Enaknya Sebagai Penulis, Repotnya Menjadi Pembaca?


HIDUP adalah pilihan. Demikian ungkapan yang biasa mengemuka dalam banyak kesempatan. Setiap orang pernah dan akan berpapasan dengan pilihan-pilihan tertentu, ada kalanya pula terasa dilematis sepanjang menjalani kehidupan.

Berbicara tentang pilihan, saya tengah digelayuti rasa ingin tahu sepekan ini. Jika ditanya antara menjadi penulis atau pembaca, kira-kira apa pilihan orang-orang juga sampean? Penulis ataukah pembaca yo? Setelah menyimak obrolan di media sosial beberapa waktu sebelumnya, mengenai kacamata pembaca dan penulis atas karya penulis terkait, pertanyaan itu sering bergeliat di kepala.

Saya berharap orang-orang begitu pula sampean, mengambil hanya salah satu dari pilihan itu. Meskipun biasanya keputusan yang dianggap paling aman dan enak, yaitu memilih dua-duanya sekaligus. Faktanya, dengan memilih keduanya, justru bakal kian rumit merealisasikannya. Sekurangnya pasti keteteran dalam pelaksanaannya, lebih-lebih bila kudu secara bersamaan. Melakukan seperti pepatah ”menyelam sambil minum air” pun, bisa membikin tersedak bahkan megap-megap hehehe...

Opsi menjadi pembaca dirasa paling enak, pada kondisi normal yang ditandai ketersediaan sarana dan prasarana yang memadahi bagi kebanyakan orang. Sampean juga tinggal membeli aneka bacaan kesukaan di toko buku, atau meminjam dari perpustakaan, lalu melahapnya sambil bersantai ria. Ditemani secangkir wedang kopi hot kala senja di beranda rumah, taman, atau tempat mengasyikkan lainnya.

Di pihak lain, menjadi penulis rasanya paling enak. Terlepas dari segala upaya yang ndak jarang mengharu-biru, hingga berdarah-darah sekadar demi menoreh beragam tulisan (apik), untuk kemudian didaulat atau menyematkan sendiri predikat sebagai penulis. Sampean pun tinggal menuangkan gagasan dalam tulisan, bertopik apa saja lantas menyodorkannya ke hadapan publik. Beres.

Ketika seseorang menulis atau menyandang sebutan penulis, ia mendapat ”prestise” antara lain hak cipta, prospek seperti royalti dan sebagainya. Lebih dari itu, dirinya bisa menjadi layaknya ”Tuhan” yang menentukan nasib siapa pun, taruhlah dalam karya fiksi bikinannya. Dengan membuat tokoh di dalamnya bernasib malang atau mujur, bahkan membunuhnya seiring alur roman yang sedemikian dramatik, hingga mengaduk-aduk emosi pembaca.

Tapi, dari pembicaraan di medsos yang saya ikuti, membersit keharusan untuk pembaca. Kesannya pembaca dituntut harus mengerti secara presisi, kehendak penulis yang tersembunyi di balik karyanya. Penafsiran masing-masing orang yang bukan mustahil berlainan, terhadap muatan torehan penulis terkesan ditolak mentah-mentah.

Pada konteks itu, terutama menyangkut tulisan yang terasa misterius isi atau seringkali bagian akhirnya, jelas sampean akan berpikir ulang memilih sebagai penulis atau menjadi pembaca? Sebab, ketika penulis mengharuskan hasil pembacaan yang identik dengan kemauannya dari audiens, keleluasaan pembaca sertamerta tercerabut. Bila ternyata pembaca meresapi kandungan tulisan, kontras dengan keinginan penulisnya; akan dituding keliru memahami, kurang wawasan dan seterusnya.

Novelis yang juga artis beken republik ini, mbakyu Dewi ”Dee” Lestari, berbagi pengalaman sip-markosip yang berbeda, tentang masalah tersebut dalam tulisan di situs pribadinya. Inisiasi yang selalu ia lakukan sebelum melepas novelnya kepada penerbit, yaitu dengan meminta para sahabatnya untuk menikmatinya lebih dulu. Itu guna menjajaki seberapa jauh pesan yang ia sisipkan di dalamnya, bisa nyambung dengan pemahaman segenap pembaca.

Urusan teman-temannya selaku pembaca suka atau ndak pada curahan imajinasinya, ndak jadi masalah bagi penulis novel seksi berjudul Supernova berikut sekuelnya tersebut. Pada titik ini, dirinya bisa dibilang lebih proaktif menyadari keberadaan pembaca dengan segala haknya dalam mengapresiasi, yang sejatinya merupakan bandul keseimbangan atas ”hak eksklusif” penulis.

Ia bukan lantas menuntut (calon) pembaca kuasa menangkap pesan dalam bukunya sama plek dengan keinginannya. Bisa jadi baginya, saat tulisan dipublikasikan memang sepatutnya kemudian menyilahkan pembaca, memberikan apresiasi secara leluasa. Nah, apa pilihan enak dan ndak repot yang akan sampean ambil sekarang, menjadi penulis atau sebagai pembaca? Hayooo...

Tambahkan Komentar

0 comments