Zakat dan Tantangan Kemiskinan


Kemiskinan merupakan masalah kronik bangsa ini yang tak kunjung tuntas. Meski telah berganti-ganti pemerintahan, upaya mengurangi tingkat kemiskinan belum menunjukkan hasil yang signifikan.

Dari berbagai data yang sudah seringkali diungkap melalui media massa, alih-alih kemiskinan berkurang, justru jumlah masyarakat miskin di Indonesia cenderung meningkat. Apalagi dalam kondisi negara tengah terancam krisis ekonomi akibat penyelundupan, maka kelangkaan dan naiknya harga BBM seperti sekarang ikut memicu peningkatan angka kemiskinan.

Entah, apakah problem kemiskinan memang sedemikian rumitnya, sehingga berbagai langkah untuk mengatasinya seolah selalu menemui jalan buntu. Lebih memalukan lagi karena mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam, agama yang notabene sangat concern memerangi kemiskinan. 

MASALAH KEMISKINAN 

Jika dirunut dari perspektif ekonomi, kemiskinan di negara kita bisa disebabkan beragam faktor. Seorang pakar ekonomi Barat, Boyle, pernah mengemukakan analisis tentang hal itu dengan menggambarkan konfigurasi perekonomian Indonesia sebagai duo ekonomi. Yaitu, corak perekonomian yang ditandai pemusatan distribusi hasil ekonomi pada segelintir orang di satu pihak dan kelangkaan distribusi hasil ekonomi pada kebanyakan orang di pihak lain. Kesenjangan antara dua kelas ekonomi tersebut kemudian mengandaikan penyebab timbulnya kemiskinan, terutama ketidakberdayaan atas pemenuhan konsumsi yang dialami oleh kelas kedua.

Secara empiris fakta pembagian hasil ekonomi yang tidak merata antara kelompok kaya dan miskin tak terbantahkan. Umumnya golongan “the have” yang didukung dengan aneka fasilitas kekuasaan, akses jaringan informasi dan komunikasi, serta kepemilikan modal lebih banyak memiliki kesempatan untuk menyerap distribusi hasil ekonomi sebesar-besarnya. Sedangkan kelas the poorman dengan segala keterbatasannya kerapkali tidak dapat menikmati distribusi yang memadahi.

Alquran telah menyebutkan secara tegas bahwa dalam harta kekayaan orang yang hidup berkecukupan terdapat hak orang yang hidup berkekurangan. Ketidakmerataan distribusi hasil ekonomi di antara dua kelas ekonomi sebagaimana tercermin dalam istilah duo ekonomi pola perekonomian negara, berindikasi kuat terhadap merebaknya kemiskinan. Pertanyaannya, apa solusi yang bisa ditempuh untuk meminimalisasi masalah kemiskinan, khususnya bila mengacu pada pedoman Islam? 

ISLAM MEMERANGI KEMISKINAN 

Islam –sebagaimana agama lain– adalah agama yang luhur. Dikatakan demikian apabila Islam senantiasa mengobarkan spirit pembelaan terhadap golongan masyarakat lemah dan tertindas. Keluhuran Islam amat bergantung pada aktualisasi value pemerdekaan umat dari segala bentuk ketidakadilan, penindasan, dan masalah kemiskinan. Islam sangat tidak menghendaki kemiskinan global yang melingkupi sebagian besar umat. Dan karena itu, semua muslim mengemban amanah memerangi kemiskinan.

Dalam Alquran (107:1-3) ditegaskan, “Tahukah kamu siapa yang mendustakan agama? Merekalah yang mencampakkan anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” Pada bagian lain Alquran juga dengan tegas mengecam penumpukan harta kekayaan oleh segelintir orang. Dinyatakan, “Celakalah orang yang menyebarkan fitnah dan mengumpat, yang mengumpulkan kekayaannya dan menimbunnya, karena mengira kekayaannya akan mengekalkannya. Sama sekali tidak! Ia akan dilemparkan ke dalam Hutamah. Apakah Hutamah itu? Ialah api Allah yang dinyalakan, yang merasuk ke dalam hati, menutupi mereka seperti kubah dengan tiang-tiang menjulang” (Q.S. 104:1-4).

Pemaparan tamsil Alquran di atas meniscayakan integrasi keyakinan Islam melalui manifestasi perilaku mayoritas muslim, yakni perang terhadap kemiskinan. Bagaimana pun mengumbar kekafiran yang timbul akibat kemiskinan atau pun pemiskinan ekonomi, lebih berbahaya daripada memberi kebebasan orang-orang kafir (nonmuslim) dalam turut serta merajut harmoni hidup bersama yang berkeadilan sosial secara universal. 

BERZAKAT MENGENTAS KEMISKINAN 

Lantas bagaimana Islam berempati memperjuangkan upaya pengentasan kemiskinan? Untuk menjawab pertanyaan itu, sebenarnya Islam mempunyai instrumen yang kalau dijalankan dengan benar dan sejujurnya akan cukup efektif untuk mengangsur tingkat kemiskinan. Instrumen itu adalah zakat.

Sebagaimana telah diinformasikan dalam Alquran dan hadits, zakat merupakan kewajiban menyisihkan sebagian harta menurut takaran (nishab) dan limit waktu tertentu (haul) yang pemanfaatannya diperuntukkan bagi delapan kelompok kaum dhuafa (kalangan lemah ekonomi). Galibnya, zakat wajib dikeluarkan setahun sekali seiring dengan kewajiban berpuasa Ramadan seperti sekarang. Waktu pembayarannya dimulai selama bulan Ramadan hingga terbit fajar menjelang pelaksanaan shalat Idul Fitri.

Berbeda dengan amalan menafkahkan harta di jalan Allah seperti infaq, shadaqah, hibah, dan lainnya; zakat diatur dengan ketentuan khusus yang bisa menimbulkan konsekuensi tertentu bila diabaikan. Sekadar contoh, jika seseorang menunaikan zakatnya setelah shalat Id, maka amalan itu tidak dapat disebut sebagai zakat melainkan shadaqah atau istilah yang lain. Secara otomatis orang itu belum menggugurkan kewajiban berzakat. Konsekuensinya, puasa yang telah dilaksanakannya sebulan Ramadan terpaksa ditangguhkan.

Sayangnya, aturan zakat belum diterapkan sepenuhnya. Kebanyakan kalangan muslim memahami aturan berzakat secara konvensional, bersandar pada pengetahuan dari kebiasaan yang berlaku di suatu lingkungan sosial. Implikasinya, masyarakat baru sebatas menunaikan zakat fitrah dengan takaran kurang lebih dua setengah kilogram beras. Andaikan masyarakat mengeluarkan zakat maal, itu pun nilainya dikurs dengan harga beras untuk zakat fitrah.

Padahal aturan zakat cukup detail dan rada jelimet meliputi beragam jenis penghasilan dan harta kekayaan. Bentuknya pun sebenarnya tidak sekadar berupa zakat fitrah dan zakat maal, melainkan secara rinci pula mencakup zakat pertanian, peternakan, perdagangan, perhiasan, harta temuan (rikaz), kepemilikan badan usaha perorangan, zakat profesi dan sebagainya. Pelaksanaan jenis zakat itu juga tidak mesti menanti datangnya bulan puasa, tetapi harus dikeluarkan berdasarkan tahun buku (haul) operasionalisasi modal, pendapatan, dan kepemilikan sarana perekonomian.

Nah, dari sekian banyak pemilik perusahaan, pejabat dan kalangan profesi yang ada saat ini sudahkah melunasi tanggungan zakatnya sesuai dengan aturan yang fixed? Besar kemungkinan jika wajib zakat tersebut benar-benar telah memenuhinya berdasarkan koridor syar'i, kontribusinya dapat menekan tingkat kemiskinan secara perlahan. Perlu diingat, beban zakat itu tidak terhitung pajak yang dikenakan oleh negara atas semua sarana infrastruktur yang dinikmatinya. Karena itu, ke depan perlu diupayakan terobosan pengelolaan zakat yang lebih maslahah. Bukankah upaya demikian lebih diharapkan akan membebaskan fakir miskin dari belenggu kemiskinan? 

Dimuat di halaman "Opini & Tajuk" Harian Radar Surabaya, 27 Oktober 2005
Tambahkan Komentar

2 comments