RIUH sidang kasus ”Papa Minta Saham” di MKD sudah berlalu.
Sebulan lamanya tergelar dengan serba-serbi dramanya, segenap pihak menyebutnya
dagelan, lalu berujung surat pengunduran diri pihak terlapor dari jabatannya.
Walau lima belas dari tujuh belas anggota sudah menyatakan pendapat, bahwa
teradu bersalah dengan sanksi yang berbeda, tapi MKD ndilalah dinilai
urung menetapkan putusan yang benar-benar final.
Di antara sembilan anggota terdiri dua
orang asal Partai Demokrat, satu dari PKB, dua asal PDIP, satu dari Hanura, dua
asal PAN dan satu dari Nasdem memberikan sanksi sedang. Lalu, enam anggota
meliputi dua asal Gerindra, satu dari PDIP (Muhammad Prakosa), dua asal Golkar
dan satu orang dari PPP (Dimyati Natakusumah) menjatuhkan sanksi berat.
Sedangkan dua orang pimpinan yang ndak menyampaikan pendiriannya,
masing-masing Kahar Muzakir (Golkar) dan Surahman Hidayat (PKS).
Lepas dari kegaduhan berikut ending
persidangan etik yang telanjur gamang itu, saat kilas balik sejenak teringat
bagian yang kerap menjadi perdebatan cukup alot sejak awal-awal prosesnya,
sekaligus mengambarkan sisi kehidupan sehari-hari. Yaitu, soal terbuka dan
tertutup. Jika dari ruang MKD kita mengenal persidangan terbuka dan tertutup,
dalam keseharian tentu dijumpai gambaran serupa.
Ada model busana terbuka, ada jenis
pakaian tertutup. Kita juga pernah menemukan, bahkan mendiami ruang terbuka
atau tertutup. Lalu, pengendara motor yang memakai helm, dengan pelindung depan
terbuka atau tertutup. Kita pun sempat mengikuti forum-forum terbuka, ada
kalanya sejumlah pertemuan tertutup. Dan seterusnya.
Orang-orang biasanya menyukai banyak
hal yang terbuka. Begitu pula dengan padanannya; transparan. Ditambah sekarang adalah zaman keterbukaan. Era transparansi yang kerap bersambut euforia
khalayak. Sebagian lainnya bisa jadi menggemari tertutup. Kembali pada
subjektifitas pilihan sesama yang berlainan.
Contoh, mengenai sidang MKD beberapa
waktu kemarin, suara publik santer menghendaki berlangsung terbuka dan
kenyataannya persidangan teradu digelar tertutup. Kita juga akan merasa nyaman,
memiliki para sahabat lebih-lebih someone tercinta yang senantiasa
bersikap terbuka. Apalagi, kinerja penentu kebijakan yang transparan, pasti bakal
disukai sekalian lapisan masyarakat. Serta beragam ihwal transparan lainnya.
Sesuatu yang terbuka disukai karena
berbagai alasan. Mungkin lantaran sensasi umpan baliknya dirasakan berbeda.
Dengan terbuka akan menyingkap sisi-sisi yang ingin diketahui. Semua bakal
tampak jelas, alias terang benderang. Termasuk objek yang membikin penasaran
setengah mati sekian lama. Suka ihwal tertutup pun macam-macam dalihnya,
semisal karena bisa masuk angin nanti dan sebagainya.
Hanya saja, bila dirunut lagi
sebenarnya terbuka ndak selamanya memuaskan keinginan. Tertutup juga
sesungguhnya ndak sertamerta memenuhi gelegak rasa keingintahuan. Walau
keduanya berlaku pada tempat dan waktu, maupun situasi dan kondisi yang sama.
Taruhlah persidangan terbuka hingga tertutup di MKD lalu, tetap saja belum
sepenuhnya menjawab harapan masyarakat.
Yang sering terjadi dan serasa
janggal, kecenderungan para sedulur menginginkan berbagai hal terbuka
dari orang lain. Mulai dari penampilan, cara pandang, sikap, hingga aspek
privasinya. Bahkan, segala upaya bakal ditempuh untuk membuat apapun yang
melingkupi diri sesama terbuka. Kiranya demikian pula soal tertutup.
Pertanyaannya, bagaimana jika
menyangkut kita? Apakah saat kita sedemikian mendambakan orang lain terbuka ataupun tertutup, kita juga bakal melakukan aksi yang sama terhadap diri sendiri yo? Dari situ kita akan belajar lebih banyak tentang kehidupan, utamanya di tengah
kancah pergaulan sosial. Pada gilirannya, kita pun tersadar bahwa hidup bukan
sekadar mengenai terbuka dan tertutup.
Referensi bacaan: Tempo
dan sumber lainnya
Ilustrasi: Flickr