RISMA menjadi
perbincangan aktual dalam beberapa hari terakhir. Lagi-lagi fenomenanya menyedot
perhatian. Ibarat magnet yang kuat menarik, bahkan objek-objek nonmagnetik. Berapa
pun rentang jaraknya, akan bergerak dan tertarik.
Bu
Risma, begitu sapaan akrabnya, sudah amat lekat di ingatan masyarakat Surabaya umumnya.
Mulai dari kalangan pejabat, stakeholder, hingga kaum pinggiran Ibukota
Jawa Timur dan sekitarnya. Para murid-muri SD juga amat mengakrabinya.
Dalam
tempo relatif singkat pula namanya melejit ke pentas nasional. Tentu jejak-jejak
kiprah yang telah ditorehkannya sampai akhirnya mengemban amanah L1, tidak bisa
dibilang sekejap. Dengan segala rintangan, tantangan, maupun sandungan yang
menyertai.
Tak
heran bila segelintir kalangan mengalihkan atensi padanya menjelang Pilgub DKI
Jakarta kini. Mereka ngebet memintanya sudi menyebur di dalamnya. Berbagai
rayuan gombal mereka lancarkan demi meluluhkan pendiriannya. Satu-satunya alibi,
mereka sudah ogah melirik Om Ahok untuk nyalon lagi.
Ia
tak girang mengamininya. Sejauh saya pernah nimbrung dalam forum yang
menghadirkannya, ia bukan orang yang langsung ngiler disodori
iming-iming macam itu. Baginya setiap jabatan berkonsekuensi komitmen, keseriusan,
serta tanggungjawab yang tak bisa disepelekan. Meski kompensasinya menggiurkan.
Karena
itu, dirinya berulangkali melontarkan penolakan. Ia tak pernah terpikir menjadi
Gubernur DKI Jakarta, baru terpilih kembali sebagai Walikota periode kedua, masih
banyak program yang kudu ia tuntaskan, dan pertimbangan-pertimbangan lain yang
mestinya bisa dihormati semua pihak.
Orang nomor wahid di Surabaya yang telah mengupayakan berbagai perubahan bareng masyarakat itu pun, sempat
mempertanyakan desakan padanya terkait Pilgub Jakarta, sebatas akal-akalan
pihak tertentu yang menghendaki dirinya urung melenggang ke ajang Pilgub Jatim
nanti. Mengingat ia memiliki kans besar untuk menjajalnya.
Namun,
segelintir kalangan yang menggadang-gadangnya bertarung dengan Om Ahok
juga pantang surut. Mereka terus pedekate pada beberapa elemen sosial
Kota Surabaya, yang sekiranya bisa membuat dirinya berubah pikiran. Sejumlah
media bahkan diam-diam ikut merayunya.
Mereka
tak ambil pusing, upaya terus menyorong Bu Risma sebagai cagub DKI Jakarta,
turut menimbulkan ekses yang tidak kondusif. Terutama kenyamanan masyarakat beraktivitas
terganggu kehebohannya belakangan. Bukan mustahil pelaksanaan berbagai agenda juga
tersendat. Ulah mereka pun terasa lucu.
Antara
lain, ketika sekelompok orang mengatasnamakan Jaklovers meminta Bu Risma sebagai
cagub DKI Jakarta belum lama ini. Seorang perempuan dari kelompok itu, entah
koordinatornya atau apalah, sewaktu diwawancarai awak televisi menyatakan
kurang lebih bahwa, mereka melakukannya untuk Indonesia lebih baik. Wuidih
demi kebaikan Indonesia?
Jakarta
memang berstatus Ibukota negara. Tempat jajaran pengendali urusan kenegaraan
berkantor. Eksistensinya juga barometer Indonesia secara global. Tapi, mendesak
Bu Risma terlebih ketika sedang dibutuhkan masyarakat Surabaya, untuk nyagub
berdalih demi Indonesia rasanya terlalu sumir.
Eits, jangan dilupakan DKI Jakarta masih
bersifat lokalitas bagian wilayah negara ini. Gubernurnya bukan sekaligus
Presiden NKRI dan keduanya memiliki tugas, kewenangan, serta tanggungjawab berbeda.
Justru mindset sentralistik demikian, sering menjadi awal fakta ketimpangan
pembangunan antara Jakarta dengan pelbagai daerah selama ini.
Geliat
segelintir politisi dan pegiat komunitas –dengan mengatasnamakan warga Ibukota–
mendorong Bu Risma hengkang dari Surabaya, pun serasa kurang menghargai
aspirasi masyarakat, guna menjaring cagub putra daerah sendiri. Di sisi lain,
seakan kota megapolitan itu mengalami krisis figur kepemimpinan daerahnya,
sekaligus cermin parpol-parpol gagal melangsungkan kaderisasi.
Lebih
membikin tersenyum lagi, ketika petinggi tujuh parpol membuat ”Koalisi
Kekeluargaan” terkini. Dengan menetapkan tujuh kriteria bagi cagub, antara lain
beretika, yang akan mereka dukung. Ketentuan yang hanya ”abang-abang lambe”
bahwa mereka ”talak tiga” dengan Om Ahok sebenarnya. Koalisi itu panggung
politik mereka sendiri belaka.
Pada
satu kesempatan liputan media televisi, di antara politisi koalisi itu secara
inplisit sempat menyebutkan, Om Ahok tidak memenuhi semisal kategori beretika.
Dikarenakan, sepak terjangnya sering ”tidak beretika” di muka umum. Kriteria
yang bias dalam menerjemahkan etika ataukah etiket? Sedangkan unsur integritas
tidak dicantumkan. Tapi, itulah politik, acap konyol dan menggelitik.
Yang
perlu dipahami bersama, sejatinya tidak ada pro-kontra di masyarakat
Surabaya berkenaan desakan pada Bu Risma untuk nyagub di DKI Jakarta sampai
hari ini. Suara arek-arek Suroboyo bulat membutuhkan dirinya, tetap menunaikan
tugas selaku Walikota sesuai masa jabatan yang telah ditentukan.
Aliansi
perempuan dan ibu-ibu Surabaya menyuarakan kehendak serupa, yakni Bu Risma tetap
di Surabaya dalam perkembangan mutakhir. Bahkan, murid-murid SD menangis nggandoli
dirinya sebab khawatir ditinggalkan. Kalau pun seolah ada suara arek-arek
Suroboyo yang menyepakati Bu Risma menjadi cagub DKI Jakarta, maka hal itu
patut dipertanyakan.
Sekurangnya
para sedulur meminta semua pihak agar menyerahkan pada Bu Risma untuk memutuskan
sepenuhnya. Jangan mendesak apalagi memaksanya terus-menerus! Bagaimana pun bermacam
desakan yang merebak, selain hanya ngeriwuki kerja Pemkot Surabaya berikut
rutinitas masyarakat, keputusan yang didasari keterpaksaan juga akan percuma.
Upaya
mempertahankan ”Ibunya” arek-arek Suroboyo itu bukan sikap primordial,
bukan pula hendak mendewi-dewikannya. Melainkan, semata demi sekalian warga Kota
Pahlawan menghirup semilir perubahan yang semakin melegakan bersamanya. Dan seluruh
masyarakat Surabaya tentu percaya, Ibu Megawati sangat memahami hal tersebut.
Ilustrasi: Tempo
0 comments