WAKTU belum mendekati pukul setengah sembilan malam.
Tapi, suasana begitu lengang di luar. Sepertinya gerimis yang masih awet
berderai sejak menjelang isya tadi, membuat para warga lebih memilih berdiam
diri bareng keluarga di rumah masing-masing. Barangkali pula mereka sedang
dalam perjalanan berlayar menuju pulau mimpi.
Begitu juga dengan Mbok Sumi, meringkuk di pembaringan.
Sendirian. Meski kantuk terus merajuk, pikirannya ndak kunjung rebah. Ia
hanya membolak-balikkan badan hingga pegal. Sesekali ia melek lalu melirik
jam dinding yang dirasakannya berayun teramat lambat. Padahal, ia kudu bangun
pagi-pagi untuk menanam binis padi (baca: tunas) esok hari.
Saat melankoli irama butiran air langit menghening sekian detik, serupa
jedah pergantian lagu di pemutar musik, endapan kenangan masa lalu justru berebut
mencungul dari alam bawah sadarnya. Ingatan tentang semasa hidup
suaminya. Juga riuh kebersamaan anak-anaknya sebelum beranjak dewasa, berkeluarga,
menyebar jauh ke pelbagai tempat rantau, serta ndak pasti mudik lebaran.
Kenangan-kenangan itu berseliweran, saling melempar remasan lembar rindu
di benaknya. Ia hanya bisa mengelak dan perlahan tergiring ke sudut kesendirian.
Beruntung, cucu-cucu dari anak perempuannya yang tinggal bersama suami di
kampung sebelah, rutin mengunjungi tiap sore. Ia pun hanyut terbawa lamunan
yang melenakan.
Gerimis belum reda. Akhirnya ia bisa tertidur ketika jam dinding baru menapak
tengah malam. Sunyi kian bergelayut sepanjang gelap sekeliling. Dalam lelap ia
dikejutkan seseorang yang tiba-tiba menjawil lengannya dari samping ranjang. Tentu
saja ia kaget dan menoleh. Sosok perempuan yang amat dikenalnya, berdiri
memandang ke arahnya. Munaroh.
Perempuan muda yang tinggal di ujung selatan kampung. Hanya saja,
mengapa kepalanya plontos mengilap sekarang yo? Apa yang terjadi
dengannya, karena tiada kabar apapun dari para tetangga selama ini? Pikirnya
sembari serasa bangun, hendak bertanya maksud kedatangan perempuan telah
bersuami yang bahkan jejak langkahnya ndak terdengar sebelumnya itu.
”Ada apa kau mertamu ke mari, di tengah malam gerimis begini, Mun?”
ujarnya.
”Ndak ada apa-apa Mbok, maaf juga yo bila
kedatanganku mengganggu istirahat sampean” jawab sosok perempuan tersebut.
”Iya rapopo. Ada apa sih, Mun?” tanya Mbok Sumi
dengan tersenyum.
”Begini Mbok, sekali lagi aku minta maaf kalau waktunya ndak
tepat. Aku cuma diminta untuk menagih upah Kang Bajrah yang membajak
sawah sampean seharian tadi, Mbok.”
”Lho bukankah aku sudah bayar sendiri padanya, setelah dia beres
membajak? Tapi, yo wis-lah memang berapa, Mun? Dan omong-omong mengapa
kepalamu digundul begitu?” balas Mbok Sumi tanpa beban, sambil beranjak
mengambil dompet.
”Cuma dua ratus ribu. Ini model rambut kekinian, Mbok,
hehehe...”
Tanpa menunggu lama, Mbok Sumi kemudian menyerahkan empat lembar uang
lima puluh ribuan pada sosok perempuan tersebut. Disusul suara ”krompyaaang”
yang amat mengagetkannya. Ia celingukan, terjaga, rupanya hanya bermimpi. Angka jam dinding menunjukkan pukul 00.24 dini hari. Ia teringat perempuan yang baru saja meminta fulus, kok ikut menghilang. Ke mana perginya? Sejenak ia termenung, lantas reflek bergegas memeriksa dompet dan
menghitung isinya.
Uang pemberian anak perempuannya siang tadi,
jumlahnya ternyata berkurang dua ratus ribu. Mbok Sumi langsung merinding.
Buru-buru ia balik ke ranjangnya. Melanjutkan tidur sambil terus menenangkan
pikirannya.
Ilustrasi: Woman Around Town
0 comments