Lamunan di Bawah Rintik Hujan



HUJAN rintik-rintik turun di penghujung sore tadi. Aku memandanginya dari jendela ruang tamu. Sungguh mendamaikan, kebetulan tanpa geluduk yang biasanya menggelegar. Daun-daun, rerumputan dan tanah basah. Semerbak harumnya dibawa selimir angin yang seakan berebut masuk lewat ventilasi. Entah bagaimana di tempat para sobat yo?

Suasana yang adem, melarung pikiran. Eh, teror bom Sarinah beberapa hari lalu, kemudian ikut menyeruak dalam lamunan. Peristiwa yang lagi-lagi mencederai kemanusiaan, membuat kita habis pikir. Dengan selalu mencatut agama bahkan nama Gusti Tuhan, disertai iming-iming surga yang sangat melenakan, lantas masih ada saja para sedulur yang terpedaya.

Andaikan saja agama bisa ngomong, bukan mustahil ia bakal menggugat lantaran diposisikan sebagai objek ”lempar batu sembunyi tangan” melulu. Walau faktanya agama ndak tahu-menahu, soal penafsiran bengkok yang menjadi pemantik ulah bengal siapapun pemeluknya. Begitu pula aksi teror berdarah di Ibukota belum lama ini tersebut.


Celakanya, kesadaran sedikitnya perasaan malu juga belum kunjung tergugah, bahwa Gusti Tuhan Mahapengampun selama Nama-Nya dicatut berulangkali. Sama halnya ketika Prerogatif-Nya dalam Menentukan hidup dan mati setiap makhluk, selalu dirampas semena-mena. Masih saja muncul kawanan penyamun yang kerasukan merenggut nyawa, dan masa depan sesama yang berbeda dengan kelompoknya.

Irama rintik-rintik hujan masih berdenting. Usai intronya mengalun syahdu, musiknya sejenak menghentak, seiring butiran air yang menghambur dari langit. Beberapa saat kemudian melembut lagi, membawa pikiran terlarung semakin jauh. Udara segar pun serasa ikut mendayung, supaya aku lebih berlama-lama menikmati kidung semesta itu.

Bila dipikir-pikir, aliran keyakinan ndak ubahnya dagangan sekarang yo? Entah apakah gejala macam itu efek turunan dari era pasar bebas termasuk MEA, yang kadung diterima sebagai keniscayaan atau bukan? Sewaktu-waktu terus diproduksi, lalu dipasarkan pada mereka yang sedang terasing atau diasingkan secara bertahap, dari keyakinan sendiri yang telah dipeluk selama bertahun-tahun sebelumnya.

Tampaknya pemasar, ada pula hanya belantik, aliran keyakinan sangat mengerti umumnya masyarakat bertipikal pemakai alias konsumen. Apa barang keluaran terbaru yang ndak langsung membikin publik tergiur? Lebih-lebih jika ditambah embel-embel bonus yang terlihat fantastis. Belum lagi, budaya instan dalam banyak hal telanjur merasuk ke dalam urat nadi kehidupan sosial, kian mempermudah rayuan gombal mereka untuk menjerat calon pengguna.

Jangan heran, beragam aliran keyakinan terus mencungul sampai hari ini. Sebarannya bagai jamur di musim hujan. Macam-macam namanya, kadang hanya berkamuflase menjadi bentuk anyar. Inikah wujud kreatif masyarakat kita? Saking kreatifnya, hanya gara-gara merasa ndak cocok dengan penerapan kaidah tertentu, lalu merancang kelompok sendiri dan menghimpun pengikut dengan segala cara.

Lantas apa kenyataannya? Diakui atau ndak, justru mudarat yang timbul menjadi semakin ndak keruan. Bukan kemaslahatan dan kedamaian yang dirasakan warga sekitar terlebih masyarakat luas. Inisiatif membentuk aliran keyakinan demikian apapun namanya, njekethek bukan menyelesaikan masalah tanpa masalah. Sedangkan akar persoalan yang sebenarnya belum terinsafi. Ujung-ujungnya terperosok ke liang itu-itu juga, sebagai penganut radikalisme-ekstrimis, maupun pengikut kelompok yang menyipratkan keresahan jua.

Dampaknya, para orang tua kehilangan anak-anak saat beranjak dewasa, yang semula diharapkan bisa memberi pencerahan hari esok. Sahabat kehilangan para karibnya entah di mana rimbanya. Orang-orang harus terus menanggung kebencian, dari segelintir pihak yang jiwanya kerontang dari derai cinta dengan semaian kasih, selaku hamba yang berkeyakinan kepada Gusti Tuhan.

Waktu terus berlalu, aku semakin terpaku ketika memperhatikan lelaku rintik-rintik hujan. Tetesannya menghidupkan, sekurangnya mengalirkan denyut harapan anyar bagi renik-renik yang terkena curahannya. Dedaunan kering menjadi bugar kembali, tunas-tunas bertumbuh dan sebagainya. Hati sekalian petani diliputi kegembiraan, sebab bisa segera bercocok tanam. Dan seterusnya.

Rahmat hujan memang juga menumbuhkan benalu, jamur dan tetumbuhan lain yang bahkan ndak kita inginkan. Tapi, semua itu jelas lebih bermanfaat ketimbang sepak terjang kita yang acap lebih banyak mudaratnya. Lagi pula bukankah tiada yang sia-sia dari Kehendak-Nya, sejauh kita mencerapnya dengan pikiran jernih, hati yang bening dan penuh syukur tho?

Kiranya itu pun baru tamsil sederhana tentang perbedaan Kehendak-Nya dengan perbuatan kita. Nah, bagaimana bisa kita akan terus melampiaskan syahwat pribadi maupun golongan, mengatasnamakan agama bahkan Gusti Tuhan seenak udel, dengan mengguratkan luka kemanusiaan di kemudian hari? Kala menunggu jawabnya, sekonyong-konyong aroma seduhan minuman khas berhembus, membuatku tersentak dari lamunan. Rupanya tiba waktunya nyeruput wedang kopi hot, biar makin waras dan segar bugar yuk!

Ilustrasi: Goodfon
Lanjutkan baca...

Baju al-Muttahidah Agnes Mo dan Tawa Raja Arab



RUANG medsos gaduh, hanya gara-gara pakaian Mbak Agnes Monica yang bercorak tulisan Arab di satu bagiannya. Kostum yang dipakainya ketika tampil dalam acara ulang tahun stasiun televisi swasta waktu itu, menuai kecaman lantaran dianggap pelecehan terhadap agama. Saking gaduhnya, media lalu menganggap perlu meminta keterangan dari MUI segala.

MUI pun memberikan penjelasan, sayangnya, baju dengan hiasan kalimat bahasa Arab yang dikenakan Mbak Agnes Mo tersebut ndak masalah. Tulisan itu bukan ayat Kitab Suci, kira-kira begitu dalihnya. Andaikan jawaban yang disampaikan sebaliknya, kegaduhan jagad medsos dijamin akan semakin cetar membahana.

Lah stasiun televisi lain pagi kemarin, masih sempat menyelipkan asumsi sendiri dari wawancara dengan tokoh perempuan MUI, lalu disebutkan bahwa pihak lembaga fatwa itu turut, menyayangkan penempatan lafazh Arab di baju Mbak Agnes tersebut. Padahal, maksud penegasan yang terlontar bisa jadi bukan demikian.


Nah, sampean juga merasa belum puas, benarkah pakaian Mbak Agnes itu melecehkan agama? Dari informasi yang beredar, tertulis ”al-Muttahidah” bunyinya. Sebagaimana dijelaskan pula oleh Mbak Agnes sendiri di akun medsosnya. Bukan ayat, hanya kosakata Arab biasa, artinya ”bersatu” atau ”united” dalam penggunaan.

Arti dari kata al-Muttahidah bisa pula ”serikat” atau ”perserikatan”, layaknya istilah untuk organisasi PBB (al-Umam al-Muttahidah). Kadang terpakai untuk negara Amerika dengan sebutan al-wilayat al-muttahidah (USA). Boleh juga serupa Negara Kesatuan Republik Indonesia, rumah besar kita bersama tercinta ini. Dan saya menemukannya hanya sebagai nama penerbit kitab-kitab asal Beirut, Lebanon, semisal Dar al-Muttahidah dan as-Syarikah al-Muttahidah.

Jadi, apa masalahnya? Kegaduhan sekadar mengenai kostum Mbak Agnes macam itu, lagi-lagi membersitkan betapa para sedulur terutama yang mengecam berlebihan, masih suka kagetan selaku umat beragama. Sebabnya antara lain, telanjur mengidentikkan agama (Islam) dan Alquran dengan Arab, walau sebenarnya telah mafhum tentang relasi kedudukannya.

Ingatan saya jadi terbawa pada acara pengajian lampau. Ketika para jamaah begitu khusyu sampai geleng-geleng kepala, mendengarkan kasidah Arab dengan irama sejenis house music, karena mengira isinya tentang shalawat. Padahal, kalimat sesungguhnya hanya syair-syair taruhlah lagu cinta, samasekali bukan shalawat kepada Nabi saw.

Saya lantas teringat pula humor almaghfurlah Gus Dur yang dikemukakan oleh istri beliau, Ibu Nyai Sinta Nuriyah, saat diundang satu stasiun televisi swasta dulu. Gus Dur ketika menjabat Presiden, sedang berkunjung ke Arab Saudi dalam rangka bagian diplomasi. Pada kesempatan itu Gus Dur sempat membikin Raja Arab yang nyaris ndak pernah mesem, bahkan ndak terlihat giginya setiap berbicara di hadapan publik, lalu menjadi ger ger-an.

Gus Dur mengisahkan, tentang respon jamaah haji Indonesia kala membaca tulisan bahasa Arab bunyinya ”mamna’ud dukhul” pada dinding luar satu ruangan di sana. Maksudnya semacam pengumuman ”Dilarang Masuk” layaknya pada ruang-ruang tertentu kantor di negeri kita. Tapi, jamaah bersangkutan lantas memahami kalimat itu dengan arti ”Dilarang Bersenggama” versi kitab fiqh.

”Orang Arab sungguh terlalu, masa em-el di tempat seperti ini? Ckckckckckkk...” komentar jamaah itu sambil menggeleng-gelengkan kepala heran. Raja Arab pun sontak ngakak menyimak cerita tersebut.

Usai kunjungan, warga Arab Saudi mengirimkan surat kepada Gus Dur isinya, ”Yang mulia, apa yang mulia ceritakan kepada Raja kami, sehingga kami rakyat Arab bisa melihat gigi Raja?”

Bagi sampean yang ingin bergaya dengan bahasa Arab pun gampang, sampean bisa membiasakan ungkapan ala Gus Mus yang dibocorkan saat tausiyah di Surabaya terdahulu. Cukup saban mengantarkan suami atau lelaki kekasih sampean yang hendak bekerja atau bepergian, katakan saja dengan mesra, ”Qalbun-qalbun alladzy dzahab!”

Note:
- Qalbun = hati
- Alladzy = kang
- Dzahab = emas

Referensi bacaan: Liputan6 dan berbagai sumber lainnya
Ilustrasi: JPNN
Lanjutkan baca...

Racikan Maut dan Telisik Wedang Kopi Hot




ALIS kanan dan kiri saya langsung saling mendekat, seperti pasangan sejoli yang hendak berpelukan erat karena tahu keluarganya berniat memisahkan mereka, ketika pertama kali menyaksikan siaran berita televisi siang itu. Diberitakan, seorang perempuan meninggal dunia setelah minum es kopi Vietnam, di sebuah kedai pusat perbelanjaan mewah Jakarta beberapa hari kemarin (6/1).

Dahi juga ikut berkerut terkepung berbagai pertanyaan dan rasa penasaran. Saya yang semula akan mencari channel tayangan hiburan, batal lantas menyimak dengan serius pemberitaannya. Belum lagi, perempuan itu kabarnya pengantin anyar yang menikah pada bulan Desember yang baru saja lewat. Kasus tersebut sedang terus didalami pihak kepolisian sekarang.

Ya, iyalah kasusnya memang wajib diusut sampai tuntas. Bagaimana ceritanya, hanya sehabis ngopi sekejap lalu meninggal dunia? Tubuh perempuan tersebut mengalami kejang-kejang dan mulutnya berbusa, sesaat usai meneguk kopi dingin. Walau dirinya sempat dibawa ke klinik, lantas dilarikan ke rumah sakit, tapi nyawanya ndak tertolong akhirnya.

Saya ndak bermaksud apriori, hanya gara-gara sebagai penyuka (wedang) kopi hot. Tanpa menutup nalar pula, bahwa Gusti Tuhan Mahakuasa untuk menjemput ajal siapapun dengan bermacam sebab. Namun, kejadian itu sepatutnya disertai penjelasan, berdasar temuan-temuan faktual yang mesti diselidiki seksama. Dan tentunya bukan sebatas alibi, lantaran kemungkinan riwayat kesehatan, apalagi hanya dalih sudah menjadi takdir perempuan itu.

Hasil perkembangan upaya pihak berwajib yang dilansir banyak media sementara menyebutkan, bahwa kematian perempuan itu memang ndak wajar. Minuman yang dikonsumsinya saat kejadian, diduga kuat mengandung zat sianida. Bahkan, petugas kafe yang sempat mencicipi hanya setetes ketika mengamankannya pun, kemudian mual dan muntah. Oalaaah...

Peristiwa itu bukan hanya telah merenggut hidup sekaligus masa depan seseorang, dan melinangkan duka bagi keluarganya. Melainkan, bukan mustahil ikhtiar sekalian pekerja bawahan dalam mengais nafkah juga akan tersendat, sebab kedai tempat mereka bekerja menjadi sepi pelanggan untuk beberapa waktu nanti. Lebih dari itu, rasa aman masyarakat jelas ikut terusik kini.

Jajaran aparat berwenang diharapkan segera bisa mengungkap kasusnya dengan terang benderang. Meski konstruksi penyelesaian hukum ndak sertamerta harus mengiyakan logika publik. Sembari turut berbela sungkawa, mudah-mudahan almarhum mendapat tempat terdamai di Sisi-Nya dan segenap keluarga yang ditinggalkan senantiasa tabah, sekelumit tanya masih berkitar-kitar dalam kepala.

Benarkah wedang kopi hot, seperti biasa saya dan sampean nikmati, menyebabkan kematian? Saya jadi terkenang almarhum kakek yang terbilang penyuka tulen kopi, dalam sehari bisa menghabiskan dua-tiga gelas wedang kopi pahit, bahkan kadang bertambah jika kebetulan banyak tamu berkunjung sewaktu-waktu.

Usia kakek lebih kurang sembilan puluh dua tahun saat wafat. Tubuhnya masih bugar dengan kondisi jantung sangat normal, meski terakhir kali sakit bawaan masa uzur. Jadi, sakitnya bukan sebab doyan minum kopi. Selama hidupnya pun ndak pernah mengalami keluhan maag dan sebagainya. Eits, ini bukan pembelaan bernada justifikasi berbeda lho yo.

Ketika saya coba browsing mencari informasi di internet, saya mendapati berita tentang pria muda asal Kyushu, Jepang, meninggal sesudah menenggak asupan berkafein secara berlebihan di penghujung tahun kemarin. Taruhlah kafein yang kerap menjadi ”terdakwa” yang sama dalam seduhan kopi pada umumnya. Itu pun kasus overdosis pertama yang terjadi.

Laporan hasil pemeriksaan forensik menyatakan, pemuda berumur dua puluh tahun itu sebelumnya terbiasa mengonsumsi pula minuman energi mengandung kafein bertakaran tinggi. Kebiasaan demikian dilakoni pekerja SPBU 24 jam tersebut, agar tetap terjaga selama bekerja dari tengah malam hingga subuh. Ia juga pernah muntah beberapa kali dalam setahun mutakhir.

Menariknya, pada rentang waktu yang berdekatan media The Huffington Post menurunkan tulisan berjudul Drinking Coffee Tied To Lower Risk Of Death di pertengahan Desember lalu. Dengan mengutip sumber American Journal of Epidemiology, tentang penelitian terkait wedang kopi selama sepuluh tahun di Amerika, menjelentrehkan ulasan sebaliknya.

Orang yang demen nyeruput wedang kopi, kemungkinan berdampak kematian justru lebih kecil, ketimbang mereka yang samasekali ndak meminumnya. Dr Loftfield dari National Cancer Institute di Rockville, Maryland, lebih jauh menjelaskan banyak studi yang merilis tentang risiko kematian dan penyakit jantung yang rendah bagi pengonsumsi kopi. Artinya, penggemar wedang kopi hot, memiliki usia lebih panjang daripada para sedulur yang belum pernah menyesapnya yo?

Telisik demikian kiranya turut menguatkan, kasus ”ngopi maut” yang mematikan itu, bukan kopi biang keladinya. Jika memang nanti terbukti adanya kesengajaan peracunan terhadap korban, rekayasanya menyiratkan tindakan banal penghilangan nyawa yang ndak bisa dibenarkan secara hukum. Waba’du, sejenak kita nyeruput wedang kopi hot dulu, biar makin waras dan terhindar jauh-jauh dari hasrat jahat sekecil apapun yuk!

Referensi bacaan:

Lanjutkan baca...

Detik-Detik yang Mendebarkan


MALAM nanti, saat yang penting sekaligus mendebarkan bagi gadis itu. Dirinya akan berbicara pada ayah dan ibunya tentang rencananya. Ia sudah memikirkan dan mempertimbangkan kemungkinan maslahat dan mudharatnya, bagi dirinya maupun kedua orangtuanya, sejak empat bulanan lalu. Waktu yang ndak sebentar, untuk kemudian mengambil keputusan.

Jantungnya berdetak lebih kencang seharian ini. Cemas serasa ogah lepas mendekap erat sekujur tubuhnya. Buliran halus keringat dingin sering merembesi telapaknya yang berjemari lembut. Ia ndak kuasa menebak-tebak reaksi orangtuanya, kala mengetahui kemauan yang akan ia utarakan. Pikirannya jadi ikut terpacu mencari berbagai cara, agar ia bisa meyakinkan ayah dan ibunya. Bagaimana pun tekadnya sudah telanjur sebulat bola basket.

Ia sebelumnya juga telah meminta pendapat Alya, sahabat dekatnya. Kala merayakan detik-detik pergantian tahun, ala wong ndeso beberapa hari kemarin. Sekadar hiburan dengan lesehan di saung belakang rumah guru ngajinya, hingga lewat tengah malam. Bersama sejumlah anak-anak yang ikut menginap, selepas belajar baca-tulis Alquran seperti biasanya.

Sambil menikmati singkong rebus yang dimasak bareng-bareng. Di bawah derai gerimis yang sesekali berubah hingar-bingar, saat kembang api disulut para bocah, ditimpali sorak-sorai mereka. Kebersamaan yang belum tentu bisa ia lalui tahun depan. Walau mungkin bukan yang terakhir kali, semoga Gusti Tuhan Memberinya umur panjang setahun mendatang dan seterusnya, agar kesempatan untuk memoles hidup sebaik-baiknya juga lebih terbuka.

Waktu terus melaju, ndak terasa jam di ponsel bututnya menunjukkan pukul 01.15 dini hari. Sebagian bocah yang tadi meluapkan keriangan pecah bingit, menghilang ndak terlihat lagi batang hidung mereka. Barangkali mereka sudah terlelap di ruang tamu beranda samping rumah Kiai Ikhlas, dengan mimpi indah masing-masing. Impian tentang masa kanak-kanak yang ndak diinginkan lekas berlalu; meski sederet beban mengepung, tapi selalu masih bisa mengulas semringah bahkan tertawa lepas.

Gerimis telah lama reda. Udara terasa semakin dingin. Tinggallah ia dengan Alya masih selonjoran di saung. Dua bocah perempuan tertidur dekat mereka. Ia menyelimuti keduanya dengan sarung anak lelaki yang tertinggal. Saat itulah dirinya memberanikan diri untuk berbincang dengan karibnya tersebut.

Alya sendiri puteri bungsu guru ngajinya yang akrab disapa Kai, jadi ia menganggap gadis itu masih terhitung gurunya. Sebagaimana pendidikan seputar tertib berguru, dalam kitab akhlak pembelajar. Mungkin karena usia mereka sebaya dan satu lingkungan sekolah dari kelas satu SD terdahulu, mereka bersahabat layaknya saudara. Bahkan, ndak sedikit warga dusun-dusun sekitar yang mengira keduanya bersaudara atau sepupu.

”Ning, ada yang ingin aku sampaikan neh. Aku ingin meminta pendapat sampean” ujarnya memulai perbincangan, sambil menyemil potongan singkong rebus yang tersisa.
Ciyus? Tumben, Na. Apa tentang Mas Bajra yo? Dia pulang tadi sore, liburan kuliah lho” balas gadis di sebelahnya itu dengan tingkah menggoda.

”Ada-ada saja sampean. Nanti bisa jadi gosip, Kai dan Nyai ikut kecipratan lho, Ning” sergahnya dengan meminta sahabatnya itu memelankan suara.
”Kalau benar gimana? Lagi pula aku senang andai kau jadi kakak iparku. Hanya saja, aku ndak bakal memanggilmu Mbak tapi Mbok hahaha...” balas gadis berambut pirang bawaan orok tersebut ndak mau kalah, dan tawanya memecah kesunyian.

Ssst jangan keras-keras, nanti orang-orang pada bangun. Aku serius, Ning” tukasnya dengan memegang lengan karibnya itu. Walau begitu, ia ndak urung tergelitik mendengar canda gadis yang selalu energik tersebut.
Oh, jadi serius neh? Baiklah, kalau bukan soal Mas Bajra, lalu apa yang hendak kau bicarakan, Na?” jawabnya.

Beberapa saat kemudian, mereka berbincang-bincang ganyeng. Pembicaraan mereka sempat pula menegang. Ketika sahabatnya itu mempertanyakan alasan dirinya, hingga mengambil keputusan yang juga akan disampaikan pada orangtuanya tersebut. Alya tampaknya ndak menyetujui pilihannya yang dinilai edan. Ketegangan berlangsung sampai di akhir obrolan.

”Pokoknya aku ndak setuju. Kau ini sudah gila yo, Na? Dan aku beritahukan pada Mas Bajra, rencana edanmu itu sekarang juga!” kata sahabatnya itu lalu beranjak meninggalkannya.
”Jangan bilang-bilang dulu, Ning!” cegahnya. Tapi gadis itu lebih dulu ngeluyur pergi dengan bersungut-sungut.

”Kenapa sampean yang justru serius begitu, Ning?” batinnya setelah gagal mencegah langkah sahabatnya. Ia hanya bisa menghela nafas. Pandangannya menerawang jauh, seakan hendak menjangkau sayap-sayap kelam. Di kejauhan terlihat bola-bola api kecil meluncur deras, lantas berpendar sebentuk kembang menyibak pekatnya angkasa. Langit menjadi terang dengan cahaya warna-warni sejenak. Rupanya masih ada yang belum tidur di sana.

Rasa was-was seketika terasa menyergapnya. Ia baru membicarakan azamnya dengan karibnya untuk meminta pendapat saja, mendapat penolakan begitu rupa. Lalu, bagaimana ia akan menyampaikannya pada ayah dan ibunya malam nanti? Padahal, ia sebatas ingin menggapai nyata secercah impian. Layaknya bola-bola pijar kembang api yang melesat ke awang-awang itu. Siapa tahu juga bisa sedikit membenderangi kehidupannya yang gulita, dengan pendar berwarna-warni esok.

Cukup lama ia termenung, hingga lamat-lamat terdengar suara jejak kaki mendekat ke arahnya. Semilir angin sekonyong-konyong berembus, membuat rambut kuduknya merinding.

Ilustrasi: Deviant Art
Lanjutkan baca...

Cemilan Maknyus Berhikmah di Facebook Awal 2016


JIKA sampean membuka Facebook dini hari kemarin (1/1), sampean tentu menemukan sajian terkini di awal tahun baru 2016 ini. Ketika saya membukanya sekitar pukul 02.00, dengan memakai laptop dan pemuatannya hampir selesai, muncullah tampilan berisi gambar dan kalimat ucapan Selamat Tahun Baru di halaman beranda. Saya menunggu sejenak karena tertarik.

Objek selain deskripsi kiriman Facebook itu bergerak-gerak saat loading-nya beres. Ternyata bukan sekadar animasi, melainkan berformat video singkat. Kata-kata ucapan yang tertera memang standar berbunyi, ”Selamat Tahun Baru, D’n! Dari kami semua di Facebook, semoga Anda meraih yang terbaik di tahun 2016.” Namun ritmis gambarnya terasa menarik.

Video berdurasi sembilan detik yang terkemas amat simpel itu, seakan hendak menyampaikan pesan. Sebagaimana pembicaraan atau bahasan, seputar resolusi yang selalu mengemuka setiap menjelang tahun baru. Antara lain, apa harapan kita berikut rencana gebrakan yang akan kita tempuh mendatang? Bukan mustahil kreator pencetusnya juga terpikir hal serupa, lantas menuangkannya demikian.

Mula-mula terlihat barisan lelaki dan perempuan. Terdiri dari sejumlah orang dewasa, abege, serta anak-anak. Di antara mereka berpegangan tali balon-balon jumbo, berbentuk angka 2-0-1-5 simbol tahun yang berlalu. Ada gadis yang seolah katut saat mencekal talinya, ada pula bapak yang memeganginya sambil menandu bocah. Sedetik kemudian pemuda yang berada di sisi paling kanan, melepaskan tali balon angka 5 dari tangannya.

Balonnya kemudian lepas bebas dan menghilang. Pertanyaan seketika menyundul, bagaimana dengan angka 6 sendiri? Belum lama pikiran digelayuti rasa ingin tahu, dari arah bawah dekat lelaki muda pemegang tali angka 5, tiba-tiba melesat balon angka 6 yang membawa terbang gadis berpakaian ungu. Dia berusaha menahan laju balon di tangannya.

Gadis pemegang balon angka 6 itu sempat terseret ke sana ke mari, hingga berhasil mengendalikannya dan menjejakkan kaki di tanah akhirnya. Posisi balon di tangannya menggantikan balon angka 5 yang dilepaskan sebelumnya. Carikan kertas warna-warni lantas berhamburan diikuti balon-balon bundar yang seliweran.

Usai menontonnya terbersit hikmah, atau katakanlah pesannya. Saya jadi termenung, betapa tahun baru sejatinya ndak sertamerta menandai apapun yang harus serbabaru. Baik tentang barang milik, rutinitas, maupun ihwal lainnya. Dalam ilustrasi cemilan apik Facebook itu misalnya, objek yang berganti hanya balon angka paling buncit. Sedangkan balon-balon angka lain bahkan dipegang erat-erat.

Kebaruan warsa ndak selalu berarti, kudu meninggalkan bermacam hal yang dianggap lawas. Bukan pula dimaknai gegabah berburu serentetan orientasi yang tampak baru. Perayaannya yang cenderung gegap-gempita pun, mestinya ndak membuat kita justru demam panggung. Lantas, sisa waktu yang lebih panjang, terbuang sia-sia atau berbuntut penyesalan.

Sama halnya dengan kesempatan, sebenarnya ndak melulu harus dicari-cari, terlebih dikejar sembari berjumpalitan habis-habisan, sampai orang-orang sekeliling terabaikan. Jika boleh saya mengibaratkan balon angka 6 yang semula menerbangkan gadis itu sebagai peluang, maka sebarannya kerap tersedia di sekitar lho.

Dengan kata lain, tanpa disadari kita menggenggam serangkaian kesempatan. Selanjutnya bergantung curahan kreatifitas kita dalam memanfaatkannya dengan baik, sehingga ndak terlepas begitu saja dari genggaman. Lebih menggembirakan lagi, bila pemanfaatannya juga membuahkan kemaslahatan bagi sesama. Bukan justru kita dibawa terbang olehnya, hingga oleng dan ndak tahu di mana kaki mesti berpijak.

Cuplikan video persembahan Facebook itu pun menyiratkan bahwa, tahun baru hendaknya lebih ditandai makin semaraknya kebersamaan. Dengan kehadiran tambahan sedulur guna merealisasikan harapan bersama-sama. Seperti gadis pemegang balon angka 6 yang semula ndak terlihat, lantas sekonyong-konyong mencungul, selain melengkapi shaf juga turut membawa ”harapan” anyar.

Walhasil, tahun baru sepatutnya dinikmati sebagai momentum untuk mempertahankan hal-hal lama yang baik setahun kemarin, dan titik tolak ikhtiar menggenggam hal-hal baru yang lebih maslahat setahun ke depan. Bagaimana dengan sampean?

Monggo selamat menikmati tayangannya, untuk memperbesar tampilan (full screen) klik tanda kotak di pojok kanan bawah video berikut ini:


Ilustrasi: Facebook
Lanjutkan baca...