Ssst Jangan-Jangan ”Inshaa Allah” Terbilang Lebay


CATATAN ini sekadar untuk menyanggupi rekan interaksi di medsos tempo hari. Ketika dalam obrolan (saya pikir, santai) tentang frasa ”inshaa Allah” dan ”insya Allah” saya justru disuruh untuk membuat artikel bertopik terkait. Oalaaah...

Meski saya mengawali komentar dengan ”Maaf”, lalu sebatas menanyakan apa ia sudah lama terbiasa memakai inshaa Allah sebagaimana bagian teks statusnya saat itu. Bila hal tersebut kebiasaan lamanya, rapopo, terserah. Kalau tentang sebaran di medsos yang sedang ramai, saya katakan, ”Mending jangan ikut termakan deh hehehe...” selesai. Tapi respon yang bergulir selanjutnya?

Begitulah ketika teks yang pada dasarnya netral, lantas dijamah perasaan subjektif. Namun, saya memakluminya, pembaca bisa saja melahapnya dengan selera berlainan. Meski rasanya komentar saya tersebut bagian celoteh pertemanan belaka. Tanpa bermaksud menyalahkan, lantaran saya bukan orang yang gampang berbuat macam itu. Lagi pula dengan sesama teman Facebook lainnya, yang penulisan status mereka bergaya apapun, mengalir saja tanpa persoalan.

Nah, hanya sebagai pembelajar yang ingin tiada henti belajar, saya berkewajiban memenuhi ”PR” ini. Saya coba meringkasnya cukup menjadi tiga bagian. Jangan sepotong-potong mengunyahnya, supaya apa yang sampean dapat-rasakan, juga ndak semata potongan-potongan nanti lho. Dalam hal ini, saya pun hanya menyarankan, selebihnya terserah sampean.

Kiranya perlu dipahami lebih dulu, bahwa titik tolak pembicaraan ini hendaknya dikembalikan pada konteks Indonesia, sebab bukankah penulisannya berbahasa Indonesia tho? Jadi, arah sudut pandang kita dari Indonesia-Arab bukan sebaliknya. Itu pun bukan untuk tujuan salah-menyalahkan, berebut pembenaran dan sebagainya. Dikarenakan, apa-apa selain mengenai Gusti Tuhan, bagi saya tetap relatif lebih-lebih bila disandingkan pada kebenaran!

Awal Marrah
Riuh seputar ”insya Allah” di medsos belakangan ini, sebenarnya pengulangan kegaduhan lawas yang merebak beberapa tahun terdahulu. Pernah terjadi pada tahun 2014 kemarin, tahun 2013 dan sebelumnya di dumay. Isinya terbilang hanyalah pelintiran mengatasnamakan dr. Zakir Naik, tokoh beken dari India, lantas disebarkan massif lewat pesan siar aplikasi Blackberry dan tautan medsos. Selain frasa ”insya Allah”, juga beredar penyalahan kata ”silaturrahmi”, tapi ihwal terakhir ndak akan kita perbincangkan.


Gambar lainnya diduga berasal dari Malaysia, entah siapa pelakunya. Sulit melacaknya di abad informasi digital seperti kini. Tapi, jika sedikit jeli meluangkan waktu, tentu bukan mustahil bisa menemukannya dan jelas bukan tugas saya. Monggo lacak sendiri hehehe... 


Terkait dengan masalah itu, dr. Zakir Naik, sejatinya telah merilis klarifikasinya pada tahun 2012 silam. Bahwa ia ndak pernah mengatakan apapun layaknya dalam sebaran tersebut. Ia bahkan mewanti-wanti (semua pihak) agar jangan menyebarkan informasi yang salah tanpa konfirmasi resmi.


Pilih Insya Allah atau Inshaa Allah dan Sebangsanya?
Lebih dulu saya menegaskan, frasa ”insya Allah” yang merujuk pada lafazh sebagaimana telah kita mafhumi bersama selama ini, jelas huruf ”syin” dalam kata ”insya” tersebut, penulisan fonemnya memakai ”sya” bukan ”sha” dalam bahasa Indonesia, serta ndak ada keraguan mengenai hal itu. Sementara, penulisan fonem ”sha” untuk huruf ”shad” bahasa Arab.

Seperti biasa saya bertanya-tanya dulu, pada orang-orang yang bisa dipertanggungjawabkan. Bagaimana pun saya memerlukan second opinion sebagai pembanding, demi menghindari godaan klaim kebenaran pribadi. Saya ogah menjadi orang yang demen mengklaim paling benar. Karena itu, saya meminta pendapat sementara cukup dua teman. Di antaranya, alumnus Ponpes Gontor yang juga pernah mengenyam pendidikan di Universitas Kairo, Mesir, lantas melanjutkan studi S3 di Jakarta.

Ia salah seorang tokoh yang dikisahkan dalam novel ”Negeri Lima Menara” yang ciamik, dan pernah menjadi narasumber untuk tulisan satu rubrik, ketika saya bekerja sebagai staf redaktur majalah, di lembaga yang berafiliasi dengan ustadz ternama sebelumnya. Lantas, saya juga menyandingkan wawasan pada teman lain, alumnus Ponpes Sarang, Rembang, yang diakui pendidikan agama melalui pendalaman kitab-kitab klasik. Dalam hal ini, kedua teman itu menyarankan agar tetap memakai ”insya Allah” yang sudah disepakai masyarakat!

Wujud transliterasi demikian bisa ditemukan di beragam referensi. Termasuk pada terjemahan Alquran keluaran Depag atau Kemenag Republik Indonesia sekalipun. Jejaknya bisa dijumpai pula di Kamus Bahasa Indonesia yang berlaku. Alternatifnya memang sempat muncul dengan penulisan ”in-sya Allah” dalam pedoman tahun 2008 lampau, tapi disertai pemberitahuan bakal adanya pembaharuan kala itu juga.

Pelintiran terhadap ”insya Allah” seperti postingan yang mewabah di medsos, justru menyisakan hiperkorek secara kebahasaan. Sebab, menyalahkan secara berlebihan dan ujung-ujungnya ndilalah salah. Ketika saya menelusuri lebih jauh, bahkan sudah ada ulasan yang menyebutnya lebay. Wuaduh! Lalu, bagaimana dengan ”inshaa Allah” yo?

Asumsi untuk menelisik frasa ”inshaa Allah” yaitu transliterasi dalam bahasa Inggris mulanya. Pada titik ini, sudut pandang telah digeser dari Indonesia-Arab menjadi Inggris-Arab, tentu penelaahannya juga ikut bergeser. Yang mengejutkan, redaksional bakunya dalam bahasa Inggris berupa ”InshaAllah”, semisal tertulis pada klarifikasi dr. Zakir Naik tersebut. Penulisan yang umum lainnya dalam terjemahan maupun tafsir Alquran berbahasa Inggris yang baku, yakni ”insha Allah” sedangkan ”inshaa Allah” ndak saya temukan sejauh ini. Sama halnya penggunaannya dalam salah satu judul hits Maher Zain yang sering terdengar.


Insya Allah Bermakna Menciptakan Allah?

Jika dicermati, ungkapan ”insya Allah” berasal dari teks Alquran, dengan lafazh إن شاء الله yang telah jamak. Antara lain dalam surat al-Baqarah ayat 70, surat al-Kahfi ayat 23-24, surat al-Qashash ayat 27 , surat al-Fath ayat 27 dan surat-surat lainnya. Kalimat itu mempunyai arti ”jika Allah Menghendaki” atau ”if Allah will” yang galib.

Frasa tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan penulisan yang telah baku. Umumnya kalangan menggolongkannya sebagai frasa interjeksi, sejumlah pihak lainnya memasukkannya sebagai frasa fatis. Tentu perumusannya ndak serampangan oleh para ahli bahasa pendahulu. Sebab, para begawan yang merumuskannya jelas bukan orang sembarangan. Karena itu, saya berkeyakinan penulisan ”insya Allah” bukan untuk pengertian selain ”jika Allah Menghendaki”, sekali pun tanpa pemisahan ”in” dan ”sya” bagiannya.

Upaya penyerapan bahasa asing (bukan hanya bahasa Arab), juga bersandar pada standar dan pertimbangan yang ketat. Bertolak dari tingkatan integritas prosesnya terpilah secara adopsi dan adaptasi. Ikhtiar adopsi, menyerap unsur bahasa asing secara bulat-bulat, sehingga transliterasi kata per kata maupun penuturannya ndak berubah. Dan adaptasi, serapannya disesuaikan sejalan kaidah bahasa Indonesia, bisa pengucapannya dan (atau) penulisannya sejalan tuturan khas dan lidah masyarakat di republik ini.

Dari sini, kendati ”insya” ndak dipisah bukan sertamerta diartikan sebagai ”menciptakan Allah” menurut pembacaan bahasa Arab-nya. Bila dimaknai begitu tentu bisa gaswat. Semisal dalam kamus al-Munawwirإنشاء   menyebutkan penulisan (tulisan) semacam mengarang” sebagai artinya. Lagi pula berdasarkan gramatika bahasa Arab (nahwu-sharaf), pemaknaan demikian ndak otomatis layaknya kata kerja. Ada spesifikasi makna terlebih ketika berangkai dengan lafazh Jalalah, sehingga ndak bisa dimaknai secara bongkokan.

Secara analisis semantik leksikal juga otografis dan fonologis, pemakaian leksem ”insya Allah” kiranya ndak mengendapkan problematik yang terlalu mengkhawatirkan. Lebih-lebih ketika masyarakat Indonesia telah memahami bingit hal itu. Dengan begitu, pemakaian ”inshaa Allah” dan semacamnya ndak diperlukan, sebab berpijak pada kaidah penyerapan bahasa asing, bila sudah terwakili dengan unsur sebelumnya (baca: ”insya Allah”), maka ndak perlu dimunculkan transliterasi baru yang berbeda. Namun, jika sampean hendak memakai transliterasi selain ”insya Allah” sekehendak hati juga monggo saja, penting konsisten untuk penggunaan frasa berunsur serupa. Wallahu a'lam bi ash-shawab!

Referensi bacaan:
-  Terjemahan Alquran Depag RI
-  Kamus al-Munawwir
-  Tafsir Ibnu Katsir
-  Grammar Alfiyah
-  Pedoman Baku EYD Terbaru 2009
-  Salinan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Depdiknas
-  Analisis Semantik

Lainnya:

Lanjutkan baca...

Enaknya Sebagai Penulis, Repotnya Menjadi Pembaca?


HIDUP adalah pilihan. Demikian ungkapan yang biasa mengemuka dalam banyak kesempatan. Setiap orang pernah dan akan berpapasan dengan pilihan-pilihan tertentu, ada kalanya pula terasa dilematis sepanjang menjalani kehidupan.

Berbicara tentang pilihan, saya tengah digelayuti rasa ingin tahu sepekan ini. Jika ditanya antara menjadi penulis atau pembaca, kira-kira apa pilihan orang-orang juga sampean? Penulis ataukah pembaca yo? Setelah menyimak obrolan di media sosial beberapa waktu sebelumnya, mengenai kacamata pembaca dan penulis atas karya penulis terkait, pertanyaan itu sering bergeliat di kepala.

Saya berharap orang-orang begitu pula sampean, mengambil hanya salah satu dari pilihan itu. Meskipun biasanya keputusan yang dianggap paling aman dan enak, yaitu memilih dua-duanya sekaligus. Faktanya, dengan memilih keduanya, justru bakal kian rumit merealisasikannya. Sekurangnya pasti keteteran dalam pelaksanaannya, lebih-lebih bila kudu secara bersamaan. Melakukan seperti pepatah ”menyelam sambil minum air” pun, bisa membikin tersedak bahkan megap-megap hehehe...

Opsi menjadi pembaca dirasa paling enak, pada kondisi normal yang ditandai ketersediaan sarana dan prasarana yang memadahi bagi kebanyakan orang. Sampean juga tinggal membeli aneka bacaan kesukaan di toko buku, atau meminjam dari perpustakaan, lalu melahapnya sambil bersantai ria. Ditemani secangkir wedang kopi hot kala senja di beranda rumah, taman, atau tempat mengasyikkan lainnya.

Di pihak lain, menjadi penulis rasanya paling enak. Terlepas dari segala upaya yang ndak jarang mengharu-biru, hingga berdarah-darah sekadar demi menoreh beragam tulisan (apik), untuk kemudian didaulat atau menyematkan sendiri predikat sebagai penulis. Sampean pun tinggal menuangkan gagasan dalam tulisan, bertopik apa saja lantas menyodorkannya ke hadapan publik. Beres.

Ketika seseorang menulis atau menyandang sebutan penulis, ia mendapat ”prestise” antara lain hak cipta, prospek seperti royalti dan sebagainya. Lebih dari itu, dirinya bisa menjadi layaknya ”Tuhan” yang menentukan nasib siapa pun, taruhlah dalam karya fiksi bikinannya. Dengan membuat tokoh di dalamnya bernasib malang atau mujur, bahkan membunuhnya seiring alur roman yang sedemikian dramatik, hingga mengaduk-aduk emosi pembaca.

Tapi, dari pembicaraan di medsos yang saya ikuti, membersit keharusan untuk pembaca. Kesannya pembaca dituntut harus mengerti secara presisi, kehendak penulis yang tersembunyi di balik karyanya. Penafsiran masing-masing orang yang bukan mustahil berlainan, terhadap muatan torehan penulis terkesan ditolak mentah-mentah.

Pada konteks itu, terutama menyangkut tulisan yang terasa misterius isi atau seringkali bagian akhirnya, jelas sampean akan berpikir ulang memilih sebagai penulis atau menjadi pembaca? Sebab, ketika penulis mengharuskan hasil pembacaan yang identik dengan kemauannya dari audiens, keleluasaan pembaca sertamerta tercerabut. Bila ternyata pembaca meresapi kandungan tulisan, kontras dengan keinginan penulisnya; akan dituding keliru memahami, kurang wawasan dan seterusnya.

Novelis yang juga artis beken republik ini, mbakyu Dewi ”Dee” Lestari, berbagi pengalaman sip-markosip yang berbeda, tentang masalah tersebut dalam tulisan di situs pribadinya. Inisiasi yang selalu ia lakukan sebelum melepas novelnya kepada penerbit, yaitu dengan meminta para sahabatnya untuk menikmatinya lebih dulu. Itu guna menjajaki seberapa jauh pesan yang ia sisipkan di dalamnya, bisa nyambung dengan pemahaman segenap pembaca.

Urusan teman-temannya selaku pembaca suka atau ndak pada curahan imajinasinya, ndak jadi masalah bagi penulis novel seksi berjudul Supernova berikut sekuelnya tersebut. Pada titik ini, dirinya bisa dibilang lebih proaktif menyadari keberadaan pembaca dengan segala haknya dalam mengapresiasi, yang sejatinya merupakan bandul keseimbangan atas ”hak eksklusif” penulis.

Ia bukan lantas menuntut (calon) pembaca kuasa menangkap pesan dalam bukunya sama plek dengan keinginannya. Bisa jadi baginya, saat tulisan dipublikasikan memang sepatutnya kemudian menyilahkan pembaca, memberikan apresiasi secara leluasa. Nah, apa pilihan enak dan ndak repot yang akan sampean ambil sekarang, menjadi penulis atau sebagai pembaca? Hayooo...

Lanjutkan baca...