HUJAN rintik-rintik turun di penghujung sore tadi. Aku
memandanginya dari jendela ruang tamu. Sungguh mendamaikan, kebetulan tanpa
geluduk yang biasanya menggelegar. Daun-daun, rerumputan dan tanah basah. Semerbak harumnya dibawa selimir angin yang seakan berebut masuk lewat ventilasi. Entah
bagaimana di tempat para sobat yo?
Suasana yang adem, melarung pikiran. Eh, teror bom Sarinah
beberapa hari lalu, kemudian ikut menyeruak dalam lamunan. Peristiwa yang lagi-lagi
mencederai kemanusiaan, membuat kita habis pikir. Dengan selalu mencatut agama
bahkan nama Gusti Tuhan, disertai iming-iming surga yang sangat melenakan,
lantas masih ada saja para sedulur yang terpedaya.
Andaikan saja agama bisa ngomong, bukan mustahil ia bakal menggugat
lantaran diposisikan sebagai objek ”lempar batu sembunyi tangan” melulu. Walau faktanya
agama ndak tahu-menahu, soal penafsiran bengkok yang menjadi pemantik ulah
bengal siapapun pemeluknya. Begitu pula aksi teror berdarah di Ibukota belum
lama ini tersebut.
Celakanya, kesadaran sedikitnya perasaan malu juga belum kunjung
tergugah, bahwa Gusti Tuhan Mahapengampun selama Nama-Nya dicatut berulangkali.
Sama halnya ketika Prerogatif-Nya dalam Menentukan hidup dan mati setiap makhluk,
selalu dirampas semena-mena. Masih saja muncul kawanan penyamun yang kerasukan merenggut
nyawa, dan masa depan sesama yang berbeda dengan kelompoknya.
Irama rintik-rintik hujan masih berdenting. Usai intronya mengalun
syahdu, musiknya sejenak menghentak, seiring butiran air yang menghambur dari
langit. Beberapa saat kemudian melembut lagi, membawa pikiran terlarung semakin
jauh. Udara segar pun serasa ikut mendayung, supaya aku lebih berlama-lama
menikmati kidung semesta itu.
Bila dipikir-pikir, aliran keyakinan ndak ubahnya dagangan
sekarang yo? Entah apakah gejala macam itu efek turunan dari era pasar
bebas termasuk MEA, yang kadung diterima sebagai keniscayaan atau bukan? Sewaktu-waktu
terus diproduksi, lalu dipasarkan pada mereka yang sedang terasing atau
diasingkan secara bertahap, dari keyakinan sendiri yang telah dipeluk selama
bertahun-tahun sebelumnya.
Tampaknya pemasar, ada pula hanya belantik, aliran keyakinan sangat
mengerti umumnya masyarakat bertipikal pemakai alias konsumen. Apa barang
keluaran terbaru yang ndak langsung membikin publik tergiur? Lebih-lebih
jika ditambah embel-embel bonus yang terlihat fantastis. Belum lagi, budaya
instan dalam banyak hal telanjur merasuk ke dalam urat nadi kehidupan sosial,
kian mempermudah rayuan gombal mereka untuk menjerat calon pengguna.
Jangan heran, beragam aliran keyakinan terus mencungul sampai hari ini.
Sebarannya bagai jamur di musim hujan. Macam-macam namanya, kadang hanya berkamuflase menjadi bentuk anyar. Inikah wujud kreatif masyarakat kita? Saking kreatifnya, hanya gara-gara merasa ndak cocok dengan penerapan kaidah tertentu, lalu merancang kelompok sendiri dan menghimpun pengikut dengan segala cara.
Lantas apa kenyataannya? Diakui atau ndak, justru mudarat yang
timbul menjadi semakin ndak keruan. Bukan kemaslahatan dan kedamaian
yang dirasakan warga sekitar terlebih masyarakat luas. Inisiatif membentuk
aliran keyakinan demikian apapun namanya, njekethek bukan menyelesaikan masalah
tanpa masalah. Sedangkan akar persoalan yang sebenarnya belum terinsafi. Ujung-ujungnya terperosok ke liang itu-itu juga, sebagai penganut radikalisme-ekstrimis, maupun pengikut kelompok yang menyipratkan keresahan jua.
Dampaknya, para orang tua kehilangan anak-anak saat beranjak dewasa,
yang semula diharapkan bisa memberi pencerahan hari esok. Sahabat kehilangan
para karibnya entah di mana rimbanya. Orang-orang harus terus menanggung
kebencian, dari segelintir pihak yang jiwanya kerontang dari derai cinta dengan
semaian kasih, selaku hamba yang berkeyakinan kepada Gusti Tuhan.
Waktu terus berlalu, aku semakin terpaku ketika memperhatikan lelaku rintik-rintik hujan. Tetesannya menghidupkan, sekurangnya mengalirkan denyut harapan anyar bagi renik-renik yang terkena curahannya. Dedaunan kering menjadi bugar
kembali, tunas-tunas bertumbuh dan sebagainya. Hati sekalian petani diliputi
kegembiraan, sebab bisa segera bercocok tanam. Dan seterusnya.
Rahmat hujan memang juga menumbuhkan benalu, jamur dan
tetumbuhan lain yang bahkan ndak kita inginkan. Tapi, semua itu
jelas lebih bermanfaat ketimbang sepak terjang kita yang acap lebih banyak mudaratnya. Lagi pula bukankah tiada yang sia-sia dari Kehendak-Nya, sejauh kita
mencerapnya dengan pikiran jernih, hati yang bening dan penuh syukur tho?
Kiranya itu pun baru tamsil sederhana tentang perbedaan Kehendak-Nya
dengan perbuatan kita. Nah, bagaimana bisa kita akan terus melampiaskan syahwat
pribadi maupun golongan, mengatasnamakan agama bahkan Gusti Tuhan seenak
udel, dengan mengguratkan luka kemanusiaan di kemudian hari? Kala menunggu jawabnya, sekonyong-konyong aroma seduhan
minuman khas berhembus, membuatku tersentak dari lamunan. Rupanya tiba waktunya nyeruput
wedang kopi hot, biar makin waras dan segar bugar yuk!
Ilustrasi: Goodfon