Kisah Rekaman ”Free-repot” di Pentas Mahkamah Kerepotan Dewe


LEBIH kurang sebulan lamanya kita mengikuti kisah ”Papa Minta Saham” lewat pemberitaan media dan siaran televisi. Dengan prolog beredarnya transkrip mengenai pencatutan nama Presiden dan Wapres, dalam pembicaraan tiga aktor yang sudah ndak asing bagi publik. Berlanjut laporan elit kementerian ESDM berikut penyerahan rekaman dan lembarannya pada MKD kemudian.

Drama persidangan jajaran ”yang mulia” lantas tergelar di ruang MKD, guna mengusut dugaan pelanggaran etik oleh ketua dewan. Banyak kalangan memandangnya hanya dagelan yang menampilkan adegan-adegan ndak jarang membikin dahi berkerut. Mulai dari pemanggilan terhadap dua tokoh pertama secara terbuka dan permintaan keterangan terlapor secara tertutup. Serta giliran salah seorang petinggi yang dicatut namanya dalam rekaman, ikut diundang untuk memberi penjelasan belum lama ini (14/12), yang dinilai ndak memiliki signifikansi dengan pokok masalah.

Realisasinya pun diwarnai silat lidah antarpenyidang yang melulu berkutat seputar legal standing pelapor, ”keabsahan” rekaman dan akrobat pergantian dadakan pimpinan sidang yang menggelikan untuk sekelas bagian institusi formal selevel DPR yang terhormat. Padahal, saat rekaman telanjur diperdengarkan, sebagaimana hemat saya dalam catatan Analisis Wacana: Wuaduh MKD Sudah Masuk Jebakan Batman Pula?, segmen itu boleh dibilang sudah klir.

Justru dengan terus berulang mempersoalkannya, kian menambah jelas bahwa MKD terperangkap jebakan batman yang seharusnya disadari jauh-jauh hari. Lagi pula bukankah perkaranya tentang etik? Ditambah kala giliran persidangan ketiga secara tertutup, lagi-lagi para ”yang mulia” terkecoh liuk-liuk aksi sesama anggota dewan yang bersangkutan sendiri. Pasalnya, ndak terlontar rahasia negara apapun seperti yang dikatakan terlapor.

Maka, performa MKD ndak ubahnya Mahkamah Kerepotan Dewe akhirnya. Saking repotnya para ”yang mulia” kemudian bersepakat menagih ”rekaman asli” yang diserahkan ke lembaga Adhyaksa, hanya lantaran seolah menyeriusi sesuatu yang sejatinya ndak perlu dipusingkan. Alurnya lantas terkesan hendak atret, kalah elok dengan akting ”maju-mundur cantik” artis beken negeri ini.

Terbetik pertanyaan dalam benak saat menyimaknya, apakah ndak cukup semisal meminta keterangan dari institusi Adhyaksa, dengan bantuan dari bagian Digital Forensik kepolisian, bahwa (duplikat) rekaman yang dimiliki, ndak berbeda keseluruhan rangkaian isinya dengan rekaman yang dianggap ”lebih asli”, tanpa harus meminta barangnya? Layakkah pula bila hanya karena gagal mendapatkannya, lalu dijadikan alasan menganulir pertimbangan kolektif, saat diyakini memang terjadi pelanggaran etik sehingga kasusnya segera beres nanti?

Sementara, babak yang semula lantang disiarkan serta kudu digeber, ndilalah kesannya selalu ditunda-tunda. Contoh, upaya menghadirkan aktor ketiga dalam rekaman pembicaraan, belum kunjung mencungul walau disebutkan sudah dilakukan pemanggilan dua kali, dan konon bisa dipanggil paksa dengan bantuan aparat berwenang. Tentu keseruan dagelan ini menjadi terasa hambar.

Kerepotan serupa untuk ndak disebut kebingungan, tersirat ketika tiga ”yang mulia” dari fraksi Beringin, ikut mendatangi woro-woro pers tokoh yang hendak mengklarifikasi tentang pencatutan namanya dalam rekaman. Akibatnya, langkah demikian bukan hanya membuat publik bertanya-tanya, namun sesama anggota Mahkamah Kerepotan Dewe juga menyesalkannya. Tindakan ketiganya yang sewajibnya menjaga netralitas itu pun dinilai kurang etis.

Yang membikin geli lagi, dalam sidang mendengar keterangan pejabat terakhir itu, di antara ”yang mulia” njekethek meminta bantuannya untuk menghadirkan aktor pengusaha dan lagi-lagi mengingat kegagalan memperoleh ”rekaman asli” sebagai beban yang belum terpenuhi. Adegannya membiaskan rasa putus asa yang ndak terbendung lagi, karena telanjur keukeuh soal ”rekaman asli” dan ”rekaman palsu” untuk dijadikan bukti, hanya dalam persidangan etik.

Inilah bagian kisah ”Papa Minta Saham” berikut dugaan pencatutan nama Presiden dan Wapres dengan plot estimasi perpanjangan kontrak Freeport, dengan ending yang bukan mustahil ndak seru. Cerita yang menggambarkan hanya gara-gara ulah perkoncoan oknum wakil rakyat dengan pengusaha yang ingin selalu ”free-repot” alias ndak mau repot, justru merepotkan banyak pihak. MKD sebagai penjaga kehormatan parlemen, layaknya Mahkamah Kerepotan Dewe belaka. Lalu, betapa anggota DPR masih saja menjadi Dewan Pembikin Repot selama ini. Sedangkan umumnya rakyat termasuk para sedulur sekitar tambang Freeport yang menjalani repotnya keseharian selalu tegar dengan seloroh, ”Gitu aja kok repot!”

Sumber gambar: JPNN
Tambahkan Komentar

0 comments