Kesabaran Bagai Samudera Lepas?


CERITA demi cerita dunia wong cilik tergelar silih berganti. Gelarannya menyelipkan sesuatu yang amat sayang terlewatkan. 

Untaiannya yang kerap terjumpai selama menikmati rutinitas sekurangnya dari September tahun kemarin, menggugah hasrat untuk meresapi pesan kesabaran yang turut membersit. Layaknya perempuan yang sedang hamil muda perdana, ingin banget rasanya mengecap sensasinya lebih dalam lagi dengan segenap rasa.

Tapi sampean jangan bertanya, apa saya memang pernah bunting sehingga bisa tahu perubahan selera kaum hawa ketika mengalaminya? Karena jawabannya sudah pasti, NDAK PERNAH! Itu hanya sepenggal pengalaman menurut ”curcol” (curhat colongan) para calon ibu hehehe...

Walau ”sabar” hanyalah satu dari milyaran kata yang sering menyeruak dalam keseharian di mana-mana. Sampean tentu juga sempat mendengar, membaca, merenungi atau mengucapkannya hampir tiap saat. Bukan mustahil pula kelaziman macam itu akan berulang hari ini maupun esok nanti.

Endapan taste kesabaran yang ikut membias dari rangkuman kisah dalam enam bulan terakhir itu, serasa lebih dari sekadar pesona hamparan pantai yang telah sangat dihafal masyarakat umum, tapi masih selalu membangkitkan keinginan banyak orang untuk plesir. Semburatnya juga lebih menggiurkan ketimbang malam akhir pekan yang ndak jarang begitu begitu saja, namun masih terus menyemai angan utamanya para muda-mudi yang sedang kasmaran.

Jangan heran bila kemudian saya kian bergairah untuk coba menyesapnya. Apalagi, setiap kali terkenang cuplikan drama mengharu-biru para sedulur yang berupaya mati-matian demi ndak mati beneran alias sanggup bertahan hidup. Klimaksnya, tepat ketika saya tengah mencari-beli panganan lalu terjebak hujan gede belum lama ini.

Malam itu, sebelumnya perut riuh membunyikan sirine lapar. Awalnya saya mengabaikannya lantaran angkasa memerah dengan suara geluduk sesekali terdengar membelah ketenangan di luar rumah. Namun karena bunyi kemerucuk­-nya kian lama bertambah gaduh, akhirnya saya terpaksa melambaikan sapu tangan putih lantas bergegas pergi menemui penjual makanan.

Setiba di tempat makan orang-orang pinggiran, ketika suapan awal nasi goreng baru saja mendarat di mulut, hujan langsung byur dari langit. Disusul petir dan suara guntur yang menggelegar. Untung kedai itu beratap cukup memadahi di area halaman pertokoan. Meski gelegar halilintar membikin bergidik serta baju terpercik butiran hujan yang dihembus angin kencang. Dalam sekejap jalanan ikut tergenang air setinggi betis orang dewasa.

Pemilik warung sendiri beserta para rewang-nya mendadak panik memindahkan barang-barang agar ndak basah terciprat kucuran air dari atap yang berlubang. Pembeli yang sudah menghabiskan makanannya juga bergeser ke meja lain. Saya tetap di tempat semula, alhamdulillah meja yang saya pilih ndak terlalu parah diterpa cipratan hujan, meski pinggirnya tampak perlahan berembun hehehe...

Beberapa menit kemudian sepiring nasi goreng telah berpindah ke dalam perut. Suaranya yang tadi kemerucuk ribut telah bungkam. Alhamdulillah. Tanpa menunggu lama, saya lantas membayar. Dan setelah itu saya berteduh di beranda salah satu ruko, menunggu hujan reda untuk pulang.

Hujan masih deras mengguyur. Kendaraan-kendaraan bergerak lambat dengan suara berderu ketika menembus genangan air. Satu angkot tanpa penumpang tampak susah payah menerabasnya. Belum jauh berlalu, lajunya terhenti. Mogok. Pengemudinya terlihat berusaha menghidupkan lagi mesinnya. Kendaraan lain yang menyusul di belakangnya langsung membunyikan klakson berkali-kali.

Ah, mengapa pengendara mobil itu ndak bisa sedikit bersabar? Toh sopir angkot ndak sengaja berhenti di tengah jalan. Namun bagaimana jika ia gusar lalu memencet bel sampai bising demikian karena urusan yang mahapenting yo? Jangan-jangan lantaran ia mendapat kabar piaraan kesayangannya mengalami kecelakaan, lehernya terjerat kawat hingga sekarat dan ia harus cepat-cepat sampai rumahnya? Pengemudi kendaraan roda empat yang berisik itu pun akhirnya menyalip angkot.

Kuping yang pengeng terasa lega. Tapi hanya sesaat karena sekonyong-konyong terdengar suara deru motor akan mendahului angkot mogok itu. Genangan air menjadi tersibak dan memuncrat jauh ke sisi kanan-kiri jalan. Dari arah berlawanan, gadis sesama pemakai motor berteriak keras mungkin kaget tersiram muncratan air.

Spontan langkah berayun hendak sekadar membantu-dorong angkutan umum yang apes itu. Baru sejengkal melangkah, eh mesinnya normal kembali lalu angkot tersebut bergerak menjauh. Pada saat bersamaan, penjual sate lewat menarik gerobak dagangannya sambil meliuk-liuk di tengah genangan air. Barangkali supaya ia atau gerobaknya ndak terperosok ke lubang pinggir jalan yang tertutup banjir.

Tatapan saya lantas beralih lagi ke warung tadi. Orang-orang masih tampak mematung di tempat yang relatif kering. Hanya pelayan sesekali terlihat melayani order pembeli yang datang, tapi ndak menyantap antarannya di tempat itu. Seperti dua mobil yang mencungul kemudian pergi bergantian sesudah pengemudinya menerima bungkus pesanan beberapa saat lalu. Maklum, sebenarnya kedai itu baru saja buka.

Nadi kepala berdenyut saat coba mencerap pesan kesabaran dari sekelumit peristiwa malam itu. Rangkaian pertanyaan berjelaga dalam pikiran. Bagaimana gejolak perasaan sopir angkot, pemilik warung emperan, penjual sate keliling dan lainnya tersebut yo? Sementara, bukan mustahil serentengan tuntutan menanti untuk dipenuhi, seiring para anggota keluarga mereka yang berharap-harap menunggu kedatangan mereka sepulang mengais nafkah.

Itu pun hanya serangkum momen dengan rentang durasi yang singkat. Lantas bagaimana dengan cerita kawula alit lainnya yang jauh lebih ruwet dalam putaran waktu yang jauh lebih panjang menjenuhkan yo? Termasuk orang-orang sekitar kita yang dicekam kesulitan seolah tiada berkesudahan dan sering luput dari perhatian. Atau kita sendiri yang sedang berjumpalitan menyambung hidup tanpa sepengetahuan orang-orang terdekat?

Demikiankah gambarannya sebagaimana wejangan Eyang Kakung Mahatma Gandhi, bahwa sabar berarti siap menderita di awal? Serupa halnya dengan dawuh Bapak Umar bin Khattab tentang kesabaran sebagai rezeki yang ia temukan lebih baik dari segala bentuk rezeki?

Atau kiranya ndak berlebihan jika kemudian melukiskannya bagaikan samudera lepas yo? Tenang di permukaan, namun bisa jadi sedemikian bergemuruh di dasarnya. Belum lagi, kedalamannya menghimpun beragam denyut. Kadang denyutnya terasa menghanyutkan, kadang pula seketika berkecamuk hingga menyesakkan dada.

Seperti lautan, seberapa dalam kesabaran (seseorang) ndak bisa dijajaki secara pasti. Walau pepatah menyatakan ”dalamnya laut bisa diduga, dalamnya hati siapa tahu” yang sudah menjadi rahasia umum. Justru lantaran kesabaran juga berpalung di hati, sehingga ndak mudah diselami apalagi hanya mengandalkan olah penglihatan, asumsi, maupun persepsi.

Laksana samudera luas yang seakan tanpa batas, kesabaran pun ndak gampang ditebak batasnya. Kebanyakan sedulur bahkan cenderung menggambarkan bahwa sabar tiada berbatas. Padahal, alamiah banget jika ombak lautan menghentak akibat hempasan angin dahsyat. Seperti itu pula riak-riak kesabaran, wajar dan manusiawi banget kalau berombak kala badai kehidupan bertubi-tubi menghempas.

Karena itu, sejatinya kesabaran ada batasnya, tatkala arusnya berujung pada tepian kemanusiaan. Bagaimana pun hanya Tuhanlah yang Mahasabar dengan Kesabaran yang tanpa batas serta tiada bandingnya. Terpenting, pasang surut ombak kesabaran selaku manusia biasa, ndak sampai mengaramkan diri sendiri lebih-lebih biduk kehidupan sesama.

Yang ndak kalah penting, jangan keblinger menguji kesabaran orang lain. Selain perkara itu sebenarnya hanya menjadi Hak Prerogatif Tuhan, mengarunginya ibaratkan menyelam dalam lautan yang kadang sarat dengan tekanan arus mematikan. Lagi pula bukankah demen mengetes kesabaran sesama justru menandakan pribadi kita ndak sabar?

Hujan telah reda. Langit pelan-pelan mencerah sedia kala. Meski rembulan dan gemintang belum menampakkan diri menggenapi keindahan malam itu. Saya pun sudah waktunya untuk pulang ke rumah. Monggo lanjutkan di sudut ruang perenungan masing-masing sambil nyeruput wedang kopi hot atau teh hangat hehehe...
Tambahkan Komentar

0 comments