Narasi Plesiran #chapter: Secuil Rahasia Kecil Rencana Tuhan

Rencana Tuhan

Juni, 8.2012
Sekitar pukul 20.00 tiba-tiba aku ingin banget ngopi di tempat biasanya. Padahal, malam itu udara lumayan menggigit kulit. Mulanya aku masih berpikir, ngopi apa ndak yo? Tapi kemudian aku sudah keluar rumah, menembus hawa dingin di lingkungan perumahan yang juga mulai lengang sambil sesekali menggigil memegang stang motor.

Dalam beberapa menit, aku sudah tiba di warung, tepatnya rombong kaki lima berukuran 0,5x1,5 meter, tempat biasa aku ngopi. Letaknya kira-kira 100 meter dari gerbang depan luar perumahan, 500 meter dari rumah. Rombong itu berdiri di atas papan kayu penutup selokan tak terpakai, bersandar pada dinding pagar area tanah kosong yang bersebelahan dengan beberapa toko.

Usai men-jagang motor di tepi jalan depan rombong kaki lima itu, aku celingukan sambil bersedekap kedinginan mencari si empu rombong. “Kopi, bu...” panggilku. Sejenak kemudian terlihat seorang lelaki berusia 60 tahunan yang masih tampak segar melongokkan kepala dari dalam rombong sempit tersebut. 

“Mau beli apa dik?” tanya laki-laki itu.
“Oh, bapak tho. Saya kira ibu. Pesan kopi, pak!” balasku.
“Kopi apa, dik?” bapak itu menanyaiku lagi.
“Kopi luwak yang item saja, pak!” jawabku lalu mengambil duduk di bangku sandaran yang terbuat dari bambu. Kursi panjang bambu ini favoritku.
“Kopi luwaknya diseduh di sini atau dibungkus, dik?"
“Minum di sini saja, Pak.”
Lalu bapak itu pun sibuk menyeduh wedang kopi pesananku.
 

“Ibu ke mana, kok ndak kelihatan, pak?”
“Oh, ibu masih di rumah, ntar menggantikan saya agak malam-an. Adik dari mana?”
“Saya tinggal di komplek dekat sini itu kok, pak. Saya biasa ngopi di sini. Bapak sendiri lagi libur nyopir ya?”
“Iya dik, habis ngirim kayu ke Jakarta, baru pulang tadi subuh. Badan gak kuat, dik, besok mungkin akan kirim batu bara ke Palembang.”
“Sekali-kali minum jamu, pak. Bapak kan sudah sepuh. Tapi bapak masih terlihat segar, lho.” bapak itu cuma tersenyum simpul.

Bapak itu memang bekerja sebagai sopir truk gede untuk mengirim kayu, batu bara, dan lain-lain hingga jauh ke luar kota maupun ke luar pulau seperti ke daerah pulau Jawa. Bahkan, bapak itu baru-baru ini juga pernah mengirim kayu ke Menganti, Gresik-Jawa Timur. Tak lama kemudian, bapak itu selesai menyeduh wedang kopi pesananku lalu menyodorkannya kepadaku. Aromanya begitu harum hmmm...

Sambil mulai nyeruput wedang kopi dan menikmati sebatang rokok “Selera Pemberani” favoritku, aku terlibat perbincangan dengan bapak itu. Ya, hanya obrolan ringan seputar keseharian. Tapi  entah bagaimana awalnya, pembicaraan kami selanjutnya terasa rada serius. Bapak itu menceritakan beban masalah pelik yang tengah dialaminya beserta keluarganya. Aku sendiri sampai ndak bisa berkata apa-apa.

“Coba, dik, bayangkan. Apa yang bisa dilakukan ketika pulsa listrik warung ini hanya akan bertahan paling lama sampai ntar jam 03.00-an. Barang-barang jualan sudah pada habis. Kontrakan juga telah nyampe jatuh tempo terakhir setelah tiga kali saya berjanji akan melunasinya agar tidak sampai diusir. Dan...” bapak itu menghentikan pembicaraannya sejenak, ia menghela nafas dalam-dalam yang tampak begitu berat. Aku jadi ikut tercekat menyimaknya. 

“Besok, motor yang sedang di tangan orang sejak enam bulan lalu, harus saya tebus. Kalau tidak, orangnya akan menyerahkan saya kepada polisi. Saya cuma harus mengusahakan duit Rp 500 ribu malam ini untuk diserahkan kepada orangnya besok. Jika saya bisa memenuhinya, maka motor itu bisa jadi milik saya. Sebenarnya orang yang punya motor sudah cukup memberikan kebijaksanaan." 

"Tapi karena duit belum juga cukup saya pegang, mau gimana lagi. Coba dik, siapa yang akan meminjamkan duit sebesar itu, hanya Rp 500 ribu, secara cuma-cuma? Soalnya, saya sudah meminjam duit yang pengembaliannya berkelipatan nanti dan saya tidak sanggup untuk menambah pinjaman lagi karena nanti akan semakin memberatkan saya saja,” tutur bapak itu di akhir perkataannya.

Lagi-lagi pertanyaan yang selalu menggedor batinku semacam itu, untuk ke sekian kalinya menghentak seisi pikiran dan hati. Pertanyaan tentang kepelikan hidup teramat sangat yang berulangkali aku dengar langsung dari orang-orang kecil dan benar-benar ndak berdaya seperti bapak itu. Aku hanya bisa tercengang diam menahan perih, hati serasa diremas-remas mendengarnya. Lalu tubuhku lemas tersandar di kursi bambu yang terasa ikut melunglai.

“Maaf, pak. Kok bisa sampai berhubungan dengan polisi segala, gimana ceritanya, pak?” akhirnya hanya kalimat itu yang meluncur dari mulutku. Itu pun berat banget terucapkan. Si bapak lantas menceritakan permasalahannya. Ternyata, motor itu adalah motor kredit yang belum lunas dan si bapak telah menunggak enam bulan-an pembayaran kreditnya. Karena membutuhkan duit untuk kebutuhan yang amat mendesak waktu itu, terpaksa motor tersebut digadaikan di bawah tangan kepada pihak ketiga. Sementara, dari pihak dealer hanya mewajibkan si bapak menyerahkan duit sebesar Rp 3 juta, lalu kreditnya lunas dan motor itu menjadi milik si bapak. Sementara, bapak itu baru sudah mengusahakan duit Rp 2,5 juta.

Namun, jika si bapak ndak bisa menyanggupinya paling akhir besok (setelah beberapa kali hanya berjanji menyanggupinya), maka dengan terpaksa pula motor tersebut akan ditarik oleh pihak dealer. Masalahnya, karena si bapak telah menggadaikannya ke pihak ketiga, jika ia ndak bisa mengusahakan duit yang diwajibkan dan motornya ndak di tangan si bapak hingga besok, maka urusan itu akan melibatkan polisi. 

“Maaf lho, dik. Saya tidak bermaksud hendak meminjam duit kepada adik atas masalah ini, bukan pula minta dikasihani lho. Cuma bingung amat saja saya memikirkannya. Sebenarnya, saya juga gak enak sudah keceplosan menceritakannya kepada adik, seharusnya saya gak perlu menceritakannya.”
“Ndak apa-apa kok, pak! Saya bisa mengerti dan sama sekali saya tidak berpikir seperti yang bapak khawatirkan itu kok, pak!” sahutku lalu coba menetralkan suasana hati dengan nyeruput wedang kopi yang ikut cepat menjadi dingin. Tak ketinggalan aku menyulut sebatang rokok lagi. Dan bapak itu pun ikut menyalakan rokoknya hehehe...

“Menurut adik bagaimana, ini cuma obrolan kosong saja lho, dik? Siapa tahu dari obrolan kosong ini, saya bisa terpikirkan jalan keluar terbaik dari permasalahan ini,” si bapak menyodorkan pertanyaan yang membuatku ndak tahu harus menjawab apa. Aku masih terdiam.

“Paling tidak, mungkin adik pernah mengalami hal yang sama atau pernah mendengar seseorang pernah mengalami masalah seperti yang saya alami sekarang ini gitu aja kok, dik” si bapak terus menggedor-gedor batinku. Aku menjadi tergelitik untuk menceritakan sesuatu yang kupendam sekian lamanya. Tapi sementara, aku masih ingin memendamnya karena aku sendiri ndak tahu apa akan ada manfaatnya untuk si bapak seandainya kuceritakan. Sedangkan untuk meminjaminya duit pun aku ndak kuasa walau sebenarnya duit yang dibutuhkan itu ndak terlalu gede juga sih.
“Ah, bapak ini bisa saja. Saya mah malah ndak bisa ngomong apa-apa untuk masalah berat begini, pak!” jawabku sekenanya sambil tersenyum apa adanya.

“Coba dik, bagaimana enaknya. Saya bisa merasakan kayaknya adik bisa diajak berbagi obrolan kosong begini, makanya tadi saya bilang gak enak sudah keceplosan menceritakannya kepada adik.”
“Maksud bapak?”
“Ayolah dik, bapak lagi bingung neh.”
“Saya cuma jadi ikut bingung neh, pak! hehehe...” 

“Begini saja deh, pak. Yang jelas, MAAF, saya benar-benar lagi ndak bisa membantu bapak, saya lagi ndak ada duit yang bapak butuhkan, walau sebenarnya mungkin ndak terlalu gede juga sih. Saya pikir, bapak mengetahui hal itu dan saya bisa memaklumi pula bapak ndak bermaksud meminjamnya kepada saya. Begini saja deh, pak. Sebagai orang muda, bahkan mungkin saya lebih pantas sebagai anak baru kemarin sore, saya ndak pantas mendahului bapak dan saya bisa mafhum sebenarnya bapak sudah memahami apa jawaban keruwetan ini. Nah, bapak ceritain deh biar saya bisa belajar kepada bapak, hayo dong pak, semangat!” sergahku dengan menyemangatinya. Kulihat beban itu masih bergelayut di mata renta yang sayu dan sedang berkaca-kaca itu. 

“Ah, saya juga yang kalah akhirnya. Baru kali ini saya ngadepin anak baru kemarin sore yang amat menggelikan seperti adik. Tadi adik sendiri yang ngomong sendiri gitu lho ya. Dan saya hampir terlonjak mendengar omongan adik tadi. Rupanya adik ini dikit nakal juga ya, saya jadi teringat masa-masa muda ketika saya masih seusia adik dulu. Emangnya adik umur berapa sekarang?” ujar si bapak sambil melepas kacamatanya sebentar dan menyeka kedua mripat-nya dengan selembar sapu tangan lusuh yang dikeluarkannya dari balik saku celana bututnya.

“Emang benar, saya anak baru kemarin sore, pak. Kalau usia sih saya baru 27-28an, pak. Tepatnya, saya ndak ingat jelas tanggal kelahiran saya dan sudah umur berapa saya ini sekarang. Yang jelas saya selalu merasa muda bahkan mungkin kanak-kanak, pak kikikikikikkk...,” gurauku dengan nada terus menyemangatinya.
“Masa sih, adik sudah berumur 27 tahun. Saya pikir adik usianya baru 24-an tahun, lho,” selidik lelaki itu sambil menatapku lekat.

“Wuaduh, bapak pasti ngeledek saya, geh? Karena wajah saya keliatan tua gitu?” candaku.
“Bener geh, bukan ngeledek. Bapak kira begitu pas ngerasain semangat adik!”
“Halah halah bapak ini bisa saja. Ntar orang yang denger pasti pada uwek-uwek tuh, pak! kikikikikikkk...”
Hahahahaha....,” balas si bapak.
“Udah deh, jadi apa jawabannya, pak?” tanyaku setelah si bapak berhenti tertawa lepas.
“Ternyata adik ini masih ingat juga, kirain sudah lupa,” celetuk si bapak yang kubalas dengan nyengir hehehe...

“Okey...okey...! Gini, dik. Saya sih, percaya saja!” aku masih kurang ngeh dengan jawabannya.
“Maksudnya, pak?”
“Ya, percaya ma Tuhan dan saya yakin pasti ada jalannya! Cuma saya belum tau apa jalannya, gimana caranya?”
"Cuma gitu aja, pak? Wah, saya udah kadung serius neh, geh!"
Lho, saya malah duarius neh, geh! Dasar anak baru kemarin sore!” balas si bapak membuatku ndak kuasa menahan geli.

Ya gitu jawaban awalnya. Selain itu, saya yang sudah tua neh termasuk adik bakal tua juga lho ya (si bapak ndak mau kalah hihihi...), cuma kudu banyak-banyak istighfar. Karena, seringkali kita lupa bahwa gak semua ujian Tuhan tuh benar-benar emang ujian, tapi kadang juga karena kekhilafan kita, dik. Celakanya, seringkali kita gak sadar bahwa ujian Tuhan tuh bisa jadi cuma karena kita sering bertingkah teledor ma orang lain!”
“Maksudnya, pak? Saya masih bingung neh!”

Ya, contohnya keruwetan yang saya hadapin sekarang neh. Coba saya gak terlalu panik menggadaikan motor saya itu. Tuh kan belum jadi hak saya sepenuhnya, kok seenaknya saya gadai-in? Berarti saya juga udah gak nyadar udah teledor ma orang lain. Ya, saya udah teledor ma si tukang tagih dari dealer itu”
“Tapi kan bapak juga lagi butuh duit banget untuk kebutuhan mendesak waktu itu, tho?”
“Itu juga masalahnya, dik. Itu satu-satunya dalih yang telanjur biasa kita ungkapin ketika kalut!” 

“Bukan cuma itu, pada saat seperti itu, biasanya kita juga kemudian sering mengingat-ingat kebaikan di masa lalu. Kita selalu gampang protes, ke mana orang-orang yang pernah saya tolong dulu, orang-orang yang pernah kita pinjamin duit saat mereka kesulitan begini, ketika saya sedang terjepit seperti sekarang ini? Ke mana mereka? Bapak sendiri tadi masih saja sempat bertanya-tanya begitu sambil geram juga, lho
Hmmm...,” aku cuma bergumam tetap masih belum sepenuhnya mudeng. 

“Padahal, gak semua orang yang telah pernah kita tolong dulu, mereka semua pada gak tau berterima kasih ma kita. Sebab, kita  juga sering gak nyadar bahwa di antara mereka diam-diam telah menolong balik kita dan bahkan lebih, tanpa mereka merasa melakukannya sebagai balasan atas pertolongan kita sebelumnya. Itulah kekurangan kita sebagai manusia, hanya gampang mengingat-ingat kebaikan sendiri, tapi susah banget sekadar menghargai kebaikan orang lain, entah sebagai balasan atas kebaikan kita sebelumnya atau lebih dari itu, atau memang karena kebaikan mereka sendiri."

"Jadinya, akhirnya diam-diam kita sendiri sebenarnya yang kurang berterima kasih, tepatnya gak pandai bersyukur kepada Tuhan! Satu lagi, dik! Kalau kita ntar memang memendam niat akan menghitung kebaikan kita sekarang, maka lakuin kebaikan itu dalam bentuk duit entah pemberian atau ngutangin, walau pun sebenarnya nilainya gak terlalu gede. Sebab, sebesar dan semanfaat apapun kebaikan kita yang gak berwujud duit, jangan harap akan diingat ma mereka. Gak akan! Itu kalau kita memang melakukan kebaikan dengan mengharap balasan lho, ya"

“Nah, karena itu saya cuma bisa tetap yakin sambil banyak-banyak istighfar siapa tahu semua ini justru karena keteledoran saya. Pasti ada jalan keluarnya nanti! Dari pada saya marah-marah apalagi mengingat-ingat yang sudah-sudah yang gak ada gunanya dan belum tentu pasti klop dengan apa yang saya kira, kan lebih baik kalau memang semua udah buntu, kenapa gak coba pasrah saja kepada Tuhan sambil beristighfar kepada-Nya? Sambil lalu terus bersyukur kepada-Nya. Tapi yang begini neh berat amat lho, dik. Saya sendiri hingga seusia gini, belum sanggup selalu bisa melakukannya dengan tenang hati. hehehe...”

“Iya, pak. Berat banget sih. Obrolan ini juga terasa berat banget bagi saya, malah jauh lebih berat dibanding mengangkat gelas ini dan nyeruput isinya lalu menyulut sebatang rokok. Yang terakhir barusan saya cuma becanda lho, pak! Tapi apa yang bapak omongin sebelumnya tuh emang berat, saya belum tentu bisa melakukannya, kalau ngomonginnya sih guampang. Lebih beratnya lagi biasanya neh, pak, ketika kita sedang berada di antara rentang waktu deadline dari sesama atas kewajiban yang wajib kita penuhi dan tiba saatnya Ketetapan Tuhan yang entah kapan? hehehe...” 

“Jadi, gimana neh? Giliran adik, sekarang?” pinta si bapak.
“Okey-lah kalau begitu. Segelas wedang kopi luwak item, kue brownies empat, semua berapa, pak?”
“Terus gimana giliran adik?”
“Sekarang kan udah malam jam 11 neh, pak. Bapak juga perlu istirahat gantian ma ibu, iya kan? Lagian saya juga perlu jedah dulu biar bisa menyerap pelajaran berat dari bapak tadi, tho!”
 

“Waduh, berarti saya dikibulin neh. Kalah 2-0 neh saya. Okey-lah kalau begitu, semua cuma tiga setengah (Rp 3.500) deh.”
“Cuma tiga setengah pak? Tenang, saya ndak bermaksud ngibulin orang sepuh kayak bapak kok. Anggap saja neh perpanjangan waktu, pak. Saya memang perlu waktu untuk memahami pelajaran berharga tadi. Neh duitnya sepuluh ribu yang tersisa di saku, pak. Kembaliannya ntar kalau saya ingat pas balik ngopi lagi dan ngobrolin giliran saya nanti aja deh, pak”

“Terima kasih kalau begitu, dik!”
“Justru saya yang berterima kasih karena sudah mendapat pelajaran berharga banget dan jadi PR buat saya. Lagian saya masih punya hutang janji giliran tho, kalau bapak masih ingat pasti akan saya lunasi kontan kok! Tenang, saya pikir, jawaban yang bapak ungkapkan tadi semua benar dan tepat adanya. Dan saya ikut berdoa, semoga Pertolongan Tuhan segera tiba dan Tuhan senantiasa menguatkan bapak dengan limpahan ketabahan selama menunggu Kepastian-Nya sambil terus berusaha, geh! Semangat dong, pak! hehehe...
“Kalau itu pasti akan selalu saya tunggu, geh! hahaha...”
“Saya pamit pulang dulu, pak! Matur suwun banget semuanya, geh!”

* * * * * * * * *

Minggu siang dua hari keesokanya, saya ngopi lagi di warung itu. Kebetulan sekali si bapak juga gak ada. Kata ibu, si bapak lagi keluar kota kirim kayu gelondongan ke Cirebon. hehehe...

Yang bikin aku ikut trenyuh dan bersyukur banget, ketika aku menanyai ibu si istri bapak tersebut, Tuhan ternyata memberikan Pertolongan-Nya secara ndak terduga akhirnya, ndak jauh dengan secuil pengalaman seru banget ketika masa kuliahku dulu yang ingin aku bagikan kepada bapak sesuai janjiku dan belum diketahui seorang pun hingga kini hehehe... 

Cerita ibu, tepat keesokan harinya selang setengah jam sebelum si pihak dealer datang menagih duit, bos si bapak datang memberikan pinjaman cuma-cuma hingga masalah keluarga bapak itu menemukan jalan keluar. Bahkan, duit pinjaman cuma-cuma dari bos bapak tersebut masih ada sisa untuk membayar kontrakan, beli pulsa listrik warung ibu, berikut untuk kulakan dan makan beberapa hari. Bos bapak juga bilang, ntar pelunasannya kapan saja kalau bapak benar-benar sudah punya cukup duit, tanpa potong gaji. Subhanallaaah... 

Dalam hati, aku hanya terharu banget hingga tanpa sadar mataku berkaca-kaca dan membatin, “Inikah rahasia kecil Rencana Tuhan yang selalu akan datang pada saat yang tepat? Lalu kenapa seringkali masih teramat berat rasanya. walau pun begitu, aku sangat bersyukur karena semuanya aku pikir sudah cukup kini. Soal kesulitan di kemudian hari itu pasti, karena telah menjadi warna-warni hidup yang nikmat ini. Berbagai kerumitan itu bagiku, justru merupakan alasan kita harus tetap bertahan demi menyambut esok yang lebih hepi. Iya tho, sob? hehehe...



Tambahkan Komentar

0 comments