SUMPEK rasanya menyimak tayangan berita yang
gencar disiarkan televisi sepanjang hari-hari belakangan ini. Apalagi kalau
bukan pemberitaan kasus dugaan suap dan money laundering impor daging
sapi, dengan tersangka antara lain LHI dan saksi AF yang juga menyeret sejumlah
perempuan.
Hampir setiap jam tayangannya nongol
dan terdengar amat bising di kuping. Bahkan, stasiun televisi yang biasanya hanya
intens pada segmen hiburan pun ikut latah menyiarkannya begitu gaduh dalam acara
infotainment, dengan angle berbeda namun tetap memelototi perempuan-perempuan
yang terseret skandal itu sebagai objek.
Betapa televisi (semisal TVone) yang
cukup riuh memberitakannya pada mulanya, sangat tergesa-gesa menyorot beberapa
perempuan yang masih diduga terlibat dalam kasus itu, hingga merangsek ke ranah
kesehariannya beserta keluarganya secara berangasan. Ironisnya, media cenderung
baru berbekal laporan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan) yang menemukan catatan aliran transfer fulus dari LHI
atau AF kepada para perempuan bersangkutan yang seharusnya ditelaah lebih cermat
dulu validitas benang merah pelanggaran hukum dengan orang-orang tersebut.
Konfirmasi terhadap kaum perempuan itu
untuk sekadar memastikan kebenarannya acapkali pula belakangan, setelah
pemberitaannya kadung meluas dan membangun opini publik, serta kesan
penghakiman khalayak bahwa mereka seluruhnya bukan perempuan baik-baik yang
pantas menuai cibiran. Dari sini, televisi boleh dibilang terlalu
membesar-besarkan porsi sorotan terhadap perempuan-perempuan tersebut alias
lebay. Ya, media layar kaca lebay banget memberitakannya.
Celakanya, dalam perkembangan yang ndak
terlalu lama berselang, justru mencuat ndak sedikit fakta yang justru terkesan
bertentangan dengan informasi yang menyeruak sebelumnya. Taruhlah misalnya
keterangan istri AF, Septi, tentang salah seorang perempuan dekat AF yang dibesar-besarkan
media sebagai artis dangdut, ternyata bukan demikian. Lalu, testimoni AA yang
ikut dicomot besar-besaran oleh media dengan nada sarkasme karena telah menerima
transfer uang dari AF, ndilalah urusan bisnis belaka yang merupakan
tanggungjawab AF dalam kesepakatan atas even tertentu. Bahkan pandangan
kalangan pakar (hukum) maupun sesepuh begawan budaya yang netral dalam acara
diskusi gelaran TVone belum lama ini, ndak sevulgar pemberitaan televisi.
Fenomena reportase televisi yang sporadis
dan masif sekarang tersebut, bukan mustahil membuat publik tersadar guna
mempertanyakan eksistensi media sebagai pilar keempat demokrasi yang
berdasarkan keadilan hukum. Masyarakat jelas mempertanyakan pula fungsinya sebagai
bagian media pendidikan bagi bangsa ini melalui ragam informasi yang dikemukakan.
Mengingat, jika dicermati lebih seksama, tersisa kesan bias gender di dalamnya.
Tanpa disadari, gencarnya sorotan
terhadap para perempuan di sekitar pusaran kasus tersebut, justru perlahan
memosisikan para pelaku utamanya layaknya Robinhood yang tampil sebagai
pahlawan dan menempatkan para perempuannya ndak memiliki sumber
penghidupan sendiri hingga harus bergantung kepada seorang AF atau LHI. Bila para
pelaku dan lelaki yang terlibat kasus itu terbukti dan hanya mendapat hukuman
ringan, maka pantas dibilang media pun harus bertanggung jawab!
Pertanyaannya, bagaimana dengan para
aktor intelektual kasus tersebut sendiri –baik secara personal, komunal, atau
bisa jadi institusional– yang bukan ndak mungkin menyimpan bejibun kasus
dengan kaitan tokoh-tokoh penting lain tanpa keterlibatan perempuan figuran manapun?
Apa berarti sebenarnya awak jurnalis televisi diam-diam kehabisan akal untuk
menyentuh LHI atau AF lebih intim lagi?
Apakah media sanggup menjamin para
perempuan yang menjadi bidikan kamera dan tercemar habis-habisan selama ini,
akan baik-baik saja di tengah keluarga, tetangga sekelilingnya, maupun
pergaulan sosial lebih luas di kemudian hari? Kendati mereka memang akan
terbukti bersalah sesuai ketetapan pengadilan nanti, apakah harus mengabaikan
sisi-sisi kemanusiaan mereka? Entahlah, lebih baik sampean menjauhkan
diri beserta orang-orang terdekat dari berita-berita lebay televisi macam itu mulai
detik sekarang, jika sampean masih ingin berpikiran waras hehehe...