Rapor Media Sosial Jajaran MUI


ZAMAN digital membuka kesempatan bagi masyarakat bersentuhan dengan media sosial secara leluasa. Bisa dibilang kehidupan banyak orang telah begitu lekat dengan aplikasi internet yang sangat digemari itu. Jumlah penggunanya juga cenderung terus meningkat seiring keluarannya yang semakin bermacam pilihan.

Hasil riset perusahaan We Are Social pada awal 2017 ini misalnya, menyebutkan pengguna aktif medsos di Indonesia telah menembus angka 106 juta. Di antaranya dengan memakai perangkat mobile sebesar 92 juta orang. Sedangkan tahun 2016 kemarin jumlahnya masih berkisar 79 juta, antara lain melalui peranti mobile tercatat 66 juta orang.

Jika melongok geliat keseharian di sekeliling, memang hampir setiap orang menggunakannya di sela-sela kesibukan. Para sedulur juga memakainya sebagai penopang melakoni profesi masing-masing di berbagai tempat. Rasanya sampean pun sudah terbiasa menjumpai ’wajah-wajah bercahaya’ dalam kegelapan tengah malam tho?

Beragam motivasi yang mendasari penggunaannya. Entah sekadar untuk sarana aktualisasi diri, bertukar informasi, hiburan, atau urusan penting mengenai hajat hidup khalayak luas. Misalnya, sosialisasi program kerja Pemerintah untuk diketahui rakyat. Selain pemanfaatannya juga sebagai media dakwah. Tak dipungkiri eksistensi medsos memberi sederet manfaat.

Namun, sepanjang kurun waktu terakhir medsos lebih sering mendedahkan sisi negatifnya. Sebaran postingan abal-abal, ujaran kebencian berbau SARA dan hasutan bernada amarah sedemikian mewabah di bilik-bilik jagat maya. Baik melalui kedok laman-laman yang dipoles seolah portal media online, maupun lewat bejibun akun anonim jejaring sosial.

Ditambah terungkapnya kasus Saracen, diduga sindikat penyedia dan penyebar konten macam itu. Akibatnya, ruang-ruang medsos sering berisik saat muncul berita atau peristiwa kontroversial. Terutama jika berkaitan dengan politik dan pemerintahan, bahkan tak jarang hanya gara-gara objek yang tergolong remeh. Kegaduhannya sesekali merembes ke dunia nyata.

Terlepas dari indikasi Saracen terafiliasi dengan golongan kepentingan tertentu, fakta demikian jelas problem serius yang perlu ditangani demi menjaga harmoni sosial hingga keutuhan bangsa. Praktik sejenis tidak sertamerta bisa dibenarkan, berdalih kebebasan berekspresi wujud demokrasi. Pasalnya, demokrasi juga senantiasa berkelindan dengan timbangan supremasi hukum.

Pada titik ini, bisa dimafhumi bila MUI sampai perlu menerbitkan Fatwa Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial baru-baru ini. Penerbitannya seakan menegaskan bahwa penggunaan medsos berlebihan, jika tidak boleh menyebut kebablasan. Dan fatwa itu sekurangnya panduan (normatif) bermedia sosial utamanya bagi kalangan muslim ke depan.

Fatwa tersebut akan lebih tokcer bila menjadi rujukan pertimbangan selain kaidah hukum formal, bukan hanya untuk publik namun juga bagi kalangan internal MUI sendiri. Para tokoh di dalamnya memang hendaknya meneladankan lelaku etik pemakaian medsos lebih dulu. Kala sejumlah pemangku strukturalnya aktif bermedia sosial selama ini.

Apakah selama pengurus MUI berbagi postingan di medsos, kesannya memang berbeda dari netizen kebanyakan? Misalnya, lebih mencerminkan kematangan sikap dalam memaknai serta merealisasi kebebasan berekspresi. Selain itu, pesan muatannya bercirikan pembelajaran khazanah ilmu dan pemahaman (agama) yang semakin mengademkan di tengah dinamika kekinian.

Lebih jauh, peran MUI sejatinya mencarikan jalan tengah, dengan pencerahan yang turut meredakan polemik termasuk di medsos dan bukan sebaliknya. Nah, apakah pengurusnya yang aktif bermedia sosial benar-benar tidak terjebak, apalagi larut terseret polarisasi yang berkembang? Sudahkah konten-konten cetusannya senafas dengan spirit Fatwa yang diterbitkan itu sendiri?

Kalau mengunyah bagian Fatwa yang secara umum tampaknya bertolak dari perspektif Islam tersebut, ada beberapa poin yang semakin menegaskan bahwa jajaran MUI terikat nilai di dalamnya. Yakni, ketentuan haram untuk konten medsos antara lain ghibah, namimah, aib dan hal-hal sejenis yang terpaut pribadi.


Ini tentu bukan dimaksudkan untuk pembatasan terhadap hak berpendapat dan sebagainya. Melainkan, sebatas konsekuensi logis dari predikat ke-MUI-an yang melekat pada setiap anggotanya. Bagaimanapun pegiatnya adalah figur publik layaknya pejabat publik, yang tak dapat berdalih atas nama pribadi maupun kebebasan belaka. Lagi pula, bukankah tidak elok jika bermacam postingan medsos para tokohnya tiada beda dengan narasi akun masyarakat awam tho?

Serangkaian pertanyaan dan harapan demikian, berujung pada satu pertanyaan: beranikah MUI sekalian menggagas rapor medsos untuk jajarannya ketika telah mengeluarkan Fatwa terkait? Dalam hal ini, MUI selain mulanya harus lebih menggiatkan kontrol internal yang sejatinya niscaya pada setiap organisasi formal, juga perlu membuka saluran untuk menampung aspirasi publik sebagai bahan masukan untuk penelisikan.

Masyarakat luas pun tidak muluk-muluk dengan mengharuskan publikasinya, melainkan cukup merasakan perubahan nyata atas perilaku bermedia sosial oknum struktural MUI yang dianggap tidak sebagaimana mestinya. Rapor medsos ini lebih memungkinkan ketimbang menyerahkan sepenuhnya pada subjektivitas respon netizen, lantaran bukan mustahil bisa memicu generalisasi negatif terhadap seluruh elemen MUI bahkan marwah kelembagaan.

Ilustrasi: Twitter Kemkominfo
Tambahkan Komentar

0 comments