Valday Berlalu Cak Dulgemeģ Kok Hepi?



FEBRUARI telah melewati pertengahan. Bias gembira membersit di wajah Cak Dulgemeģ beberapa hari ini. Seiring dengan momen Valentine Day lewat. Namun, bukan sebagai ungkapan sikap antinya, terhadap perayaan yang selalu menarik animo kaum muda, sekaligus penolakan kalangan tertentu itu. Dirinya bukanlah orang yang suka anti-antian, bukan pula asal pro-proan.

Rona keceriaannya pun dirasakan oleh Kang Trimo dan Bang Saleho, dua sohib kentalnya, saat bertemu di warung kopi Yu Margiyem pagi tadi. Pikiran mereka berdua digelayuti tanya, apa gerangan yang membikin Cak Dulgemeģ berseri-seri? Sebelumnya, ia selalu bermuka masam sejak akhir Desember lalu. Apa karena perjuangan cintanya kepada Mpok Saoda diterima juga akhirnya?

”Kopi hot satu, Yu!” teriak Cak Dul setiba di warkop. Lalu ia merangsek ke tengah posisi duduk antara Kang Trimo dan Bang Saleho yang lebih dulu sampai di sana. Kedua sahabatnya itu terkaget sejenak, kemudian bergeser dan saling pandang. Ia cuek bebek, lantas mencomot pisang goreng yang tersaji di piring seng.


”Weeeh habis palentinan, ada yang sedang hepi neh. Kopi apa, Cak?” sahut Yu Mar dengan sedikit menggoda.
Maybe no, maybe yes. Wedang kopi hot tanpa susu seperti biasanya, Yu” jawab Cak Dul bersemangat. Dua lelaki di sampingnya kembali saling melempar pandangan.

”Sebentar, sebentar, masalah wedang kopi hot tanpa susu pesanan sampean, beres segera aku siapkan. Tapi, kok no-yes, piye yang benar, Cak?” tanya Yu Mar sambil mengelap gelas dan lepek. Kang Trimo dan Bang Saleho memandang bersamaan ke arah Yu Mar, sebagai isyarat mengamini pertanyaan istri Mas Ngadimin itu.

”Halaaah, sampean bertiga jangan lebay begitu deh. Biasa saja keles. Aku bilang maybe no pertama, karena aku ndak habis ikut merayakan palentinan kayak orang-orang itu. Kedua, aku bilang maybe yes, betul aku sedang hepi sekarang” jawab Cak Dul, lanjut mengunyah pisang goreng di mulutnya.

”Oalaaah gitu. Lah terus apa yang bikin sampean tumben begitu hepi, Cak?” tanya Yu Mar lagi sembari mengisi gelas dengan bubuk kopi dan gula.
”Ih, Yu Mar kepo deh. Buatkan wedang kopi hot pesananku dulu gih” balasnya.
”Huuuuu...” sahut Yu Mar, Kang Trimo dan Bang Saleho bareng. Cak Dulgemeģ cuma nyengir mengangkat bahu.

Usai menghabiskan sepotong pisgor, Cak Dul lantas mencomot bala-bala dan beberapa cabe rawit. Sebentar kemudian Yu Mar juga menyodorkan wedang kopi hot pesanannya. Ibu tiga anak tersebut lantas duduk menghadap ketiga lelaki pelanggan warkopnya itu. Tampaknya dia juga ingin nimbrung, ada apa dengan Cak Dulgemeģ kok hepi selepas palentinan?

”Pasti sampean kebanjiran penumpang ojek yo, Cak?” tebak Kang Trimo sambil merubah posisi duduknya.
”Nehi...nehi...” tukas Cak Dul spontan. Ia menuang wedang kopi hot ke lepek. Ditiupnya minumannya beberapa kali, lantas diseruputnya pelan-pelan. Kang Trimo manyun, setelah tahu tebakannya salah.

”Jangan-jangan karena perjuangan cinta kau pada siapa itu, si Mpok Saoda, diterima yak? Jadi, bertepuk dua tangan cinta kau sekarang. Ngaku saja kau, betul nggak Yu?” timpal Bang Saleho disahuti ”Betul itu...” oleh Yu Margiyem.
”Nehi...Nehi...” jawab Cak Dul lagi-lagi menirukan gaya aktor Bollywood, dengan menahan geli ketika melihat dua penanya melongo.

”Lah terus apa tho, Cak?” kali ini Yu Margiyem semakin penasaran. Kang Trimo dan Bang Saleho hanya mengangguk-anggukkan kepala.
”Suasana hatiku memang lega, hepi, lantaran palentinan atau Valday sudah lewat kikikikikikkk...” tukas Cak Dul terkekeh-kekeh.

”Wah berarti sampean ini juga anti-palentinan yo, Cak?” sela Kang Trimo.
”Eits, bukan begono maksudku, Kakang yang ganteng ndak ada tandingannya. Aku ini yo ogah anti-antian, karena hidup ini ndak hanya soal anti-antian tho? Tapi, harapanku saat Valday sudah kelar, pertanda berakhir pula musim gaduh di dunia maya.

”Maksud kau apa, Cak?” sahut Bang Saleho.
”Begini, coba para sedulur ingat-ingat lagi, media sosial ramai mulai akhir tahun kemarin? Saat para netizen mempersoalkan ucapan ”Selamat Natal”-lah, ”Selamat Tahun Baru”-lah, dan ”Selamat Imlek” kepada saudara-saudara yang berbeda keyakinan. Belum lagi, kegaduhan mengenai ”Jilbab Halal”, lantas disusul palentinan.”

”Hmmm...” Kang Trimo, Bang Saleho dan Yu Margiyem sebatas bergumam mendengar penjelasan Cak Dulgemeģ.
”Nah, itu yang membikin aku lega dan hepi. Dengan begitu, masyarakat dapat bekerja dengan tenang lagi. Dan kalau main Facebook, Twitter dan media sosial yang lain, aku ndak sumpek baca perdebatannya.”

”Tapi, semua itu, katanya, untuk menegakkan agama, Cak” kata Yu Margiyem.
”Menegakkan agama sih menegakkan agama, tapi ndak dengan riuh berdebat hingga sering menjadi perselisihan sarat emosional begitu juga. Apalagi, kemudian cenderung berbuntut menuding orang lain yang berlainan pendapat sesat, bahkan mengafirkan, Yu”

”Yang bikin aku ndak habis pikir, kok saban tahun meributkan persoalan itu-itu saja. Dari dulu kok ndak capek, kita seperti ndak punya urusan yang lebih tokcer. Ketimbang ribut begitu, mending setidaknya berempati terhadap para sedulur yang kebanjiran, siswa-siswa yang ndak bisa dan ndak punya sekolah yang layak, serta aktivitas kreatif lainnya” ujar Cak Dulgemeģ, sejenak ia menyeruput wedang kopi hot-nya.

”Lagi pula ndak sinkron dengan usaha pemerintah. Mosok pemerintahnya teriak kerja kerja kerja..., lah rakyatnya ricuh ricuh ricuh... melulu? Begitu pula sebaliknya, mosok rakyatnya jumpalitan bekerja, eh jajaran petinggi di atas perang isu, bahkan rebutan kepentingan pribadi atau kelompok tiada henti?”

Ketika ia akan meneruskan ucapannya, seorang perempuan mendatangi warkop. Dari gelagatnya, perempuan muda itu sudah ndak asing lagi bagi mereka. Semua warga kampung Sugihjiwo hingga kampung-kampung sebelah, amat mengenal sosoknya yang ramah kepada siapapun.

”Cak Dul bisa mengantarkan saya ke pasar sekarang?” tanya perempuan itu sambil njawil pundak Cak Dulgemeģ dari belakang. Cak Dul menoleh dan sempat gelagapan saat melihat siapa yang mencoleknya.
”Oh, Mpok Saoda, bisa-bisa. Mpok Saoda mau belanja, yo?” sahutnya dengan grogi.

”Ya iyalah, kalau ke pasar mah belanja, bukan mau nonton film atuh, Cak” sahut perempuan itu dengan nada menggoda, Cak Dul makin salting.
”Siap, saya antarkan sampean ke mana pun” balasnya dengan beranjak dari tempat duduknya. Ia kemudian melambaikan tangan pada Yu Margiyem, Kang Trimo dan Bang Saleho yang cekikikan melihatnya.

Ilustrasi: Pinterest
Lanjutkan baca...

Belajar Kebersamaan dari Ikan Koi



HUJAN sedang asyik banget turun. Sesekali berganti gerimis rintik-rintik yang awet mengeramasi tanah. Matahari nyaris ndak terlihat batang hidungnya, seharian dalam tiga hari ini. Kabar dari teman-teman, curah hujan merata di pelbagai tempat.

Dingin menyelimuti sekitar. Entah saat pagi, siang, petang, terlebih malam. Lantai, kasur, bantal, guling dan setiap ruangan juga terasa ikut melembab. Apalagi, udara di luar rumah jangan ditanya lagi. Pokoknya setiap kaki melangkah hawanya brrrrr euy...

Akhir Pekan 5 Juli
Langit tampak redup banget layaknya saat maghrib. Tetangga ndak terlihat kelebatannya di luar. Padahal, gema suara adzan waktu ashar belum lama senyap, dari pengeras suara masjid di seberang jalan gerbang komplek. Jam pun masih bergelayut pada angka 04.04 sore. Saatnya menambah air kolam dan memberi pakan ikan-ikan di taman depan.


Walau masih gerimis dengan embusan udara yang menggigit kulit, rutinitas itu tetap harus dikerjakan. Sebab, air kolam biasanya justru cepat susut kala hujan. Kolamnya bocor halus, entah bagian mana. Belum lagi, ikan-ikan pasti membutuhkan cemilan, untuk sekadar menepis dingin. Seperti orang-orang yang ingin menyemil jajanan hangat, lebih-lebih selama turun hujan cukup lama tho? Hehehe...

Gerimis sedikit mereda beberapa menit kemudian. Namun, tetesan bulir kecilnya yang masih berhamburan dari langit, tetap bisa cukup membasahi baju dan menyeruakkan hawa adem. Benar saja, air kolam telah menyusut amat rendah, hingga ikan-ikan beringsut perlahan mencari teduhan dari satu sudut ke sudut lain.

Terpikir betapa dinginnya mereka, ketika ndak leluasa bergerak dalam air yang hanya sedalam jari kelingking orang dewasa. Saat kran terbuka dan mengucurkan air, mereka segera berenang ke permukaan. Mereka bergerombol sembari mengatup-katupkan mulutnya, seakan telah lama menunggu tambahan air sekaligus pakan. Kasihan.

Ikan-ikan dari keluarga Koi itu sontak berebut girang, kala butiran pakan berwarna hijau dan merah hati ditabur. Bila sudah mencaplok beberapa butir, mereka lantas mendekam bareng, sambil mengatup-katupkan mulut di dasar kolam. Tampaknya mereka sedang mencerna. Berikutnya satu per satu kembali naik ke permukaan, untuk mencomot selanjutnya berdiam diri lagi.

Beberapa saat berikutnya, di antara mereka berenang menjauh. Gerakannya diikuti ikan-ikan lainnya. Kadang salah seekor dari mereka juga melakukan atraksi, meliuk-liukkan tubuhnya dan menggelepar dengan cepat beberapa kali, di tengah kerumunan teman-temannya.

Gerakan itu membuyarkan ikan-ikan yang bergerombol. Sejenak kemudian mereka saling mendekat lagi. Aksi lainnya, mereka berbaris mengelilingi kolam. Iring-ringan mereka sesekali pula di selingi akrobat, seekor ikan meloncat ke atas permukaan air menimbulkan bunyi kecipak. Beberapa detik berlalu, ikan tersebut bergabung kembali dalam barisan, lanjut memutari tepian kolam.

Lucu dan menggemaskan tingkah peliharaan itu. Mereka seolah ingin memberikan hiburan. Padahal, kata adik, dulu mereka ndak seatraktif itu. Bila ada orang mendekati kolam saja, mereka segera kabur menjauh. Tapi sekarang dengan mencelupkan jari ke kolam sekalipun, mereka justru menyentuhnya dengan lembut mungkin dikira pakan. Siapa dulu yang merawat hehehe...

Mereka hanya membutuhkan genangan air yang cukup dan pakan seperlunya. Lalu, gelembung udara agar memperoleh sirkulasi oksigen, untuk bernafas dalam air. Kalau pun saya lupa memberikan pakannya, mereka hanya memakan lumut tipis di pinggiran dinding bawah kolam. Selebihnya mereka akan menikmati apapun yang terjadi, dengan selalu berdekatan satu sama lain.

Ah, demikiankah gambaran kekeluargaan, setidaknya persahabatan ikan-ikan? Begitu simpel dan easy going lakonnya. Mereka hanya perlu bersama, girang berbagi kesempatan mendapat jatah pakan dan saling merapat kala apa yang dibutuhkan belum terpenuhi. Jika seekor bergerak ke arah tertentu, ikan-ikan yang lain segera menyusulnya, seolah ndak ingin saling terpisah.

Jika kebutuhan mereka yang memang ndak neko-neko dan ndak aneh-aneh dipenuhi, mereka lantas menyuguhkan hiburan. Setidaknya mereka menghibur diri sendiri, atau sebagai ungkapan terima kasih kepada siapapun yang telah berbaik hati kepada mereka yo? Dengan berbaris mengelilingi kolam, meliuk-liukkan badan, melompat dan sebagainya.

Sementara, pertemanan manusia seringkali bahkan selalu complicated praktiknya. Walau kadang tampak sesimpel dan se-easy going pertemanan ikan. Tengok saja, idiom-idiom ”teman bisa menjadi musuh”, ”pagar makan tanaman”, ”menusuk dari belakang” dan semacamnya. Ikatan kebersamaan yang justru bikin ngeri tho? Dan fenomena macam itu mengemuka sejak zaman batu, mungkin sampai kiamat nanti.

Kerapkali pula terdengar pertemanan manusia yang hanya berkarib jika sedang butuh, habis manis sepah dibuang, ndak tahu berterima kasih dan seterusnya. Meski ndak semua orang demikian. Bisa jadi sampean pernah atau sedang mengecap pengalaman seperti itu yo? Hayooo wkwkwkwkwkkk...

Pertemanan manusia pun ndak jarang menghamburkan derai gerimis airmata. Rasanya bukan menyejukkan, tapi dingin membikin beku kehangatan apapun. Geliatnya bahkan ndak jarang mengundang badai yang cetar membahana. Ujung-ujungnya, serangkaian kisahnya berakhir dengan permusuhan yang terburuk dalam sejarah permusuhan antarmakhluk di muka bumi.

Entahlah, kok bisa begitu yo? Serasa lebih buruk ketimbang hubungan para ikan? Saat manusia justru dikaruniai sederet anugerah oleh-Nya yang paling istimewa. Di antaranya pikiran, hati, rasa dan budi pekerti. Berbekal karunia-karunia itu pertemanan yang terjalin seharusnya lebih keren daripada ikan-ikan tho? Angkat gelas wedang kopi hot-nya dulu hehehe...

Hanya catatan semasa berkelana yang spontan teringat, kala meresapi betapa pengelola Facebook sedemikian ingin terus menghangatkan kebersamaan, dengan sekalian penggunanya dalam momen #FriendsDay untuk merayakan ulang tahunnya tempo hari.

Ilustrasi: Dokumen Pribadi
Lanjutkan baca...

Dari Ambang Netra Susuri Lorong-Lorong Hati



ROMAN senja kian meredup, semilir angin mengembuskan ketenangan tersendiri. Damai yang menggerakkan pikiran bareng jemari, untuk menorehkan bait-bait dari suara yang selalu berbisik di relung hati. Tentang aku, kau dan siapa saja yang ingin atau sedang lesehan di taman kedamaian.

Wahai hati! Pernahkah kau untuk sekali saja berhasrat menatap kelopak mata ini? Mata yang menjadi lensa bagiku, kau dan siapa saja, kala menatap segala yang telah dianugerahkan-Nya di muka bumi. Pintu bagi jejakku, langkahmu dan ayunan kaki siapa saja, guna menemukan apa yang diinginkan dan dimiliki hingga menapak kepastian.

Bila kau sedang ingin, berharap, syukur-syukur berkenan untuk melirik kelopak mata ini, duhai hati, maka akan terbentang lorong-lorong sunyi. Mungkin saja juga gulita menuju ke setiap ruang di dalamnya. Saat kau mulai bergerak menapakinya dan memasuki sekat demi sekatnya, maka jangan pernah berharap kau akan bertemu para malaikat atau bidadari-bidadari. Dengan senyum, wajah berseri dan aroma mereka yang mewangi surgawi.


Saat kau beringsut menjelajah ruang yang lain, kau juga ndak akan menjumpai anggur-anggur segar pemuas dahaga, maupun hidangan lain yang nikmatnya tiada tara. Jika lantas beralih ke ruang yang lain lagi, kau ndak bakal menemukan Gusti Tuhan bertahta di sini. Andaikan kau pun merasakan kehadiran-Nya di salah satu ruang hati ini, kau hanya akan serasa ”melihat-Nya” dari balik tirai pekat nan jauh. Bagai menatap kedalaman samudera, dari riak-riak air permukaannya yang amat menghitam keruh.

Jangan pernah kau berharap begitu. Itu ndak akan terjadi. Hati ini rasanya bukan altar yang agung untuk Gusti Tuhan bersinggasana. Hati ini teramat kotor, anyir, kelam dan penuh debu-debu beraroma menjijikkan. Tentu ndak pantas meski sekadar disambangi oleh-Nya yang Mahasuci, Mahaindah, Mahawangi dan Mahasegalanya tho?

Namun, bila kau telah menyusuri semua lorong berikut setiap ruang di hati ini, seluruhnya, aku hanya ingin bertanya kepadamu. Seberapa banyak iblis, syetan, demit, genderuwo, dan kawanannya apalah namanya yang kau temukan? Satu, dua, sepuluh, seratus, seribu, sejuta, semilyar, setrilyun, atau berapa?

Atau kalau jumlahnya ndak terhingga sekalipun, berapa makhluk-makhluk paling dibenci manusia itu yang tertangkap basah pandanganmu yang indah nian di dalamnya? Kalau kau ndak berpapasan dengan satu pun dari mereka, maka kau adalah pembual terburuk yang pernah ada di jagat fana ini. Heuheuheuh...

Di antara mereka pasti kau jumpai. Tapi berapa? Sehingga kau teramat muak, bahkan ndak cukup puas terlampiaskan dengan memuntahkan seisi emosimu. Dengan ludah-ludah kebencian yang berlendir. Lalu, pernah kau bertanya kepada salah satu makhluk-makhluk busuk, yang selalu dihinakan sampai kapan itu untuk sekali saja?

Pernahkah kau bertanya, sekali saja, mengapa dia merasuki ruang hati ini, hingga betah berlama-lama mendiaminya? Bagaimana ceritanya kawanan makhluk haram jadah tersebut bisa melakukannya, dan kau jumpai masih bergentayangan dengan tampang dan tingkah yang teramat memuakkan di dalam hati sini?

Sementara ndak jauh dari ruang, di mana kau temukan para makhluk jahanam di ruang hati ini, masih terbuka pintu bagi siapapun yang selalu merindu-Nya tiap saat. Walau ndak semegah gerbang mereka yang menyucikan dan disucikan-Nya sepanjang takdir. Meski ndak semenawan ambang mereka, yang mustahil akan kau temui satu pun makhluk haram jadah itu. Kendati ndak seindah portal hatimu yang mungkin lebih steril, dari hempasan debu-debu jalanan.

Ups, jangan-jangan kau terhijab pula menemukannya yo? Wuaduh, gaswat! Selama hayat masih dikandung badan, selama nafas masih terhela, itu bisa dibilang sesial-sial kesialan. Dan kau bukan Gusti Tuhan, walau kau begitu sempurna untukku, kau dan siapa saja yang ndak sempurna. Maafkan aku yang ndak sempurna dan ndak akan bisa menjadi sempurna hingga Ia menyempurnakan dengan kematian belaka nanti.

Manakala kau memang ndak menemukan apapun lagi, yang mendamaikan dalam hati ini melalu kelopak mata ini, mungkin sudah waktunya diriku atau kau pergi. Karena, segalanya hanya akan sia-sia tho? Maybe lebih baik ayunkan langkah sajalah, cari dan temukan lorong-lorong yang membentangkan ruang-ruang hati yang lebih bening, suci, wangi dan sempurna. Demi bahagia yang kau dambakan dan ndak perlu kau cemaskan apapun di sini.

Lebih mendamaikan seandainya hati ini pun ndak harus menanggung kebencian. Bukan pula kudu memendam kebencian, dengan memergoki jejak-jejakmu. Tanpa suara menyipratkan guratan tapak-tapak kelam diri ini, di sepanjang jalan langkahmu bersama mereka yang tiada lelah mengacungkan klaim kebenaran.

Telaga Kalbu, 2013
Ilustrasi: Matta-Art
Lanjutkan baca...