Rembulan Separuh di Kutoharjo

Rembulan separuh di Kutoharjo dan mahalnya sebuah kebebasan
Pukul 22.47, Kutoharjo. Aku beranjak dari kursi menuju pintu bordes. Ingin melongok angkasa ndak sabar menghirup udara luar. Walau sekadar jedah, tapi rasanya cukup untuk menghamburkan penat.

Separuh jedah dan tentang mahalnya sebuah kebebasan

Usai menyusuri titik ke titik, desa ke desa, lembah ke lembah, kota ke kota dan seterusnya menunggangi kereta berjam-jam lamanya. Gelap masih terbentang, lampu-lampu stasiun juga tampak kelelahan. Kali ini ndak segaduh pemberhentian sebelumnya. Hanya terlihat seorang lelaki muda bertopi ala penggila reggae. Atau coklok yang biasa dipakai ibu-ibu di tempatku.

Pemuda itu duduk bersedekap di antara barisan kursi tunggu penumpang tanpa tuan. Ia terkantuk-kantuk serasa mengeja waktu yang begitu cepat berlalu, namun penantiannya lambat banget datang. Entah apa yang sedang menyesaki benaknya, hingga tampak ndak kuasa menyanggah kepalanya hehehe...

Lega rasanya menyesap udara bebas. Selain bisa menikmati pemandangan sekeliling, membeli cemilan sekaligus berbagi rezeki kepada para asongan, juga leluasa merokok. Dulu penumpang masih boleh-boleh saja mengisap rokok saat kereta berjalan, asal di ruang bordes gerbong. Bahkan, kadang disediakan kursi terutama kereta ekskutif.

Tapi kini berlaku larangan melakukannya walau selama perjalanan. Merokok di area pintu bordes yang terbuka sewaktu kereta berhenti sekalipun dilarang sekarang. Coba sampean membuktikannya sendiri, maka petugas yang memergoki pasti akan menyuruh sampean merokok dengan turun dari gerbong seperti beberapa penumpang malam itu kikikikikikkk...

Ah, begitukah mahalnya harga sebuah kebebasan meski sudah membayar ratusan ribu untuk berbekal tiket resminya? Terbetik dalam pikiran, untuk apa larangan sejauh itu yo? Kalau merokok dalam gerbong saat kereta melaju, barangkali masih wajar karena memang bisa membikin penumpang lain yang bukan perokok merasa ndak nyaman. Sementara, paradoks bahkan anomali kebebasan sepak terjang kebanyakan oknum penguasa negeri ini sedemikian meruyak kenyamanan masyarakat di sana-sini.

Ketimbang makin jauh terseret memikirkan sesuatu yang kiranya ndak perlu terlalu dipusingkan itu, toh serentengan fakta ironis kebebasan juga seakan justru kian melembaga, lebih baik mencari rembulan yang sebenarnya terpikirkan sejak tadi. Gara-gara fenomena tersebut, keinginan menjumpainya jadi teralihkan deh. Tapi rembulan bersembunyi di mana yo? Aku melempar pandangan ke sana ke mari, kok belum melihat ronanya? Apa memang belum waktunya terbit melengkapi indahnya malam?

Cukup lama aku mencari-cari, akhirnya menemukannya. Ia malu-malu di balik ujung atap jalur lintasan pemberhentian kereta. Hanya terlihat separuh di sana. Bukan karena tertutup awan, tapi memang sepenggal. Temaram menyibak pekatnya langit malam yang cerah. Begitu teduh meniupkan kedamaian di relung jiwa.

Berlama-lama memandangnya pikiran jadi bergeliat. Rembulan separuh, mungkinkah pertanda separuh pula sisa perjalananku? Atau separuh pencapaianku menggapai bintang sebelum benar-benar menggenggamnya? Separuh lagi ayunan langkah untuk menapak puncak impian duhai indahnya? Asal bukan separuh keberuntungan dalam menikmati hidup ini yo? Lalu bagaimana dengan sampean? hehehe...

Tambahkan Komentar

0 comments