BELUM lama ini saya ikut tetangga, menyambangi kerabat tetangga
lain yang mengadakan acara. Sebelumnya kami telah dibagi-bagi besek alias
berkat-nya lebih dulu. Yang punya gawe, kakak perempuan suami
tetangga saya. Bingung yo? Sebut saja ipar perempuannya tetangga deh.
Kami pergi naik motor, sebab rumahnya ndak terlalu jauh. Kira-kira
dua puluh menit waktu tempuhnya. Perjalanan mulai seru setiba di wilayah perkampungan.
Walau jalannya sudah beraspal (kasar), tapi bebatuan mencungul di
sana-sini. Ketika masuk lebih jauh, kondisinya semakin rusak. Sisanya tanah
becek sehabis hujan setengah jam lalu, membuat terasa licin dilewati.
Gara-gara penunjuk jalan keliru memberitahu arah, kami juga sempat nyasar
pada tikungan yang kian menyempit. Semula kami masuk gang kecil menanjak,
sehingga kudu menambah gas motor. Hati saya meragu, karena ujung lorong itu tampaknya
mentok. Benar saja, kendaraan lantas nyelonong lewat samping ke
pekarangan rumah warga.
Sewaktu saya menoleh ke kiri, ibu-ibu terlihat mengobrol di teras.
Dengan sedikit keki, saya mematikan motor, lalu menanyakan alamat yang hendak
dituju. Menurut keterangan ibu-ibu itu, kami memang salah rute. Seharusnya kami
berbelok di pengkolan dekat sekolah. Usai mengucapkan terima kasih dan maaf,
saya memutar kendaraan lumayan susah di ruang yang cekak.
Tetangga yang bertugas sebagai guide dan mengaku pernah tahu
lokasinya terdahulu, dengan tampang konyol bergumam sendiri, ”Jalan yang
dulu kok berubah sekarang, yo.” Dan saya hanya bisa menimpali, ”Sampean saja
yang ”Lupa Lupa Ingat” seperti hits grup band Kuburan dulu keleees heuheuheu...”
Rombongan kami lantas berbalik arah sesuai petunjuk warga tadi. Kali ini
benar, meski sempat terhenti pula di persimpangan dekat sekolah. Lima menit
berlalu, kami sampai di tujuan akhirnya. Tuan rumah menyambut kami, namun
suasana telah sepi. Nah, dari bincang-bincang pembuka, saya baru ngeh acaranya
dalam rangka tujuh bulanan usia kehamilan ipar perempuan tetangga saya itu.
Mitoni dengan 47 tumpeng?
Hajatan itu tentu ditunggu-tunggu oleh keluarganya. Sebagaimana
penuturan mertua tetangga saya, kakak perempuan suaminya itu baru hamil setelah
26 tahun berumah tangga. Penantian yang ndak sebentar bagi jamaknya
pasangan suami-istri. Lah ada iparnya yang lebih awal beristri, telah
memiliki salah seorang anak berumur 20 tahun.
Jangankan berkeluarga puluhan tahun lamanya, saat usia pernikahan baru satu-dua
tahun saja, biasanya para sedulur kerepotan menjawab pertanyaan
orang-orang. Misalnya, setahun menikah kok belum punya anak yo?
Kapan ingin momongan, nanti telanjur ringkih untuk mengasuhnya lho. Dan
serentetan tanya serupa yang kadang bikin ubun-ubun gatal.
Maka, kehadiran buah hati yang sekian lama dinanti, biasanya akan bersambut
suka-cita. Begitu pula sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehamilan pertama ipar
perempuan tetangga saya itu, keluarganya memenuhi nazar 47 tumpeng, dalam
selamatan mitoni yang kelar tuntas pada siangnya. Pantas saja, mertua dan para iparnya
yang menemui kami selama bertamu tampak kepayahan. Wow!
Para tetangga sekitar pun kabarnya menanyakan hal-hal yang menggelitik
pada keluarga itu. Ada yang bertanya, apa resepnya hingga mereka dianugerahi
bakal momongan kini? Ada juga yang penasaran, mereka ikut pengajian tertentu,
atau mempunyai guru spiritual khusus? Padahal, mereka menjalani apa adanya. Dan
sampean jangan menanyai saya, mengapa jumlah tumpengnya 47 buah lho
yo.
Dengan meresapi karunia yang teramat membahagiakan pada keluarga ipar tetangga
saya itu, ingatan jadi ikut terbawa pada kisah sosok perempuan tercantik pada
masanya. Figur yang mulia kepribadiannya, Bunda Sarah istri Bapak Ibrahim as,
yang baru hamil saat usianya telah amat uzur. Dalam berbagai literatur disebutkan
keduanya berusia mendekati angka seratus tahun.
Ini memberi pembelajaran khususnya bagi saya pribadi, bahwa Kehendak Sang
Mahapengasih di atas segala daya, upaya, bahkan perkiraan kita. Termasuk andaikan
ikhtiar tertentu saran dari seseorang yang linuwih maupun dekat pada Gusti
Tuhan, sekalipun benar terjadi di kemudian hari bukan lantaran ucapannya
keramat. Namun, semata kebetulan sejalan dengan Ketetapan-Nya.
Adanya keturunan, rezeki, berikut segala perkara yang menyangkut
kehidupan dan penghidupan kita, memang semestinya bermula usaha yang hendaknya disempurnakan
pula dengan tawakkal. Selebihnya, jangan pernah menutup apapun kemungkinan, hanya
karena perhatian teralihkan untuk tetap meyakini Rencana-Nya yang pasti akan
indah pada waktunya. Bagaimana menurut sampean?
Ilustrasi: Health Usnews