DARI berbagai informasi yang berkembang, kecanduan cukup
merepotkan. Baik terkait sesuatu yang mulanya sepele maupun sejak awal jelas gaswat.
Apalagi, barang terlarang semisal narkoba, sampai pemerintah gencar menyatakan
perang untuk memberantasnya kini. Jika masih ingat lagu Oplosan yang
pernah populer dulu, minuman keras saja disebut ”banyu setan” (air setan) hehehe...
Orang yang mengalaminya akan terbelenggu dengan kondisi ini. Biasanya perhatian
cenderung selalu lebih terpusat pada objek atau jenisnya. Lalu, mudah gagal
fokus memikirkan hal lain. Selain itu, jika tergolong kelas berat, gampang lepas
kendali lantas berbuat nekad, hingga menabrak kaidah demi menurutinya.
Siapapun dapat terjerembab dalam kecanduan. Bahkan, sering ndak
disadari sendiri. Saat kesenangan tertentu selalu dimanjakan, untuk kemudian
menjadi kebiasaan yang susah dilewatkan, meski hanya beberapa waktu sekalipun.
Dan candunya bermacam wujud, ndak melulu barang melainkan juga lelaku yang
digandrungi bingit.
Nah, kecanduan yang ndak jauh berbeda, kerap mengemuka terutama
di media sosial. Pada setiap musim pemilihan calon penguasa selama ini. Termasuk
saat menyambut pilkada serentak tahap kedua sekarang. Yakni, celoteh dengan
luapan emosional para suporter masing-masing kandidat. Di antara mereka juga sering ndak
jelas di pihak mana; alias cuma pupuk bawang menghujat, nyinyir dan
sebagainya.
Mereka seakan ndak menyadari sedang kecanduan ikut mencitrakan figur
yang hendak maju berebut tampuk kekuasaan. Acapkali pencitraan negatif terhadap
calon pesaing. Ketika menjelang Pilgub DKI Jakarta misalnya, ruang media sosial
mulai dibanjiri cemoohan dan semacamnya terkini. Bahkan, jauh-jauh hari ketika Om
Ahok masih bakal calon (balon) independen.
Celakanya, lagi-lagi agama serasa candu yang dihisap-kebulkan kawanan
penggembira. Kecenderungannya untuk melecehkan pribadi sasaran. Tengok saja ungkapan
yang ndak jarang bernada pelecehan, entah dalam kata-kata maupun foto
meme terhadap inkamben Gubernur DKI Jakarata yang memang berlainan keyakinan
itu. Agama pun diplintir-plintir ndak karuan.
Tentu saya ndak berurusan dengan para kontestan Pilgub Ibukota
nanti, juga ndak berkepentingan dalam bagian gelarannya. Hanya saja,
mencermati sekilas kecanduan saling mengumbar ungkapan ndak suka
berlebihan demikian, betapa menggelikan sekaligus memprihatinkan.
Para sedulur tampaknya ndak terpikir apa yang akan
terdulang, dengan terus menenggelamkan diri untuk sekadar pelampiasan macam
itu. Misalnya, akankah benar-benar impas energi dan waktu yang terkuras,
dibandingkan hasilnya yang bukan mustahil justru menyisakan luka bagi
kebanyakan sesama yang lain? Jika memang berasa puas, lalu apa selanjutnya? Hayooo...
Belum lagi, mengapa masih selalu membawa-bawa agama? Ketika sejauh ini ndak
sedikit kalangan yang gencar hendak menempatkan agama di atas segalanya, bahkan
kerap dengan paksaan dan kekerasan. Tapi, pada saat bersamaan juga demen menggunakannya
sebagai alat untuk kesenangan sesaat. Kesannya pula seolah kecanduan macam itu
kehabisan akal ”kreatif” tanpa harus mencomot agama. Oalaaah...
Jika tiada henti membiasakannya dengan ndak melibatkan agama saja
bisa repot. Maybe, semula dianggap remeh, tapi seiring waktu tanpa
disadari akan mengendapkan kebencian. Bukan ndak mungkin juga lantas terbentuk
sikap antipati, pada apapun yang berbeda dengan kemauan sendiri akhirnya.
Karena itu, kudu lebih sering adanya pengalihan, alias jangan sampai kurang
piknik yo.
Alangkah mendamaikan, bila memang tersisa pemikiran yang nyelempit
tentang calon penguasa tertentu –bukan
hanya Om Ahok– yang mungkin kurang memenuhi selera, hendaknya diutarakan lewat cara-cara yang
lebih maknyus. Sebab, dengan melampiaskan hujatan dan semacamnya, terlebih memakai
agama layaknya candu, kiranya bukan cermin kritik yang membangun dan tegas
sekalipun.
Ilustrasi: Go Home on Time Day