Naksir Itu Harus Ikhlas?



QAIS merasakan senja begitu hambar kali ini. Wajahnya kentara digelayuti mendung, setelah bertemu dengan Lila siang tadi. Pandangannya menerawang, seakan hendak menyibak garis maya langit dan laut lepas. Tarian ombak juga seolah hanya bayang-bayang di ruang hampa kini baginya.

Empat hari kemarin ia masih kesemsem senja. Hampir saban hari ia cangkruk di warkop kawasan Jembatan Suramadu, menyeruput wedang kopi hot sambil menikmati pesonanya. Ia bahkan sering berlama-lama menghabiskan waktu, hingga matahari raib ke peraduan semesta.

Gadis berwajah kalem yang kemudian memperkenalkan nama Lila, biasa mengajaknya ke sana. Memandang semburat mega, ombak yang berkejaran dan para nelayan sepulang melaut. Sambil mengobrol ngalor-ngidul, mulai dari urusan kerja sampai perkembangan kekinian. Irama musik yang kadang mengalun dari tape jadul pemilik warkop, menambah asyik suasana.


Perkenalannya berawal dari pertemuan secara kebetulan. Satu pagi dalam perjalanan hendak menyerahkan naskah ke penerbit, ia singgah di warung pinggir jalan untuk sarapan. Ketika ia beres makan, gadis berseragam karyawan training muncul tergopoh-gopoh, menanyai penjaga warung siapa pemilik motor di sebelah. Rupanya gadis itu dan ibu yang melayani pembeli telah saling akrab.

Ia jadi ikut melongok ke luar. Satu-satunya motor yang parkir terdekat adalah miliknya. Ia lantas mengacungkan telunjuk, seperti murid TK yang ditanya oleh guru di kelas. Gadis itu menghampirinya, bertanya apa ia keberatan bila dimintai tolong untuk mengantarkan dirinya ke tempat kerja. Sebab, gadis itu telah menunggu angkot setengah jam lamanya, dan bisa terlambat jika tetap belum mendapatkan tumpangan.

Apalagi, seandainya naik angkot sekalipun, turun dari rute pemberhentian nanti, gadis berbulu mata lentik itu masih harus berjalan kaki seratus meter, untuk sampai ke Mall tempat kerjanya. Ibu penjaga warung turut nimbrung, menerangkan bahwa gadis itu berasal dari luar kota dan baru sepekan kost di rumahnya. Qais ndak bisa menolak, untung Plaza dimaksud searah dengan jalur ke kantor penerbit tujuannya.

”Tapi, saya cuma membawa satu helm Bu, Mbak” ungkap Qais saat mengiyakan permintaan gadis itu.
Oh, ini nduk pakai helm Pak’e saja dulu” sahut ibu warung, lalu mengambil helm yang tersimpan di kolong bawah meja.

”Bagaimana kalau Pakdhe butuh helm nanti, Budhe?” tanya gadis itu saat menerima helm dari ibu setengah baya tersebut.
”Gampang, nanti biar Pak’e ambil helm yang lain di rumah. Yo wis segera berangkat gih”.

”Titip dia yo, nak. Dia belum tahu banyak daerah kota ini. Matur suwun sebelumnya dan sarapannya ndak usah bayar deh” ujar ibu warung.
”Siap! Lho jangan begitu, ini duit sarapan saya, Bu” jawab Qais sambil menyerahkan uang, pamit, lantas beranjak pergi disusul gadis itu.

Sepuluh menit berkendara menyusuri jalanan Kota Pahlawan, Qais tiba di pelataran Mall yang masih terlihat sepi. Mereka ndak terlambat. Entah dari mana keberaniannya mencungul, untuk berkenalan dengan gadis berambut gelombang pekat bernama Lila tersebut. Bukan hanya itu, ia juga menawarkan jasa antar-jemput padanya.

Lila semula menolak, karena ndak ingin merepotkan terlebih jika gratis. Qais lalu mengutarakan tawaran lain; gadis itu boleh tetap membayar, tapi lebih murah ketimbang ongkos pergi-pulang naik angkot. Jangan salah terka dulu, ia hanya berempati karena teringat masa-masa training kerja di tempat yang asing sebelumnya. Lila akhirnya menerima, Qais pun lega sebab akan mempunyai tambahan aktivitas baru di sela-sela waktu senggang.

Walau begitu, ia kerap menolak bayaran dari Lila pada hari-hari berikutnya. Kecuali bila gadis itu memaksa bingit, sehingga ia ndak bisa mengelak lagi. Sekurangnya ia benar-benar ndak bermaksud modus, hanya demi mendekati dirinya. Ia tulus melakukannya, ia mah begitu orangnya. Lagi pula samasekali ia ndak merasa dirugikan, justru hitung-hitung siapa tahu ketiban inspirasi untuk tulisan yang memang acap berderai, pada momen yang ndak terduga di alam bebas.

Nah, setelah gawe Lila sering mengajaknya ke pesisir Utara Surabaya itu. Awalnya untuk melepas penat. Qais pun tahu diri, ndak berharap ajakan tersebut sebagai ganti ia telah mengantar-jemput gadis itu. Apapun minuman dan jajanan pesanannya, tetap ia bayar sendiri meski saat Lila bersikeras hendak menraktirnya.

Tanpa disadari mereka berdua sering bersama. Qais sekadar menyeruput wedang kopi hot, Lila biasanya minum es jus melon. Kadang mereka berdua memesan panganan ringan. Sembari menikmati senja, ombak yang berlarian dan para nelayan seusai menangkap ikan di laut. Mereka juga sesekali berbagi cerita dan bercanda saling meledek.

Musik yang terdengar dari tape lawas pemilik warkop langganan, ndak luput pula menjadi bahan obrolan yang kian mengasyikkan kebersamaan mereka. Seperti pada senja tempo hari, mereka santai memperbincangkan hits Cintai Aku Karena Allah yang sempat melejit dulu, ketika terdengar di antara tabuhan debur ombak.

”Jika mencintai cewek itu kudu ikhlas. Tanpa pamrih, jangan dipamerkan, apalagi sampai diungkit-ungkit di kemudian hari, Mas” celetuk Lila mengomentarinya.
Hmmm...” sahutnya hanya bergumam. Lila terdiam, kemudian perbincangan mereka berlanjut tentang hal lainnya.

Kebersamaan mereka berdua pun tampak semakin dekat sebulan terakhir. Ada perasaan semriwing yang perlahan bergeliat di hati keduanya. Barangkali semacam orang Perancis bilang, witing gemuruh roso jalaran soko nggelibet. Kendati mereka ndak pernah menunjukkan kemesraan yang berlebihan, dan selalu menjaga jarak aman selama berduaan.

Hingga semua terasa berbeda seketika beberapa jam lalu. Ia mengantarkan Lila yang berganti jadwal shift siang tadi. Lila mengatakan sesuatu yang mengejutkannya setiba di Mall biasanya. Bahwa ia ndak perlu mengantar-jemput lagi, karena dirinya akan berangkat dan pulang kerja bareng Priyo, teman sekerja yang baru jadian sebagai pacarnya.

”Aku kok ndak tahu kabar ini yo, Lil? Sebenarnya aku jatuh hati padamu lho. Aku hanya sedang mencari cara supaya kamu tahu” ujarnya setelah bagai tersengat listrik.
”Tapi, Mas kan belum nembak aku” balas gadis itu dengan bersit canggung di wajahnya.
Lah kamu bilang, mencintai cewek itu harus ikhlas. Jangan pamrih, dipamerkan, apalagi sampai diungkit-ungkit di lain hari?”

* * * * *

Qais masih terpaku di tempatnya, mengingat romantika dengan Lila, sejak bertemu pertama kali sampai kejadian siang tadi. Sementara, matahari kian ngesot mendekati permukaan samudera. Tiba-tiba seraut wajah berambut pirang tergerai nongol di ujung hidungnya, membuyarkan lamunannya.

”Mas Qais yo? Ini aku, masih ingat nggak?” sapa gadis itu sambil menatapnya penuh riang.
”Siapa yo? Maaf, aku lupa” balasnya dengan masih kaget, lalu membetulkan posisi duduknya.

”Aku Lena, Marlena, adik kelas dua tingkat Prodi Sastra Inggris. Kalau sampean Prodi Sastra Indonesia tho?”
”Lena, Marlena? Apa kamu yang suka bareng Tantri, adik kelasku seangkatan kamu itu?”
”Ya, benuuul. Aku yang pernah sampean hukum, merayu sampean gara-gara terlambat sewaktu Ospek Fakultas dulu”.
Oalaaah hahaha...” ia baru ingat siapa gadis berwajah oriental di hadapannya. Maklum, penampilannya jauh berubah semakin memesona.

Wah kebetulan sekali bertemu sampean di sini. Aku memang sedang mencari-cari sampean selama ini. Omong-omong mengapa sampean melamun dari tadi?”
Lah kamu sendiri ngapain di sini? Terus ada perlu apa mencariku? Aku cuma merenung cari inspirasi saja kok”.
”Aku lagi shoot liputan wisata, Mas. Aku mencari-cari sampean ingin sharing soal tulis-menulis. Soalnya ada yang aku suka dari coretan-coretan sampean”.

”Suka tulisanku, apa suka orangnya? Kamu kok tambah cantik dan seksi, Len?”
Emang boleh suka orangnya sekalian? Lah dari dulu kan aku memang cantik dan seksi. Kalau ndak, mana mungkin sampean menghukumku, dengan merayu sampean waktu Ospek dulu hayooo...”.
Hahaaayy...” hanya seloroh itu yang meluncur dari mulut Qais.

Kehadiran gadis berbinar kejora itu menyegarkan pikirannya kembali. Paling ndak, perasaannya yang sedang didera ”gegana” (gelisah, galau, merana) terobati sejenak. Bukan, bukan, ia belum sampai mengalami stadium merana, akibat kalah start mengungkapkan perasaannya kepada Lila.

Ceblung, cebluuung...” tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia memberi isyarat pada gadis dengan senyum semerekah mawar di depannya itu. Satu pesan BBM anyar masuk, rupanya dari Lila.
Mas q telp dr tdi kok ga diangkat2 seh? Mas marah ma aq ta? Nti mlm k kostq yo, q mau curhat soal cowokq. Ternyata dia tuh playboy. Datang yo mas, pliiisss...

Qais menghela nafas. Ah, mengapa pula lantas dari tape rongsok pemilik warkop, sayup-sayup mengudara lagu kelompok musik Ada Band yang pernah ngehits.

Dahulu terasa indah, tak ingin lupakan
Bermesraan slalu jadi, satu kenangan manis
Tiada yang salah, hanya aku manusia bodoh
Yang biarkan semua ini, permainkanku berulangkali...

Ilustrasi: Girl Loves
Tambahkan Komentar

0 comments