Dari Ambang Netra Susuri Lorong-Lorong Hati



ROMAN senja kian meredup, semilir angin mengembuskan ketenangan tersendiri. Damai yang menggerakkan pikiran bareng jemari, untuk menorehkan bait-bait dari suara yang selalu berbisik di relung hati. Tentang aku, kau dan siapa saja yang ingin atau sedang lesehan di taman kedamaian.

Wahai hati! Pernahkah kau untuk sekali saja berhasrat menatap kelopak mata ini? Mata yang menjadi lensa bagiku, kau dan siapa saja, kala menatap segala yang telah dianugerahkan-Nya di muka bumi. Pintu bagi jejakku, langkahmu dan ayunan kaki siapa saja, guna menemukan apa yang diinginkan dan dimiliki hingga menapak kepastian.

Bila kau sedang ingin, berharap, syukur-syukur berkenan untuk melirik kelopak mata ini, duhai hati, maka akan terbentang lorong-lorong sunyi. Mungkin saja juga gulita menuju ke setiap ruang di dalamnya. Saat kau mulai bergerak menapakinya dan memasuki sekat demi sekatnya, maka jangan pernah berharap kau akan bertemu para malaikat atau bidadari-bidadari. Dengan senyum, wajah berseri dan aroma mereka yang mewangi surgawi.


Saat kau beringsut menjelajah ruang yang lain, kau juga ndak akan menjumpai anggur-anggur segar pemuas dahaga, maupun hidangan lain yang nikmatnya tiada tara. Jika lantas beralih ke ruang yang lain lagi, kau ndak bakal menemukan Gusti Tuhan bertahta di sini. Andaikan kau pun merasakan kehadiran-Nya di salah satu ruang hati ini, kau hanya akan serasa ”melihat-Nya” dari balik tirai pekat nan jauh. Bagai menatap kedalaman samudera, dari riak-riak air permukaannya yang amat menghitam keruh.

Jangan pernah kau berharap begitu. Itu ndak akan terjadi. Hati ini rasanya bukan altar yang agung untuk Gusti Tuhan bersinggasana. Hati ini teramat kotor, anyir, kelam dan penuh debu-debu beraroma menjijikkan. Tentu ndak pantas meski sekadar disambangi oleh-Nya yang Mahasuci, Mahaindah, Mahawangi dan Mahasegalanya tho?

Namun, bila kau telah menyusuri semua lorong berikut setiap ruang di hati ini, seluruhnya, aku hanya ingin bertanya kepadamu. Seberapa banyak iblis, syetan, demit, genderuwo, dan kawanannya apalah namanya yang kau temukan? Satu, dua, sepuluh, seratus, seribu, sejuta, semilyar, setrilyun, atau berapa?

Atau kalau jumlahnya ndak terhingga sekalipun, berapa makhluk-makhluk paling dibenci manusia itu yang tertangkap basah pandanganmu yang indah nian di dalamnya? Kalau kau ndak berpapasan dengan satu pun dari mereka, maka kau adalah pembual terburuk yang pernah ada di jagat fana ini. Heuheuheuh...

Di antara mereka pasti kau jumpai. Tapi berapa? Sehingga kau teramat muak, bahkan ndak cukup puas terlampiaskan dengan memuntahkan seisi emosimu. Dengan ludah-ludah kebencian yang berlendir. Lalu, pernah kau bertanya kepada salah satu makhluk-makhluk busuk, yang selalu dihinakan sampai kapan itu untuk sekali saja?

Pernahkah kau bertanya, sekali saja, mengapa dia merasuki ruang hati ini, hingga betah berlama-lama mendiaminya? Bagaimana ceritanya kawanan makhluk haram jadah tersebut bisa melakukannya, dan kau jumpai masih bergentayangan dengan tampang dan tingkah yang teramat memuakkan di dalam hati sini?

Sementara ndak jauh dari ruang, di mana kau temukan para makhluk jahanam di ruang hati ini, masih terbuka pintu bagi siapapun yang selalu merindu-Nya tiap saat. Walau ndak semegah gerbang mereka yang menyucikan dan disucikan-Nya sepanjang takdir. Meski ndak semenawan ambang mereka, yang mustahil akan kau temui satu pun makhluk haram jadah itu. Kendati ndak seindah portal hatimu yang mungkin lebih steril, dari hempasan debu-debu jalanan.

Ups, jangan-jangan kau terhijab pula menemukannya yo? Wuaduh, gaswat! Selama hayat masih dikandung badan, selama nafas masih terhela, itu bisa dibilang sesial-sial kesialan. Dan kau bukan Gusti Tuhan, walau kau begitu sempurna untukku, kau dan siapa saja yang ndak sempurna. Maafkan aku yang ndak sempurna dan ndak akan bisa menjadi sempurna hingga Ia menyempurnakan dengan kematian belaka nanti.

Manakala kau memang ndak menemukan apapun lagi, yang mendamaikan dalam hati ini melalu kelopak mata ini, mungkin sudah waktunya diriku atau kau pergi. Karena, segalanya hanya akan sia-sia tho? Maybe lebih baik ayunkan langkah sajalah, cari dan temukan lorong-lorong yang membentangkan ruang-ruang hati yang lebih bening, suci, wangi dan sempurna. Demi bahagia yang kau dambakan dan ndak perlu kau cemaskan apapun di sini.

Lebih mendamaikan seandainya hati ini pun ndak harus menanggung kebencian. Bukan pula kudu memendam kebencian, dengan memergoki jejak-jejakmu. Tanpa suara menyipratkan guratan tapak-tapak kelam diri ini, di sepanjang jalan langkahmu bersama mereka yang tiada lelah mengacungkan klaim kebenaran.

Telaga Kalbu, 2013
Ilustrasi: Matta-Art
Tambahkan Komentar

0 comments