Hidup Indah Tanpa Menjadikan Sesama Pensil Warna


DUNIA memang penuh warna. Bukan hanya corak seperti dalam nyanyian kanak-kanak Balonku Ada Lima; hijau, kuning, kelabu, merah muda dan biru. Atau nuansa serupa yang lain. Namun, juga berwarna dengan rupa-rupa peristiwa, balada serta romantika sepanjang gebyarnya.

Geliat manusia selaku para aktor utamanya pun macam-macam. Baik antagonis, protagonis, maupun aksi lainnya. Sejalan bawaan karakter berikut kemauan membenahi kepribadian, dalam kisah suka-duka serta legit-getir. Dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing, karena sesungguhnya tiada pemeran yang benar-benar sempurna.

Warna-warni demikian membuat hidup ini begitu indah, jika diresapi segenap rasa. Meski ndak terelakkan insiden, konflik, hingga tragedi masih turut menyelingi. Bercampur guratan luka, baluran nestapa dan linangan airmata. Karena itu, seharusnya kita senantiasa terketuk untuk ikut ambil bagian menjaga keindahannya, dari noktah-noktah yang bisa mengelamkannya kapan pun.

Tentu sehebat apapun kita ndak selalu bisa sepenuhnya melakoni, tanpa bergandengan dengan sesama. Jangankan memerankan laku amanah macam itu, menggaruk tubuh belakang yang sedang gatal saja, ndak jarang kita perlu bantuan orang lain. Andaikan merasa kuasa melakukannya sendiri sekalipun, jelas akan terasa kurang seru nanti.

Lagi pula penghuni mayapada, atau lingkup terbatas negeri Indonesia, atau lebih mini lagi habitat masyarakat setempat, bukan diri kita saja tho? Fitrah kita adalah bersama. Sedangkan hasrat menyendiri sekadar jedah sejenak, guna mencerap lebih mendalam bahwa, kebersamaan bukan sebatas keinginan melainkan kebutuhan. Takdir sebatang kara pun hanya lantaran waktu kebetulan sedang ndak berpihak.

Nah, lakon kita memoles warna, bolehlah dunia personal, di tengah stage komunal. Berbekal potensi anugerah Gusti Tuhan yang kita miliki, diselaraskan kreasi orang lain walau sebutir zarrah, sehingga membias spektrum yang semakin elok. Siapa yang lebih bahkan paling dominan, bukan lagi menjadi perkara yang penting. Toh ketika impian tergapai nyata, merayakannya bersama-sama akan jauh lebih nikmat.

Yang seringkali terjadi, kita gampang terlena hanya demi mewujudkan pelangi impian pribadi, untuk kemudian memandang sesama bagaikan pensil warna. Saat kita rumangsa memegang kendali berbagai urusan, tanpa disadari kita acap menghendaki para sedulur menorehkan setiap kelir yang kita inginkan, bahkan ndak jarang dengan bujuk rayu, tekanan, maupun paksaan.

Kita mempraktikkannya entah di lingkungan keluarga, pergaulan sekitar, komunitas, tempat kerja, atau level pemerintahan. Tengok saja misalnya, ndak sedikit orangtua yang masih tampak mengondisikan anak-anaknya, bisa memberi warna masa depan kehidupannya. Dari sini, kesan yang sering muncul dengan pertanyaan, sebenarnya ikhtiar orangtua itu, untuk pencerahan hidup anak-anaknya atau kehendaknya sendiri?

Bukan hanya itu, di antara kita juga masih keblinger mendesakkan keyakinan dan pemahaman sewarna dalam agama pada sesama. Kita pun cenderung selalu terjebak dalam perdebatan, klaim subjektifitas kebenaran, pertentangan dan sebagainya yang ndak berkesudahan. Sementara, upaya memajukan taraf sosial, budaya dan peradaban secara kolektif yang sejatinya lebih esensial menjadi acap terlewatkan.

Padahal, jika menelisik kembali pembelajaran Gusti Tuhan, kita termasuk siapapun orangnya, bukanlah pensil warna. Kita tercipta beridentitas subjek dengan potensi inderawi, pikiran serta hati nurani untuk mewarnai. Potlotnya bisa apa saja yang telah disediakan oleh-Nya di pangkuan semesta, guna dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama. Sekurangnya justru agar kita ndak mewariskan kegelapan bagi generasi mendatang.

Selebihnya, kesendirian bukan hanya saat kita ndak berada di tengah keramaian atau kebersamaan. Tapi, kesendirian menyeruak ketika diri meninggalkan teman-teman, para sahabat dan orang-orang tercinta; hanya demi mengindahkan kepentingan pribadi maupun kelompok. Hangat dan tulusnya kebersamaan dengan ndak menjadikan siapapun layaknya pensil warna pun, bukan hanya kian menguas kirana, tapi sekaligus membuat hidup lebih hidup. Selamat Tahun Baru 2016!

Ilustrasi: www.digaleri.com
Lanjutkan baca...

Jika tentang Kita, Mau Terbuka atau Tertutup?


RIUH sidang kasus ”Papa Minta Saham” di MKD sudah berlalu. Sebulan lamanya tergelar dengan serba-serbi dramanya, segenap pihak menyebutnya dagelan, lalu berujung surat pengunduran diri pihak terlapor dari jabatannya. Walau lima belas dari tujuh belas anggota sudah menyatakan pendapat, bahwa teradu bersalah dengan sanksi yang berbeda, tapi MKD ndilalah dinilai urung menetapkan putusan yang benar-benar final.

Di antara sembilan anggota terdiri dua orang asal Partai Demokrat, satu dari PKB, dua asal PDIP, satu dari Hanura, dua asal PAN dan satu dari Nasdem memberikan sanksi sedang. Lalu, enam anggota meliputi dua asal Gerindra, satu dari PDIP (Muhammad Prakosa), dua asal Golkar dan satu orang dari PPP (Dimyati Natakusumah) menjatuhkan sanksi berat. Sedangkan dua orang pimpinan yang ndak menyampaikan pendiriannya, masing-masing Kahar Muzakir (Golkar) dan Surahman Hidayat (PKS).

Lepas dari kegaduhan berikut ending persidangan etik yang telanjur gamang itu, saat kilas balik sejenak teringat bagian yang kerap menjadi perdebatan cukup alot sejak awal-awal prosesnya, sekaligus mengambarkan sisi kehidupan sehari-hari. Yaitu, soal terbuka dan tertutup. Jika dari ruang MKD kita mengenal persidangan terbuka dan tertutup, dalam keseharian tentu dijumpai gambaran serupa.

Ada model busana terbuka, ada jenis pakaian tertutup. Kita juga pernah menemukan, bahkan mendiami ruang terbuka atau tertutup. Lalu, pengendara motor yang memakai helm, dengan pelindung depan terbuka atau tertutup. Kita pun sempat mengikuti forum-forum terbuka, ada kalanya sejumlah pertemuan tertutup. Dan seterusnya.

Orang-orang biasanya menyukai banyak hal yang terbuka. Begitu pula dengan padanannya; transparan. Ditambah sekarang adalah zaman keterbukaan. Era transparansi yang kerap bersambut euforia khalayak. Sebagian lainnya bisa jadi menggemari tertutup. Kembali pada subjektifitas pilihan sesama yang berlainan.

Contoh, mengenai sidang MKD beberapa waktu kemarin, suara publik santer menghendaki berlangsung terbuka dan kenyataannya persidangan teradu digelar tertutup. Kita juga akan merasa nyaman, memiliki para sahabat lebih-lebih someone tercinta yang senantiasa bersikap terbuka. Apalagi, kinerja penentu kebijakan yang transparan, pasti bakal disukai sekalian lapisan masyarakat. Serta beragam ihwal transparan lainnya.

Sesuatu yang terbuka disukai karena berbagai alasan. Mungkin lantaran sensasi umpan baliknya dirasakan berbeda. Dengan terbuka akan menyingkap sisi-sisi yang ingin diketahui. Semua bakal tampak jelas, alias terang benderang. Termasuk objek yang membikin penasaran setengah mati sekian lama. Suka ihwal tertutup pun macam-macam dalihnya, semisal karena bisa masuk angin nanti dan sebagainya.

Hanya saja, bila dirunut lagi sebenarnya terbuka ndak selamanya memuaskan keinginan. Tertutup juga sesungguhnya ndak sertamerta memenuhi gelegak rasa keingintahuan. Walau keduanya berlaku pada tempat dan waktu, maupun situasi dan kondisi yang sama. Taruhlah persidangan terbuka hingga tertutup di MKD lalu, tetap saja belum sepenuhnya menjawab harapan masyarakat.

Yang sering terjadi dan serasa janggal, kecenderungan para sedulur menginginkan berbagai hal terbuka dari orang lain. Mulai dari penampilan, cara pandang, sikap, hingga aspek privasinya. Bahkan, segala upaya bakal ditempuh untuk membuat apapun yang melingkupi diri sesama terbuka. Kiranya demikian pula soal tertutup.

Pertanyaannya, bagaimana jika menyangkut kita? Apakah saat kita sedemikian mendambakan orang lain terbuka ataupun tertutup, kita juga bakal melakukan aksi yang sama terhadap diri sendiri yo? Dari situ kita akan belajar lebih banyak tentang kehidupan, utamanya di tengah kancah pergaulan sosial. Pada gilirannya, kita pun tersadar bahwa hidup bukan sekadar mengenai terbuka dan tertutup.

Referensi bacaan: Tempo dan sumber lainnya
Ilustrasi: Flickr
Lanjutkan baca...

Kisah Rekaman ”Free-repot” di Pentas Mahkamah Kerepotan Dewe


LEBIH kurang sebulan lamanya kita mengikuti kisah ”Papa Minta Saham” lewat pemberitaan media dan siaran televisi. Dengan prolog beredarnya transkrip mengenai pencatutan nama Presiden dan Wapres, dalam pembicaraan tiga aktor yang sudah ndak asing bagi publik. Berlanjut laporan elit kementerian ESDM berikut penyerahan rekaman dan lembarannya pada MKD kemudian.

Drama persidangan jajaran ”yang mulia” lantas tergelar di ruang MKD, guna mengusut dugaan pelanggaran etik oleh ketua dewan. Banyak kalangan memandangnya hanya dagelan yang menampilkan adegan-adegan ndak jarang membikin dahi berkerut. Mulai dari pemanggilan terhadap dua tokoh pertama secara terbuka dan permintaan keterangan terlapor secara tertutup. Serta giliran salah seorang petinggi yang dicatut namanya dalam rekaman, ikut diundang untuk memberi penjelasan belum lama ini (14/12), yang dinilai ndak memiliki signifikansi dengan pokok masalah.

Realisasinya pun diwarnai silat lidah antarpenyidang yang melulu berkutat seputar legal standing pelapor, ”keabsahan” rekaman dan akrobat pergantian dadakan pimpinan sidang yang menggelikan untuk sekelas bagian institusi formal selevel DPR yang terhormat. Padahal, saat rekaman telanjur diperdengarkan, sebagaimana hemat saya dalam catatan Analisis Wacana: Wuaduh MKD Sudah Masuk Jebakan Batman Pula?, segmen itu boleh dibilang sudah klir.

Justru dengan terus berulang mempersoalkannya, kian menambah jelas bahwa MKD terperangkap jebakan batman yang seharusnya disadari jauh-jauh hari. Lagi pula bukankah perkaranya tentang etik? Ditambah kala giliran persidangan ketiga secara tertutup, lagi-lagi para ”yang mulia” terkecoh liuk-liuk aksi sesama anggota dewan yang bersangkutan sendiri. Pasalnya, ndak terlontar rahasia negara apapun seperti yang dikatakan terlapor.

Maka, performa MKD ndak ubahnya Mahkamah Kerepotan Dewe akhirnya. Saking repotnya para ”yang mulia” kemudian bersepakat menagih ”rekaman asli” yang diserahkan ke lembaga Adhyaksa, hanya lantaran seolah menyeriusi sesuatu yang sejatinya ndak perlu dipusingkan. Alurnya lantas terkesan hendak atret, kalah elok dengan akting ”maju-mundur cantik” artis beken negeri ini.

Terbetik pertanyaan dalam benak saat menyimaknya, apakah ndak cukup semisal meminta keterangan dari institusi Adhyaksa, dengan bantuan dari bagian Digital Forensik kepolisian, bahwa (duplikat) rekaman yang dimiliki, ndak berbeda keseluruhan rangkaian isinya dengan rekaman yang dianggap ”lebih asli”, tanpa harus meminta barangnya? Layakkah pula bila hanya karena gagal mendapatkannya, lalu dijadikan alasan menganulir pertimbangan kolektif, saat diyakini memang terjadi pelanggaran etik sehingga kasusnya segera beres nanti?

Sementara, babak yang semula lantang disiarkan serta kudu digeber, ndilalah kesannya selalu ditunda-tunda. Contoh, upaya menghadirkan aktor ketiga dalam rekaman pembicaraan, belum kunjung mencungul walau disebutkan sudah dilakukan pemanggilan dua kali, dan konon bisa dipanggil paksa dengan bantuan aparat berwenang. Tentu keseruan dagelan ini menjadi terasa hambar.

Kerepotan serupa untuk ndak disebut kebingungan, tersirat ketika tiga ”yang mulia” dari fraksi Beringin, ikut mendatangi woro-woro pers tokoh yang hendak mengklarifikasi tentang pencatutan namanya dalam rekaman. Akibatnya, langkah demikian bukan hanya membuat publik bertanya-tanya, namun sesama anggota Mahkamah Kerepotan Dewe juga menyesalkannya. Tindakan ketiganya yang sewajibnya menjaga netralitas itu pun dinilai kurang etis.

Yang membikin geli lagi, dalam sidang mendengar keterangan pejabat terakhir itu, di antara ”yang mulia” njekethek meminta bantuannya untuk menghadirkan aktor pengusaha dan lagi-lagi mengingat kegagalan memperoleh ”rekaman asli” sebagai beban yang belum terpenuhi. Adegannya membiaskan rasa putus asa yang ndak terbendung lagi, karena telanjur keukeuh soal ”rekaman asli” dan ”rekaman palsu” untuk dijadikan bukti, hanya dalam persidangan etik.

Inilah bagian kisah ”Papa Minta Saham” berikut dugaan pencatutan nama Presiden dan Wapres dengan plot estimasi perpanjangan kontrak Freeport, dengan ending yang bukan mustahil ndak seru. Cerita yang menggambarkan hanya gara-gara ulah perkoncoan oknum wakil rakyat dengan pengusaha yang ingin selalu ”free-repot” alias ndak mau repot, justru merepotkan banyak pihak. MKD sebagai penjaga kehormatan parlemen, layaknya Mahkamah Kerepotan Dewe belaka. Lalu, betapa anggota DPR masih saja menjadi Dewan Pembikin Repot selama ini. Sedangkan umumnya rakyat termasuk para sedulur sekitar tambang Freeport yang menjalani repotnya keseharian selalu tegar dengan seloroh, ”Gitu aja kok repot!”

Sumber gambar: JPNN
Lanjutkan baca...