Facebook Mengamankan (Akun) Pengguna, Bagaimana dengan Kita?


BELUM lama ini saya mengalami kejadian yang menggemaskan saat bermedia sosial. Entah mengapa tiba-tiba begitu susah masuk ke akun Facebook sendiri waktu itu. Walau saya telah berusaha sekian kali.

Masalah itu awalnya saya pikir, hanya sebab keliru mengetik email atau password, layaknya kesalahan tanpa disadari pada umumnya. Tapi, ketika saya mencobanya lagi dengan lebih teliti, bahkan mengecek huruf per hurufnya kembali, ternyata prosesnya ”gatot” (gagal total). Dicoba lagi, gagal lagi. Begitu seterusnya hingga berjam-jam lamanya. Padahal, koneksi internet aman-aman saja. Dan saya pun sudah membersihkan riwayat browser dan tetek-bengeknya.

Yang terjadi, setelah menuliskan email, kata sandi dan klik, loading-nya selalu terhenti di tengah jalan. Tampilan layar kemudian berwarna putih tanpa satu titik pun. Biasanya jika salah membubuhkan data, sesudah pemuatannya akan muncul pemberitahuan adanya kesalahan. Sementara, ketika saya membuka Twitter pun normal dan lancar.

Hari kedua, saya menjajal lagi masuk Facebook, sambil berharap ndak seperti kemarin. Usai memastikan koneksi internet dan lainnya siap pakai, saya kemudian mengetikkan alamat email berikut kata sandi dengan cermat. Klik dan menunggu sesaat. Baru sekian detik, proses loading berhenti sendiri. Layar monitor blank lagi.

Saya mulai penasaran, mungkinkah browser-nya yang bermasalah. Tanpa menunggu lama, saya beralih memakai jendela selancar yang lain. Setelah dicoba, ternyata hasilnya sama, hingga akhirnya saya garuk-garuk kepala. Berikutnya terpikir untuk menghapus aplikasi modem yang tertanam di laptop, kemudian menginstall ulang. Saya melakukannya dan tetap ndak berhasil, hingga berlanjut memeriksa email yang ternyata juga ndak ditemukan kejanggalan.

Di hari ketiga, saya enggan online sebenarnya, masih ragu problem serupa akan terulang. Toh saya masih bisa Facebook-an dengan memakai ponsel. Hanya saja, karena lantas HP kerap berbunyi dan bermunculan pemberitahuan baru yang perlu saya respon, akhirnya saya mencobanya dengan laptop kembali. Saya coba masuk, sewaktu benar-benar senggang menjelang sore, tentu juga sesudah memeriksa segala sesuatunya dengan seksama.

Ujung-ujungnya akun saya tetap bermasalah, meski sudah dijajal berkali-kali. Saya masih ndak ingin berpikir kemungkinan diretas entah oleh siapa. Lagi pula, saya ndak memiliki apapun yang bisa diambil manfaatnya oleh si peretas. Itu pun bila memang ada oknum yang meretasnya. Jadi, apa untungnya? Lalu, saya mengabaikan problem berulang tersebut. Saya justru kemudian bersemangat mencari informasi untuk bahan tulisan. Dan kala saya tengah asyik melahap serangkum bacaan, tiba-tiba muncul jendela pop up yang memberitahukan indikasi masalah Facebook saya berikut ini.


Alhamdulillah, seusai mengikuti petunjuk yang tertulis, Facebook saya menjadi pulih. Walau memang semula proses loading-nya agak tersendat-sendat. Namun, lambat-laun saya bisa memakainya dengan normal lagi. Saya sempat termenung beberapa saat, memikirkan secuil hikmah yang menggelitik pikiran atas kejadian itu. Betapa respek situs pertemanan ini mengamankan akun setiap pengguna.

Jika intens mengikuti perkembangan dari waktu ke waktu, Facebook memang terus berbenah guna memberikan proteksi, terhadap berbagai kemungkinan yang ndak diinginkan sejauh ini. Begitu pula demi kenyamanan privasi sebaran penggunanya. Selain dari awal medsos ini bisa dibilang lebih responsif pemakaiannya. Mungkin karena itu, eksistensinya juga lebih memikat kebanyakan orang.

Pertanyaannya, bagaimana dengan gairah kita dalam turut menjaga keamanan sesama yo? Saat rasa aman ndak terpungkiri belum sepenuhnya dirasakan masyarakat dalam keseharian. Contoh, selama berkegiatan online di jagat maya internet. Baik sebatas interaksi personal, urusan bisnis dan sebagainya. Fenomena tindakan peretasan akun medsos seperti Facebook, yang masih saja menyeruak antara ada dan tiada itu sendiri, kiranya cermin masyarakat kalah greget dalam ikut ambil bagian menjaga keamanan dan kenyamanan orang lain.

Upaya perlindungan yang tertuang dalam regulasi hukum semisal UU ITE, juga terkesan baru lebih greng menindaklanjuti laporan pencemaran nama baik di medsos. Sedangkan penindakan terhadap dugaan aksi cyber crime lainnya, boleh dibilang belum sungguh tokcer. Padahal, rasa aman terbilang kebutuhan mendasar setiap individu, yang harus senantiasa menjadi perhatian bersama di tengah kecamuk abad digital kekinian. Wallahu a’lam!

Lanjutkan baca...

Ketika Mahasiswa di Antara Dua Pilihan


AHA, kegiatan tulis-menulis kalangan civitas akademika, sesekali masih terlontar ke ruang publik. Bincang-bincang mengenai topik itu tampaknya selalu menarik diperbincangkan. Kiranya begitu juga saat para mahasiswa baru mengenyam awal-awal perkuliahan di kampus sekarang.

Itu bisa dirunut misalnya, dari bahasan yang pernah cukup hangat beberapa waktu lalu. Semisal ulasan dari Om Anton Prasetyo yang pernah dimuat koran Jawa Pos edisi mingguan, dalam rubrik Di Balik Buku, dengan judul Gelora Menulis dan Berdemonstrasi Mahasiswa terdahulu. Lalu, bersahut dengan tulisan Mbak Mutimmatun Nadhifah bertajuk Tulisan, Demonstrasi, Gagasan Aksi di kolom yang sama dua pekan sesudahnya.

Sebelumnya, benak sekian lama hanya selalu digelayuti pertanyaan, bagaimana sebenarnya pandangan sekalian pihak atas fenomena itu, juga perkembangannya dari waktu ke waktu? Lebih-lebih suara gagasan mahasiswa kesannya nyaris ndak terdengar di jagat kepenulisan. Dibandingkan aksi demonstrasi yang bahkan kerap cenderung berakhir ricuh mutakhir.

Obrolan senada juga sempat mengemuka dalam acara Mata Najwa di televisi, dengan menghadirkan sejumlah politisi muda, sekaligus mantan aktivis mahasiswa beberapa waktu lalu. Narasumber yang hadir antara lain, Om Budiman Sudjatmiko, Om Fadli Zon, Tante Meutya Hafid, dan Om Akbar Faisal yang sudah cukup dikenal oleh khalayak. Pada kesempatan itu, mencuat kritik tentang hilangnya dimensi karakter mahasiswa. Semisal karakter berdebat dan karakter membaca peserta didik perguruan tinggi yang dinilai lemah kini.

Di sisi lain, terbersit harapan besar yang kadung dipikulkan ke pundak mahasiswa. Berkenaan dua lakon yang ”diwariskan” takdir sejarah pendahulu. Yakni, peran sebagai pegiat tradisi keilmuan, di antaranya melalui kegemaran menorehkan karya tulis (ilmiah). Lalu, selaku pemegang estafet ”agent of change” yang kaprahnya terlaksana dalam aksi demonstrasi menyuarakan aspirasi dan mengawal kepentingan rakyat.

Perbincangan demikian susah terelakkan. Belum lagi, ketika menyimak kecenderungan geliat sebagian mahasiswa yang serasa kian menjauh dari ”khittah”-nya selama ini. Taruhlah demonstrasi yang kerap berbuntut kekisruhan fisik. Kala manifestasinya juga cenderung tanpa ditopang basis ide argumentatif yang rasional. Sementara pengerjaan tugas karya tulis semisal makalah dan skripsi, terkesan masih jauh panggang dari api.

Hanya, sepatutnyakah bila semata mengarahkan sorotan high-light macam itu, mengingat beragam problematika yang sering terlewatkan, ikut pula melingkupi pasang-surut gerak pengenyam studi di universitas? Ingatan jadi tergamit kembali pada zaman pembicaraan soal mahasiswa sedang begitu cetar membahana dulu. Seiring tumbangnya rezim Orde Baru, hingga turut memunculkan sebutan tertentu.

Yakni, istilah mahasiswa biasa, mahasiswa luar biasa, dan mahasiswa biasa di luar. Pertama, julukan bagi mereka yang hanya datang, lalu pulang selepas jam kuliah dan masa bodoh dengan perkara unjuk rasa. Kedua, label bagi mereka yang selain bagus secara akademik, berorganisasi, dan berdemonstrasi ketika kebijakan pemerintah ndak senafas dengan kehendak rakyat, atau policy gedokan pemangku kampus yang ndak sejalan dengan kondisi mahasiswa. Dan ketiga, bagi para mahasiswa yang demen beraksi turun ke jalan, sampai acap meninggalkan jam perkuliahan.

Bukan hanya mahasiswa, sejumlah pengajar di kampus juga memilik julukan misalnya, ”dosen Orde Baru” serta ”dosen Reformasi” sesuai kebiasaan masing-masing. Istilah pertama bagi para dosen yang mementingkan pembelajaran di kelas belaka dan terbiasa dengan model pengajaran usang, layaknya para guru sekolah jadul. Mereka sebatas mengajar bermetode ceramah, mendiktekan bahan ajar, dan memberikan evaluasi.

Nilai ujian pun seringkali ditentukan hanya dengan lembaran jawaban yang sesak dengan tulisan, atau bagusnya rangkaian abjad guratan jemari mahasiswa. Dosen ini biasanya juga alergi berdiskusi dan ndak ambil pusing dengan pentingnya mengasah daya kritis mahasiswa, terhadap konteks sosial yang mengitari. Sedangkan kelompok dosen reformasi dicirikan sebaliknya.

Fenomena macam itu menyiratkan endapan sekelumit persoalan bawaan yang selanjutnya mengondisikan para mahasiswa, dalam pilihan yang ndak gampang bahkan kadang terasa dilematis. Taruhlah karakteristik setiap dosen bisa turut berpotensi memengaruhi pembentukan mindset untuk memilih sebagai mahasiswa biasa, mahasiswa luar biasa, atau mahasiswa biasa di luar. Begitu pun opsi berdaya dalam pergumulan tulis-menulis dan (atau) tegap dalam pergulatan aksi demonstrasi. Pertanyaannya, sudahkah gejala yang tanpa disadari ikut menyemai persoalan demikian, benar-benar telah berubah semilir pencerahan di setiap kampus hari ini?

Lebih jauh, gelora menulis para mahasiswa, tentunya ndak lepas dari semakin pudarnya teladan utamanya para dosen sendiri. Masih sedikit bingit pengajar universitas yang kuasa menorehkan karya ciamik dalam jurnal-jurnal ilmiah atau media massa. Pengamat edukasi sekaligus dosen Paramadina, Jakarta, Om M Abduh Zen, pernah mengungkapkan tentang rendahnya animo dan terbatasnya kemampuan menulis dosen.

Maka, perlu sinergi pihak-pihak terkait dalam menggelorakan tulis-menulis para mahasiswa. Bukan sekadar menaruh segunung harapan di bahu mereka, namun lantas membiarkan begitu saja atau mencak-mencak ketika mahasiswa sedang di persimpangan jalan. Bila komitmen dan keseriusan semua elemen sungguh terlaksana, rasanya tiada yang mustahil diwujudkan.

Jangankan ikhtiar melahirkan demonstran penulis layaknya Om Budiman Sudjatmiko yang mencetuskan buku Anak-Anak Revolusi: Kisah Nyata Budiman Sudjatmiko, membidani lahirnya generasi yang bugar dalam menggiatkan demonstrasi ide maupun demonstrasi fisik seperti Soe Hok Gie di masa lalu pun, kiranya bukan impian kosong. Walhasil, bagi sampean yang sedang menempuh pendidikan sebagai mahasiswa detik ini, akan memilih demonstrasi atau menulis? Hayooo...

Referensi bacaan:

Lanjutkan baca...

Turn Off Sejenak dari Berita Televisi, Rasanya Merdeka


DALAM sebulan ini ndak terasa saya absen menonton berita layar kaca, juga dialog maupun talk show seputar politik, aktivitas pemerintahan, dan semacamnya. Boleh dibilang saya menyepi dari hingar-bingarnya tanpa kesengajaan. Saya baru menyadarinya, kala sekonyong-konyong mencungul sebait tanya dalam benak kemarin. ”Apa kabar Indonesia di usia 70 tahun kemerdekaannya sekarang yo?”

Warta televisi yang cukup mengalihkan perhatian saya terakhir kali, yakni Muktamar dua ormas gede, NU dan Muhammadiyah, yang berdekatan tanggal perhelatannya tempo hari. Begitu juga sepanjang pro-kontra wacana ”Islam Nusantara” riuh diperbincangkan sampai di media sosial. Itu pun lantaran mulanya adik saya yang mengadu nasib di Kota Paris van Java menanyakan beberapa hal terkait. Mungkin kebetulan ia seringkali memeroleh informasinya, membikin saya kudu menengok siarannya, hanya sesekali dan sambil lalu saja.

Sama halnya liputan tentang dinamika seru dari arena Muktamar NU, ketika pemilihan tampuk kepemimpinan organisasi kaum bersarung itu untuk periode mendatang. Di antara muktamirin berlainan aspirasi soal AHWA atau voting dalam prosesnya. Lantas, suasana yang berkembang membuat KH Ahmad Mustofa Bisri diberitakan masygul.

Figur tokoh agama kharismatik dengan sapaan akrab Gus Mus yang dikenal pula sebagai budayawan tersebut prihatin, lebih-lebih setelah menjumpai Headline koran yang bertitel Muktamar NU Gaduh, Muktamar Muhammadiyah Teduh, sebagaimana diungkapkannya saat meredakan beda pendapat sebagian peserta. Saya juga sempat coba mencari surat kabar itu, sekadar ingin mengetahui isinya. Namun, saya ndak berhasil mendapatkannya.

Hanya, saya menemukan berita online dalam situs resmi Jawa Pos yang berjudul NU Gaduh, Muhammadiyah Teduh; Muktamar Dua Ormas Besar, ketika berselancar di internet beberapa waktu kemudian. Jika dicermati seksama, antara judul dan kontennya terbilang lepas untuk ndak disebut kepleset jurnalistik, sampean bisa mencernanya sendiri melalui link di bawah tulisan ini. Entah apa masalah itu telah sepengetahuan pemimpin redaksinya, atau luput dari pencermatan. Sebab, biasanya tahapan pematangan hasil liputan terlebih untuk versi cetak oleh koran ini, ketat bingit sebelum disuguhkan ke hadapan pembaca.

Berita selanjutnya yang terdengar santer, yaitu reshuffle kabinet. Ihwal yang sebenarnya biasa, terutama bagi penyelenggaraan negara yang sejak awal dikehendaki berbasis kinerja. Jajaran menteri yang dinilai progres kerjanya mengecewakan, dengan memertimbangkan pula aspirasi rakyat, niscaya perlu adanya pergantian. Lantas, rencana megaproyek gedung parlemen juga tampaknya menghangat kembali. Dan masalah kelangkaan daging sapi berikut harganya yang melambung di pasaran baru-baru ini.

Dari sini, lansiran kabar televisi kadang ndak dipungkiri kesannya mengedepankan kehebohan. Jangan heran, bila muatannya cenderung tergesa-gesa. Tanpa bermaksud menggebyah uyah, sampean lebih paham dengan geliatnya selama ini. Namun, insan pers di balik layar kaca juga ndak bisa disalahkan sepenuhnya, karena sepak terjang para oknum elit maupun pejabat sendiri acap kontroversial, hingga mencederai harapan publik.

Contoh, sampean masih ingat ketika petinggi KPK dan Polri terseret polemik berlarut-larut lalu. Reportasenya begitu gaduh lebih dari sebulan dan sedemikian menyita perhatian khalayak luas. Tayangannya juga berkepanjangan layaknya drama serial yang memeras pikiran. Akibatnya, masyarakat pun sering dibikin pusing pala barbie dengan kegaduhannya.

Karena itu, saya diam-diam amat bersyukur ketika tanpa disadari sejenak turn off dari berita televisi. Saya merasa lebih merdeka dengan menghabiskan waktu luang untuk memulung inspirasi. Dari tarian dedaunan sekitar, cuap-cuap interaksi media sosial, dan sebagainya. Mengingat, renik-renik gagasan dalam benak saya ingin segera bergemericik dalam tulisan.

Walau hari-hari saya turn off dari wartanya mungkin berlangsung sementara. Bagaimana pun keseharian sebagian besar masyarakat, susah terbebas sepenuhnya dari sensasi godaannya, berdalih supaya tetap up to date terhadap informasi. Termasuk sampean, bukan? Angkat gelas wedang kopi hot-nya dulu...

Referensi Bacaan:

Lanjutkan baca...

Indahnya Berbagi Manfaat Ramadhan Bersama CK3


RAMADHAN memang telah berlalu. Tapi nuansanya masih terasa sampai hari ini. Rangkaian kisah selama hadirnya juga masih segar dalam ingatan. Dengan serangkum hikmah yang bisa dipetik sebagai pelajaran. Setidaknya ibadah berpuasa sebulan lalu, turut menyumbangkan faedah penambah bekal meniti kehidupan esok.

Begitu pula dengan ajang yang digeber Larutan Cap Kaki Tiga (CK3) di bulan suci kemarin, menorehkan kesan tersendiri dan kiranya layak mendapat apresiasi. Gelarannya yang bertajuk Ramadhan Penuh Manfaat kali ini, menggugah kita untuk meresapi sendiri kebermanfaatannya, lalu membagi ceritanya dalam tulisan, sehingga berguna pula bagi masyarakat luas.

Galibnya endapan manfaat Ramadhan jarang benar-benar teresapi. Bulan penuh rahmat itu, cenderung dianggap kesempatan mengais pahala berlipat dan pengampunan melulu. Andaikan para sedulur menyadarinya sekalipun, kaprahnya hanya serasa angin lalu ketimbang lantas menuliskannya, sebagai wujud lain berbagi pada banyak orang. Tak pelak, momennya seringkali begitu-begitu saja.

Melalui aksi inspiratif secara online tersebut, CK3 menyajikan sesuatu yang maknyus dan lagi-lagi ikut ambil bagian dalam sumbangsih nonbisnis, sebagaimana digiatkan selama ini. Bukan rahasia, brand terkenal di bawah naungan PT Kinocare Era Kosmetindo ini, tidak berorientasi profit dari beragam produknya belaka. Kontribusinya dalam urusan menyangkut kepentingan sosial rasanya juga patut diacungi jempol.


Tidak berlebihan bila menyebut spiritnya untuk berbagi sungguh terasa. Realisasinya juga ndak pake ribet dalam meringankan beban sesama yang membutuhkan. Segenap pimpinan maupun karyawan pegiatnya tampak merasakan begitu nyata, bahwa dengan berbagi tidak akan membuat pencapaian berkurang tapi justru bertambah, sehingga keberadaan CK3 selalu di hati publik berikut sederet prestasinya sampai kini.

Dengan penyelenggaraan even berlabel Ramadhan Penuh Manfaat baru-baru ini pun, CK3 menyemai sekurangnya tiga kemaslahatan. Semula pelaksanaannya turut menggairahkan aktivitas literasi. Ketika sekalian peserta diminta untuk membuat tulisan seputar manfaat Ramadhan yang dialami, akan terangsang menikmati keasyikan menulis dengan sendirinya. Di sisi lain, sensasi menulis bakal terasa bila disertai kesenangan membaca.


Itu sejalan lanskap sejarah bulan seribu bulan yang menandai turunnya Alquran, dengan kata ”Iqra” (Bacalah!) di dalamnya. Boleh dibilang esensi pesannya mengenai tuntunan baca-tulis pertama kali. Mengingat, dalam perkembangannya juga berlangsung penulisan dan pembukuan keseluruhan wahyu, berupa mushaf Kitab Suci layaknya kita jumpai hingga sekarang. Jadi, taruhlah inisiasi positif CK3 tersebut juga turut menggelorakan kegemaran baca-tulis.

Kedua, serentengan cerita pribadi semua peserta demikian, menjadi tambahan update bacaan. Tulisan-tulisan yang mengusung tema seputar Ramadhan, memang telah dirilis berbagai media sebelumnya. Namun, pengalaman khususnya tentang manfaatnya tentu bersifat personal. Curahan taste-nya yang dirasakan masing-masing orang akan berbeda. Dalam hal ini, karya-karya yang tercetus semakin memerkaya warna-warni kisahnya dan pengetahuan.


Lebih asyik lagi, selanjutnya CK3 mengapresiasi sejumlah karya peserta terpilih. Meski rerata sekadar catatan pendek, tapi bonus yang tersedia mengesankan kehendak bagi-bagi rezeki seringan hati. Sekaligus cermin penghargaan atas kegiatan menulis sebagai laku kreatif yang memerlukan proses tersendiri. Lebih-lebih selain hadiahnya menggiurkan, penyampaiannya juga cepat ke tangan pemenang sehingga bisa lekas dinikmati kegunaannya.

Walhasil, bulan penuh berkah terasa makin seru dengan indahnya berbagi manfaat Ramadhan bersama CK3 belum lama ini. Tentunya kita berharap semangat macam itu juga akan kian menginspirasi pihak-pihak lain, dalam menyambut dan memaknai bulan suci mendatang. Utamanya dengan semarak meneguhkan tradisi kepenulisan, sembari terus membugarkan empati dan kepedulian sosial.


Lanjutkan baca...