Iqra': Pancasila!

Pancasila adalah identitas kebangsaanku
Hari gini masih bergairah mengaksentuasi Pancasila di tengah deru perubahan zaman yang cetar membahana? Sesuatu deh! Ketika gaungnya boleh dibilang nyaris tak terdengar lagi sejak gerakan reformasi menggelinding berujung tumbangnya kepemimpinan Soeharto lima belas tahun silam.

Entah bagaimana mulanya pendar ronanya serasa meluntur dari ingatan khalayak luas. Satu tengara yang terasa, mungkin karena anggapan kesakralannya sempat dijadikan alat doktrin penguasa Orde Baru untuk ”menyakralkan” status quo selama puluhan tahun dulu.

Jika anak-anak hingga para remaja serta kawula muda pelajar ditanya seputar Pancasila, kebanyakan mereka cenderung –meminjam istilah grup musik Kuburan– ”lupa-lupa ingat” sekarang. Alih-alih bersedia menyuntuki sejarah, filosofi, kandungan nilai-nilai serta daya guna pengamalannya di tengah kancah pergaulan dalam lingkup terbatas maupun lintas batas; di antara mereka banyak yang tidak hafal isi kalimat atau urutan sila-silanya saja. Bukan mustahil kalangan politisi negeri ini yang tak sedikit justru acap membikin galau rakyat, juga susah mengingatnya dengan baik. Oalaaah...

Nah, alangkah menggembirakan jika segenap elemen bangsa menyegarkan kembali impresi bersama tentang kebermaknaan Pancasila kembali. Lebih jauh, masyarakat tergerak pula menyelami serangkum esensi yang terpendam di baliknya. Dengan begitu, diharapkan akan turut semakin menggairahkan gelora penguatan identitas bangsa dalam komunitas global dan multikultural di kemudian hari.

Dalam hal ini, rasanya miris jika terhanyut dalam ”pembiaran” melupakan atau bahkan menghapus idealisme Pancasila dari memori publik. Apalagi, bila hal itu ternyata hanya lantaran generalisasi atas keterkaitannya dengan Orba yang telanjur semata buncahan euforia reformasi. Bukankah hadirnya semula jelas nonproduk kekuasaan rezim otoritarian itu, sehingga layakkah kudu pula memikul dosa-dosanya lantas wajib ikut dicerabut dari relung kebangsaan?

Perlu disegarkan sekali lagi bahwa Pancasila sejatinya de facto dijiwai ”ruh” pertiwi yang mengada berkat kuasa-Nya dengan renik-renik bhinneka yang mewarnainya. Baik kebhinnekaan nusa (dari Sabang-Merauke), potensi alam, kultur dan seterusnya. Fitrah dari sono-nya macam itu lantas secara natural mengonfigurasi sumber nilai keseharian sosial Nusantara, untuk kemudian seiring perjalanan sejarah menandai kelahirannya, sekaligus peneguhan upaya memperjuangkan kemerdekaan sampai terbentuknya NKRI yang diawali proklamasi.

Sumpah Pemuda sendiri yang sering ditahbiskan sebagai momentum kebulatan tekad persatuan dan kesatuan, serta titik tolak kesadaran penuh segenap rakyat yang dimotori sekalian pemuda berbagai daerah guna merengkuh kemerdekaan pun, membersitkan embusan jiwa keanekaragaman tersebut. Artinya, hakikat Pancasila meniscayakan personalitas bangsa ini yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, selanjutnya mengilhami kesepahaman final para the Founding Father menuju kehidupan berbangsa dan bernegara (NKRI) yang merdeka dan berdaulat.

Maka, betapa penting melestarikan berikut senantiasa mengaktualisasi spirit Pancasila sejalan perkembangan zaman. Bagaimana pun mengabaikan atau sengaja meniadakannya berarti mengingkari jati diri sendiri yang ditakdirkan justru potensial menjelma bangsa yang besar dengan bawaan kemajemukan. Selain itu, pengabaian bahkan penghapusannya sebagai dasar negara, otomatis secara de jure berimbas peniadaan republik ini dan hal itu sangat mustahil.

Langgam ikhtiar memasyarakatkan Pancasila dan mem-Pancasila-kan masyarakat terasa pasang surut, kerap pula bertalian dengan peralihan nahkoda pemerintahan NKRI termasuk pasca-reformasi. Tak jauh berbeda halnya menemukan sosok Indonesia, misalnya, sebagaimana pernah dilansir Patricia Aburdene dan John Naisbit dalam bukunya Reinventing the Corporation (1984) lampau. Serta curahan nasionalisme penduduk negeri ini dari waktu ke waktu.

Pancasila, abad globalisasi, teknologi informasi dan social media
Inilah tantangan kekinian para generasi penerus di tengah hiruk-pikuk jagat politik kontemporer yang belum kunjung mengembuskan angin segar terwujudnya impian rakyat seutuhnya. Terlebih saat menapak abad globalisasi, dengan segala eksesnya yang seringkali menelusup jauh hingga ke ruang privat belakangan ini. Orde global yang ditandai dengan limpahan bejibun peranti teknologi pembuka kran informasi seluas-luasnya dan social media yang membuka kesempatan sangat leluasa, bagi persuaan bermacam komunitas dengan aneka latar belakang sosial-budaya sejagat tanpa batas ruang dan waktu.

Di satu sisi, era globalisasi dewasa ini telah meruahkan out put teknologi berikut informasi yang terbilang cukup menyokong tuntutan kebutuhan masyarakat dalam berbagai urusan. Lambat-laun setiap orang juga cenderung bergantung pada serangkaian informasi aktual yang bersifat ilmu dan pengetahuan, medium aktualisasi diri atau sebatas hiburan. Begitu pun keluarannya berupa media jejaring sosial (buatan luar negeri) semisal Facebook, Twitter dan lain-lain yang menyajikan beragam manfaat telah amat intim dengan sebagian besar kalangan.

Namun di sisi lain, produk teknologi (informasi) juga menyisakan endapan dampak yang bisa jadi tidak kondusif jika disesap mentah-mentah. Semisal teknologi informasi untuk perbuatan-perbuatan yang menabrak etika, hukum, ketenteraman banyak orang dan seterusnya. Interaksi melalui social media juga bisa membuat siapapun gampang larut dengan kecenderungan di dalamnya.

Taruhlah penggunaan bahasa asing atau pun aksen pergaulan adopsi dari tayangan layar kaca dan sebagainya yang acap tidak sepenuhnya mencerminkan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Situsi-situs online tersebut meski sudah tersedia versi berbahasa pribumi, tetap berpotensi menularkan budaya minimal kebiasaan asing yang tanpa disadari akan membikin para generasi beringsut menjauh dari kultur cerminan jati diri bangsa sendiri bahkan akhirnya benar-benar terlupa di kemudian hari.

Yang perlu digarisbawahi, upaya mengemas budaya asing melaluli pemanfaatkan teknologi informasi maupun social media tetap diperlukan sejalan dengan nuansa modernisme, sejauh tidak menggerus nilai-nilai budaya Nusantara yang juga terbuhul dalam Pancasila sebagai falsafah bangsa. Misalnya, kreativitas mengelaborasi bermacam warisan Nusantara dipadu-padan dengan budaya luar populer sehingga menghasilkan kreasi yang ciamik.

Lalu sebagai bagian komunitas dunia, para sedulur terus-menerus giat mengenalkan Indonesia dan nilai-nilai Pancasila ke seluruh bangsa dunia. Serta masih banyak terobosan positif lainnya yang bisa digiatkan ke arah progresifitas kemajuan Indonesia mendatang. Tentunya melalui kecanggihan teknologi maupun social media yang sudah layaknya gaya hidup mutakhir.

Karena itu, segenap anak bangsa lagi-lagi kudu cerdas memanfaatkan teknologi infomasi dan social media sekaligus kepungan multikultur dalam rangka penguatan identitas kebangsaan yang ber-Pancasila mulai detik ini. Bukan hanya sebagai penikmat yang larut dalam gaya hidup konsumtif. Abad globalisasi, keleluasaan informasi, termasuk eksistensi media sosial berikut cikal bakal perkembangannya lebih lanjut kelak adalah niscaya. Tapi, jati diri bangsa wajib pula dipertahankan hingga akhir masa. Mengingat, posisi negera Indonesia senantiasa diperhitungkan oleh kancah international, lantaran memendam seabrek keunikan tersendiri dalam banyak aspek. Bagaimana menurut sampean?
Tambahkan Komentar

0 comments