan judul Ramadhan Diawali Rahmat untuk bahasan hadits ini. Meski saat acara episode pagi itu beliau ndak tampak menyebutkan Albani sebagai salah satu rujukan komentarnya. Namun beliau mencantumkannya secara gamblang pada bagian penelaahan hadits ini dalam bukunya. Dari sini, beliau kesannya ndak benar-benar paten mengategorikannya.

Beliau menyatakan berdasarkan, antara lain, menurut ahli Hadis masa kini, Syeikh Muhammad Nashir al-Din al-Albani (dalam kitab Silsilah al-Ahadits...) mengatakan bahwa Hadis ini adalah munkar –yang kemudian juga dinyatakan– tidak berlawanan dengan pernyataan Imam Suyuti. Lalu beliau melanjutkan bahwa, hadis munkar adalah bagian dari hadis dha'if. Selanjutnya ditegaskan, hadis ini termasuk kategori hadis yang sangat lemah dan tidak dapat dipakai sebagai dalil apa pun. Dan menurut beliau, sebagai hadis dha'if (lemah), ia (hadits ini) menempati urutan ketiga sesudah matruk (semi palsu) dan maudhu' (palsu) dalam tulisannya (Yaqub, 2003:30-31).

Jangan heran dari gestur beliau saat berkomentar masih kentara menyiratkan keraguan. Sementara, ndak mengherankan bila sebagian kalangan menilai karya beliau menyisakan kekurangan. Utamanya lantaran ndak jarang menukil sumber kedua, akibat kesulitan memperoleh sumber yang semestinya sebagai dalih penelusurannya. Bagaimana pun akurasi penukilan dalam kajian bahkan penelitian lebih-lebih tentang hadits, bergantung pada koherensi pemahaman secara objektif bersumber dari literatur pertama yang otentik. Mengingat seandainya terjadi kekeliruan dalam perunutannya, bukankah akan sangat berabe secara ilmiah? Tanpa mengurangi rasa hormat, upaya beliau dengan menelurkan pustaka tersebut patut mendapatkan apresiasi.

Yang serasa rada aneh, di pihak lain Om Andi menegaskan bahwa hadits ini berkategori hadits semi palsu dengan sama-sama bersandar pada salah satunya kesimpulan Albani saat tayangan episode hari itu. Dengan begitu, apakah pernyataan komentator program tersebut ndak justru menimbulkan bias dan membersitkan ambiguitas generalisasi jika ndak boleh menganggap kontradiktif, serta penayangannya bisa jadi justru akan kontraproduktif dari harapan semula guna semakin menambah pencerahan kepada umat?

Rasanya, bukan rahasia lagi bahwa pemikiran Albani khususnya (vonis) atas bermacam hadits bukan hanya kontroversial melainkan juga mengendapkan problematik, untuk ndak dikatakan kerap bertentangan dengan penilaiannya dalam seabrek karyanya sendiri. Penyuka hadits yang juga dikenal sebagai tukang reparasi jam ini acapkali ditemukan seakan mengubah-ubah asumsinya dalam satu bukunya atas satu hadits, kontras dengan pandangannya terhadap hadits yang sama di bukunya yang lain. Oalaaah...

Mungkin keterangan tentang kebiasaan pemvonis hadits yang konon ndak hafal sepuluh hadits saja dengan sanad muttashil (bersambung) hingga kepada Rasulullah ini, ndak terlalu banyak mencuat di berbagai referensi dan media (online) dalam negeri. Namun serentengan tulisan sekalian kaum intelektual berbagai negara mengenai penafsir hadits yang sempat terusir dari Arab Saudi ini bertebaran di (literatur dan media) mancanegara. Lebih jauh, monggo telusuri sendiri hitung-hitung untuk tadarus selain Alquran dengan harapan puasa kita bakal menjadi lebih berkah hehehe...

Pada gilirannya, tontonan ”spektakuler” Hadits-Hadits Palsu? RCTI hanya bagaikan pengingat waktu Imsak dan sesungguhnya boleh dibilang bermasalah karena terbangun dengan gagasan penelisik hadits yang termasuk bermasalah secara ilmiah. Jika kembali pada ketentuan penafsiran apalagi pengkategorian hadits ”apa adanya”, maka ndak dipungkiri konsensus mufassir hadits terdahulu yang semata penuh kehati-hatian, bahwa ketika seseorang dipergoki pernah sekali saja makan di warung pinggir jalan, orang bersangkutan ndak laik sebagai rawi atau sanad hadits yang terjamin kesahihannya. Jadi, ndak perlu terlalu jauh menelusuri periwayat yang ditengara pendusta, lemah ingatan dan seterusnya.

Waba’du, tulisan ini sekadar urun menelaah dan mudah-mudahan kita ndak terjebak dalam penakfiran terang-terangan maupun samar dan sejenisnya dengan judgment berikut klaim yang masih patut dipertanyakan banget di tengah kebersamaan, terutama selama di bulan penuh rahmat ini. Selanjutnya terserah sampean.
* menukil dari tulisan serupa di Catatan Harian Kompasianaku
Tambahkan Komentar

0 comments