Ramadhan Akan Tiba, Saatnya Lebih Bergairah Menulis


BULAN suci hadir tinggal menghitung hari. Waktunya bersiap menikmatinya dengan sepenuh kegembiraan guna menyegarkan kepedulian sosial kembali. Mungkin saja rasa peduli kian lunglai dan semoga belum sampai mati suri, di tengah hiruk-pikuk mengejar impian setahun terakhir.

Ramadhan juga menandai kegiatan membaca, lalu bersambut dengan kebiasaan tulis-menulis. Para sedulur muslim tentu sudah mafhum, bahwa wahyu perdana Kitab Suci diturunkan pada bulan puasa berabad-abad silam. Yaitu, lima ayat surah al-Alaq dengan frasa pembuka ”Iqra” (Bacalah!). Setiap wahyu yang diterima oleh Rasulullah, lantas secara rutin ditulis oleh para sahabat. Mulanya pada media yang amat terbatas, semisal pelepah kurma dan sebagainya.

Masa-masa setelah Rasulullah wafat, kajian Alquran juga menradisi hingga lahir karya-karya berbagai disiplin ilmu yang turut membangun peradaban. Bahkan, tradisi demikian ikut menginspirasi bangsa-bangsa lain dunia. Sama halnya geliat literasi yang dilakoni kaum pemikir (agama) pendahulu tanah air yang kemudian menelurkan banyak pustaka monumental. Di antaranya, syaich Nawawi Banten yang telah menulis sederet literatur penting, syaich Yusuf Makassar dengan seabrek curahan pemikirannya yang amat bermanfaat dan para tokoh berpengaruh lainnya.

Lalu, bulan suci Ramadhan menjadi penanda momen sejarah berdirinya republik ini. Perjuangan membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan mencapai klimaksnya, bersamaan pembacaan teks Proklamasi oleh almarhum Eyang Soekarno-Hatta mewakili rakyat Indonesia atas desakan kalangan pemuda. Sebagaimana tertuang dalam buku Api Sejarah Jilid 2 tulisan Eyang Ahmad Mansur Suryanegara, momentum bersejarah itu terjadi pada hari Jumat Legi, 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 dulu.

Upaya memerjuangkan kemerdekaan itu sendiri bisa menapak pencapaian yang diharapkan, selain tentunya berkat Rahmat Yang Mahakuasa dan perlawanan fisik yang mengharu biru, juga makin terpicu gelora tulis-menulis kaum terpelajar yang menggugah kesadaran bersama dan mengepalkan tekad perjuangan dengan pantang menyerah. Kesadaran atas persamaan nasib, sebangsa dan setanah air. Dan kesadaran bahwa kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, perorangan maupun kolektif, sebagai takdir azasi  dan fitrah azaly kemanusiaan.

Itu bisa dirunut antara lain, dari rekam jejak ndak sedikit tokoh pejuang dan kalangan terdidik yang bergiat pula dalam kepenulisan. Baik dengan menulis di majalah, surat kabar, maupun lembaran catatan yang terserak. Melalui kegiatan tulis-menulis, mereka turut pula membangkitkan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat yang sebelumnya terpecah-belah sebatas perlawanan yang bersifat kedaerahan. Sekadar contoh, almarhum Eyang Soekarno dan Moh. Hatta terbilang penulis aktif yang menghadiahkan senarai buku amat inspiratif, serta menjadi sumber referensi bagi generasi penerus hingga sekarang.

Karena itu, amat disayangkan jika Ramadhan berlangsung hanya untuk menunaikan kewajiban berpuasa sebulan, perlombaan ritual mengais ganjaran berlipat-lipat, meluapkan libido konsumtif dan sebagainya tanpa menggairahkan tulis-menulis. Rentang waktu bulan penuh berkah nanti akan lebih makjeger, bila juga terisi dengan kesenangan berbagi manfaat lewat tulisan.

Walau mungkin ndak menorehkan buku atau karya fantastis, tapi dengan memanfaatkan hari-hari Ramadhan untuk lebih bergairah menulis, akan membuat kehadiran bulan seribu kebaikan semakin kaya makna. Alquran sebagai ”magnum opus” Gusti Tuhan pun, telah menyiratkan pesan demikian. Bukan hanya mengenai kewajiban puasa, tapi juga tentang pembiasaan membaca untuk kemudian demen menulis. Dan sejauh apa yang saya rasakan selama ini, butiran inspirasi lebih gampang mencungul sepanjang durasi bulan suci.
Lanjutkan baca...

Duh Advokat Prostitusi Artis Menggerus Arti Keluarga


ARTI keluarga ternyata ndak selalu berkonotasi positif. Maknanya juga dikonotasikan secara negatif. Itu tersirat antara lain dalam pernyataan advokat mucikari RA, seiring perkembangan terbaru kasus prostitusi yang menyeret sejumlah artis.

Pada kesempatan jumpa pers yang ditayangkan stasiun televisi swasta baru-baru ini, pengacara tersangka RA, Pieter Ell, sempat menyentil ”keluarga” dalam keterangannya. Beberapa situs berita online juga melansir di antaranya Metrotvnews.com. Ia menuturkan hubungan dekat kliennya dengan artis SB yang baru disebut juga terlibat. Kedekatan mereka dikatakan seperti keluarga.

Ungkapan demikian sepintas mengesankan ikatan pertemanan yang begitu mendalam. Tapi, jika diresapi kembali, membuat dahi mengernyit. Entah keceplosan atau disadari, kuasa hukum RA telah menggerus arti keluarga yang hakiki. Relasi kliennya dengan SB dikesankan layaknya keluarga, pada saat bersamaan diterangkan pula kerjasama mutual dalam pesanan layanan esek-esek yang melibatkan mereka.

Dengan perkataan lain, jika benar-benar saling menganggap keluarga satu sama lain, tentu ndak bakal merelakan terperosok ke dunia pelacuran. Sekalipun andaikan memang semula atas permintaan artis SB itu sendiri. Keluarga waras mana yang rela membiarkan orangtua, anak dan saudaranya terjerembab dalam prostitusi berdalih apa pun? Orang waras mana pula yang ndak terusik kewarasannya sedikit pun, ketika turut menikmati hasil ”jerih payah” anggota keluarganya dari menjual diri?

Tanpa bermaksud apriori, bagi saya lebih baik memilih ndak dianggap sebagai keluarga jika urusannya macam itu. Pola ”kekeluargaan” tersebut bisa dipastikan hanya semu dan ndak membahagiakan akhirnya. Apalagi, jalinannya sebatas demi memenuhi tuntutan kebutuhan, atau pun meraup gelimang kemewahan secara instan. Pengonotasian oleh advokat mucikari RA tentang koneksi antara kliennya dengan artis SB layaknya keluarga, bukan mustahil semata untuk kepentingan upaya hukum yang sedang berjalan.

Orang waras mana yang akan memublikasikan inisial anggota keluarganya yang melakoni prostitusi, ketika ia sendiri ndilalah ikut terlibat di dalamnya? Bahkan, meminta kepolisian untuk menerapkan proses hukum terhadap sanaknya itu serupa yang dialaminya. Bukankah hal tersebut justru lebih dari sekadar membeberkan aib? Dan publikasinya ndak sertamerta bisa dipandang untuk mengungkap kebenaran sepenuhnya tho?

Saya pun ndak hendak membela pihak mana pun, melainkan sekadar menyikapi pendangkalan makna keluarga yang membikin kepala gatal. Walau implisit dalam statement kuasa hukum kasus prostitusi artis terkait. Bagi saya, keluarga sangat berarti. Selain keberadaannya menjadi asal-usul, sekolah utama pembentukan jatidiri dan tempat pulang setelah meniti liku-liku kehidupan; peranannya sangat penting sejalan perubahan zaman.

Keluarga menjadi garda depan sekaligus benteng terakhir, guna menghadapi segala bentuk dekadensi moral dan polusi sosial semisal pelacuran. Lagi pula, dalam keluarga ndak dikenal istilah mantan ayah-ibu, anak, saudara dan sebagainya. Tentu sampean juga berpikir hal yang sama, bukan?
Lanjutkan baca...

Tafsir Buram Alquran dalam Fiksi Abad Kejayaan



EPISODE serial televisi Abad Kejayaan menjelang eksekusi Ibrahim Pasha, rada mengusik pikiran. Soal pemakaian dalil Alquran sebagai dasar hakim kerajaan untuk melaksanakan eksekusi mati terhadap dirinya.

Babak-babaknya terdahulu sejak awal, saya lewatkan begitu saja. Lantaran kemasannya terasa kalah ciamik dengan Jodha Akbar, sinema lain keluaran stasiun televisi yang sama. Busana para aktor perempuan dalam AK juga sarat dengan sensor. Maka, lebih dulu perlu disepakati tontonan ini sebatas hiburan. Walau berlatar sejarah Dinasti Ottoman (Turki Utsmani), kisahnya hanyalah fiksi yang ndak bisa dijadikan rujukan melongok peradaban Islam masa silam.

Memertanyakan Tokoh NU di Setiap Akhir Tayangan
Sebagaimana pandangan utamanya kalangan Nahdhatul Ulama (NU), ketika turut menyikapi kontroversi yang sempat ramai, pada awal-awal penayangannya hingga berbuntut teguran dari KPI dulu. Jadi, sekali lagi sinema berseri yang semula berjudul King Suleiman itu fiksi bukan film dokumenter! Sedikitnya dua tokoh berlabel NU lantas juga rutin memberikan tausiyah singkat, masing-masing di setiap akhir tayangannya belakangan.

Dari sini, entah mengapa tokoh ormas segede NU masih perlu mengulas pada tiap episode yang baru kelar tayang. Kesannya sekadar justifikasi bahwa acara itu memang laik ditonton oleh masyarakat. Toh bukankah telah dipahami bahwa serial yang judul aslinya Muhtesem Yuzyil itu fiksi guna menghibur pemirsa belaka yang bisa jadi pula ndak terkait dengan Islam?

Hingga pada satu malam, sambil menunggu iklan jedah acara talk show layar kaca, saya iseng menontonnya. Waktu itu episode detik-detik sebelum Ibrahim Pasha dijatuhi hukuman mati. Bermula dari intrik istri raja, Hureem, setelah mendapatkan bocoran informasi dari anteknya, tentang salah satu notulen bincang-bincang sang Perdana Menteri selama menerima utusan kerajaan lain. Di dalamnya tercatat pernyataannya yang bernada penghinaan, yakni mengonotasikan penguasa Ottoman bagaikan singa dan ia sendiri adalah pawangnya.

Catatan tersebut kemudian diserahkan kepada Baginda Suleiman dan membuat batinnya seketika mengaum bak singa tengah murka. Terbersit dalam pikirannya, sahabatnya yang telah mendampinginya dalam memegang tampuk kekaisaran bertahun-tahun itu, telah begitu menjatuhkan harga dirinya. Lalu, ia terpikir untuk segera menghukumnya. Pada saat bersamaan, ia teringat janjinya bahwa selama ia hidup akan menjamin keselamatan adik iparnya yang sudah ikut memberikannya sederet kemenangan dalam berbagai perang tersebut. Dilema pun menyelimuti hatinya.

Mengapa Harus Mencomot Dalil Kitab Suci?
Raja kemudian meminta Kadi (hakim) Efendi, untuk mencarikan solusi atas keinginannya. Yakni, memberikan sanksi hukum terhadap Ibrahim Pasha dengan tanpa melanggar janjinya sendiri. Hakim mengiyakan dan tanpa membuang-buang waktu memelajari seluruh perundang-undangan. Termasuk beragam literatur yang dijadikan pijakan dalam penjatuhan hukuman sebelumnya. Berhari-hari siang dan malam hakim sepuh ini memelototi tumpukan kitab, risalah dan pustaka lainnya. Sampai akhirnya ia merasa ada referensi yang relevan, lalu ia bergegas menemui raja untuk memberitahukannya.

Kaidah hukum itu disebutkan bersumber dari Alquran surah Az-Zumar ayat 42, terjemahannya berbunyi, ”Allah memegang jiwa (seseorang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (seseorang) yang belum mati sewaktu tidurnya; maka Dia tahan jiwa (seseorang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran) Allah bagi kaum yang berpikir.

Usul tersebut diamini oleh Baginda Suleiman, untuk kemudian dipakai sebagai acuan mengeksekusi Ibrahim Pasha, dengan ia tetap ndak mengingkari janjinya. Eksekusinya harus dilaksanakan saat dirinya sedang tidur. Lantas, raja mengondisikan karibnya buka puasa bareng di istananya. Ketika malam semakin larut, ia meminta pria yang juga suami Nigar Kalfa itu bermalam di kamar yang bersebelahan dengan ruang tidurnya. Perdana Menteri pun dieksekusi kala baru terlelap, dengan jeratan tali oleh kawanan prajurit khusus secara diam-diam, hingga meregang nyawa di tengah malam bulan Ramadhan yang mencekam akhirnya.

Nah, adegan yang dipertontonkan terasa janggal. Saya bukan sineas, bukan pula kritikus fiksi. Tapi, sebagai pemirsa dengan tetap menganggap AK hanya tayangan fiksi, saya merasa alurnya ndak konsisten dari gagasan dasarnya. Raja yang mulanya diharuskan sedang tidur seperti arahan hakim, masih diragukan benar-benar sedang lelap. Ia justru tampak galau hingga amat susah terpejam sebelumnya. Lalu, saat pengeksekusi melakukan tugasnya, Ibrahim Pasha sempat meronta dan berteriak  memanggil raja. Kejadiannya berlangsung di kamar yang terlihat berimpitan, sehingga agak susah dinalar jika ndak terdengar kegaduhan. Lebih janggal lagi, bukankah eksekusi akan terlaksana hanya atas perintah raja?

Fragmen itu menyisakan pertanyaan berikutnya. Mengapa harus mencomot dalil Kitab Suci hingga membacakan redaksi lafazh berikut terjemahannya segala yo? Sementara, terasa masih ada missing link dalam penafsirannya, saat ayat yang menyiratkan deskripsi kondisi parapsikologis antara mati dan tidur, digunakan sandaran penerapan hukum positif. Kalau sebagai penjelasan medis, barangkali masih nyambung, semisal tentang keadaan koma pasien. Sekaligus menandakan bahwa Alquran sudah menjelaskan tentang ilmu kedokteran dari berabad-abad lampau.

Jika ternyata hanya untuk ”akal-akalan” guna memecahkan kebuntuan hukum, kiranya ndak perlu menggunakan Alquran, terlebih sebatas urusan tayangan fiksi. Walau begitu, karena Abad Kejayaan semata tontonan fiksi, terlalu memersoalkan pencomotan nash Alquran demikian bakal dianggap berlebihan. Hanya saja, dari perspektif fiksi pula akan semakin maknyus bila pemecahan dilema sang raja, demi menuntaskan konflik dengan Perdana Menteri yang juga sahabat dekatnya itu, dengan strategi yang lebih kreatif dan seru. Bagaimana menurut sampean?
Lanjutkan baca...

Musim Kepalsuan


ANDAI blog ini manusia seperti kita, mungkin ia sedang galau merana tingkat awang-awang, karena saya tinggalkan sekian lama yo? Hampir setahun terakhir saya ndak berbagi cerita lewat tulisan bersamanya di sini.


Untung saja ia hanya media, sehingga ndak bakal cemberut atau mencak-mencak. Ia tentu memahami, lantaran saya menulis di ruang lain. Dengan harapan tulisan saya akan semakin kaya rasa di kemudian hari. Bagaimana pun ia sangat mengenal karakteristik torehan saya yang tumbuh bersamanya sejak awal. Ia juga bisa memaklumi, hanya saking asyiknya ndak terasa saya meninggalkannya selama berbulan-bulan. Sama halnya ketika saya larut dalam keasyikan menikmati buku, hingga kadang enggan beranjak dari tempat duduk.


Jadi, ia ndak akan berprasangka aneh-aneh walau mungkin ia cemburu. Sebab, ikatan yang terjalin antara saya dengannya asli, bukan palsu dan semoga terhindar dari segala bentuk kepalsuan selamanya. Itu pun seandainya ia manusia seperti kita. Cukup jendela browser yang berubah sekarang. Biasanya ketika saya tengah indehoy bersamanya, tertera D’n Ans Hoki™, namun berganti alamat url kini. Aku rapopo.


Omong-omong, momentum yang masih relevan bila mengobrolkan seputar fenomena ”Palsu” kali ini. Tema obrolan itu begitu menghangat sepanjang perkembangan terkini. Orang-orang juga sempat heboh membicarakannya di pelbagai tempat. Baik di rumah, tempat cangkruk, ruang kerja, bahkan di kantor-kantor pemerintahan. Dan tentu sampean boleh ikut nimbrung atau menambahkan komentar nanti.


Ruang kehidupan, sebagaimana kita ketahui dan rasakan, begitu pengap hingga menyembulkan bermacam pertanyaan dalam benak. Seiring merebaknya banyak hal palsu akhir-akhir ini. Bukan hanya sejumlah barang yang ditemukan palsu, tapi juga muncul asupan pokok sehari-hari yang diduga palsu. Uang palsu, batu akik palsu, beras palsu (beras plastik atau beras sintetis), ijazah palsu, dan sebagainya. Tiba-tiba keberadaan saya dan sampean terasa dikerumuni bermacam produk bahkan panganan yang serbapalsu.


Inilah realita hari ini, sejalan musim kepalsuan tiba. Musim yang turut menebar wabah demam ”Palsu”, media massa khususnya televisi juga ikut menyiarkan secara luas. Dalam waktu relatif singkat bermunculan pemberitaan tentang apa-apa yang berbau palsu. Selain hal-hal palsu yang telah saya sebutkan, awak layar kaca tampak latah memberitakan hingga akta nikah palsu. Mudah-mudahan ndak semakin merembet pada objek-objek lainnya, karena dampaknya bisa gaswat.


Begitulah yang terjadi di musim kepalsuan, seperti musim buah-buahan. Tapi, saya ndak ingin menyebutnya zaman kepalsuan. Sebab, itu akan mengesankan keluhan. Lagi pula kejadian demikian pernah mencuat pula di masa-masa terdahulu. Beras palsu yang diduga berbahan plastik misalnya, ternyata sempat ditemukan serta cukup mengguncang pemerintahan almarhum Eyang Soekarno dulu.


Sebagaimana diceritakan oleh Opa Ridwan Saidi, budayawan sepuh Betawi yang penampilannya khas berpeci hitam dengan rambut putihnya, dalam acara dialog televisi belum lama ini. Bedanya, temuan beras plastik saat itu adalah beras asli yang dicampur remik-remik plastik. Mungkin seperti nasi jagung, olahan beras dibauri biji jagung yang sudah digiling. Kemunculannya diduga sebagai bagian intrik politik. Dengan begitu adanya barang palsu bukan hanya terjadi sekarang.


Hanya saja, kadang dengan beberapa istilah lain untuk mengonotasikannya di era-era sebelumnya, antara lain tiruan atau imitasi. Konotasi tersebut biasanya pada sepatu, ikat pinggang dan sejenisnya yang seharusnya berbahan kulit asli, tapi ndilalah bukan. Walau dengan model dan corak warnanya yang sangat mirip, sehingga kerap mengelabui para konsumen yang ndak terlalu paham. Masih segar dalam ingatan pula, ketika masyarakat Surabaya dan sekitarnya tempo dulu, memakai sebutan ”tembakan” untuk sederet barang yang tampaknya asli namun palsu (aspal).


Taruhlah aneka barang elektronik semisal kipas angin, televisi, VCD player dan semacamnya yang dipasarkan hanya ”menembak” merk dari perusahaan besar asalnya. Kadang dengan menambah atau mengurangi satu-dua huruf dari merk aslinya, sehingga jika ndak jeli akan mendapatkan barang yang kualitasnya jauh dari produk yang sebenarnya. Palsu-memalsu demikian masih terulang, bahkan dengan modus yang semakin canggih seperti kenyataan miris belakangan ini. Dan rasanya musim kepalsuan senantiasa akan mewarnai kehidupan sampai akhir zaman.


Praktik macam itu tentunya disebabkan beragam hal, setidaknya dua penyebabnya. Semula kiranya bagian dari efek lanjutan dari mentalitas suka menerabas. Dalam hal ini, Eyang Koentjaraningrat pernah mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (1983), tentang masyarakat yang gampang dihinggapi perilaku suka menerabas dalam pembangunan. Tingkah polah yang mengambil jalan pintas dalam mencapai keinginan, meski dengan menerabas pranata sosial maupun ketentuan hukum positif.


Wujudnya telah sering dijumpai pada keseharian. Demi pencapaian tertentu, orang-orang menghalalkan segala cara dengan terabas sana-sini. Pertimbangan kemaslahatan terlebih menyangkut kepentingan sesama kerap diabaikan seenak udel sendiri. Bahkan, pengabaian yang terus berulang kemudian seakan ndak memedulikan hajat hidup orang banyak. Orientasi meraup keuntungan yang juga diimpikan akan membuahkan gelimang kekayaan dalam sekejap yang selalu dijadikan tolok ukur kesuksesan, lagi-lagi merupakan hal terpenting.


Efek turunan mentalitas suka menerabas tersebut lantas bersenyawa dengan kecenderungan pemenuhan beragam kebutuhan secara instan. Bukan rahasia lagi, masyarakat cenderung konsumtif hingga acap terkesan meremehkan persoalan mutu, kebermanfaatan dengan skala prioritas, bahkan keselamatan diri. Seolah-olah pokoke kebutuhan terpenuhi, urusan lain-lain mah belakangan.


Keduanya tanpa disadari lalu menautkan permintaan dan suplai. Polanya yang berlangsung lama membuat antara baik dan buruk, maslahat dan mudarat serta benar dan salah; dalam banyak hal pada gilirannya mengesankan sulit dipilah. Jangan heran, bila turut memacu antara lain ihwal dan keluaran barang-barang palsu selanjutnya. Dengan perkataan lain, serangkaian fakta mengenai apapun yang beraroma palsu, sejatinya berawal dari perbuatan kita sendiri yang kemudian menjadi mentalitas. Entah sampai kapan akan berhenti, ketika revolusi mental” pun digaungkan sebagai jargon pemerintahan Jokowi kini. Ujung-ujungnya bisa jadi sampean ini asli atau palsu? Hayooo...
Lanjutkan baca...