Rapor Media Sosial Jajaran MUI


ZAMAN digital membuka kesempatan bagi masyarakat bersentuhan dengan media sosial secara leluasa. Bisa dibilang kehidupan banyak orang telah begitu lekat dengan aplikasi internet yang sangat digemari itu. Jumlah penggunanya juga cenderung terus meningkat seiring keluarannya yang semakin bermacam pilihan.

Hasil riset perusahaan We Are Social pada awal 2017 ini misalnya, menyebutkan pengguna aktif medsos di Indonesia telah menembus angka 106 juta. Di antaranya dengan memakai perangkat mobile sebesar 92 juta orang. Sedangkan tahun 2016 kemarin jumlahnya masih berkisar 79 juta, antara lain melalui peranti mobile tercatat 66 juta orang.

Jika melongok geliat keseharian di sekeliling, memang hampir setiap orang menggunakannya di sela-sela kesibukan. Para sedulur juga memakainya sebagai penopang melakoni profesi masing-masing di berbagai tempat. Rasanya sampean pun sudah terbiasa menjumpai ’wajah-wajah bercahaya’ dalam kegelapan tengah malam tho?

Beragam motivasi yang mendasari penggunaannya. Entah sekadar untuk sarana aktualisasi diri, bertukar informasi, hiburan, atau urusan penting mengenai hajat hidup khalayak luas. Misalnya, sosialisasi program kerja Pemerintah untuk diketahui rakyat. Selain pemanfaatannya juga sebagai media dakwah. Tak dipungkiri eksistensi medsos memberi sederet manfaat.

Namun, sepanjang kurun waktu terakhir medsos lebih sering mendedahkan sisi negatifnya. Sebaran postingan abal-abal, ujaran kebencian berbau SARA dan hasutan bernada amarah sedemikian mewabah di bilik-bilik jagat maya. Baik melalui kedok laman-laman yang dipoles seolah portal media online, maupun lewat bejibun akun anonim jejaring sosial.

Ditambah terungkapnya kasus Saracen, diduga sindikat penyedia dan penyebar konten macam itu. Akibatnya, ruang-ruang medsos sering berisik saat muncul berita atau peristiwa kontroversial. Terutama jika berkaitan dengan politik dan pemerintahan, bahkan tak jarang hanya gara-gara objek yang tergolong remeh. Kegaduhannya sesekali merembes ke dunia nyata.

Terlepas dari indikasi Saracen terafiliasi dengan golongan kepentingan tertentu, fakta demikian jelas problem serius yang perlu ditangani demi menjaga harmoni sosial hingga keutuhan bangsa. Praktik sejenis tidak sertamerta bisa dibenarkan, berdalih kebebasan berekspresi wujud demokrasi. Pasalnya, demokrasi juga senantiasa berkelindan dengan timbangan supremasi hukum.

Pada titik ini, bisa dimafhumi bila MUI sampai perlu menerbitkan Fatwa Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial baru-baru ini. Penerbitannya seakan menegaskan bahwa penggunaan medsos berlebihan, jika tidak boleh menyebut kebablasan. Dan fatwa itu sekurangnya panduan (normatif) bermedia sosial utamanya bagi kalangan muslim ke depan.

Fatwa tersebut akan lebih tokcer bila menjadi rujukan pertimbangan selain kaidah hukum formal, bukan hanya untuk publik namun juga bagi kalangan internal MUI sendiri. Para tokoh di dalamnya memang hendaknya meneladankan lelaku etik pemakaian medsos lebih dulu. Kala sejumlah pemangku strukturalnya aktif bermedia sosial selama ini.

Apakah selama pengurus MUI berbagi postingan di medsos, kesannya memang berbeda dari netizen kebanyakan? Misalnya, lebih mencerminkan kematangan sikap dalam memaknai serta merealisasi kebebasan berekspresi. Selain itu, pesan muatannya bercirikan pembelajaran khazanah ilmu dan pemahaman (agama) yang semakin mengademkan di tengah dinamika kekinian.

Lebih jauh, peran MUI sejatinya mencarikan jalan tengah, dengan pencerahan yang turut meredakan polemik termasuk di medsos dan bukan sebaliknya. Nah, apakah pengurusnya yang aktif bermedia sosial benar-benar tidak terjebak, apalagi larut terseret polarisasi yang berkembang? Sudahkah konten-konten cetusannya senafas dengan spirit Fatwa yang diterbitkan itu sendiri?

Kalau mengunyah bagian Fatwa yang secara umum tampaknya bertolak dari perspektif Islam tersebut, ada beberapa poin yang semakin menegaskan bahwa jajaran MUI terikat nilai di dalamnya. Yakni, ketentuan haram untuk konten medsos antara lain ghibah, namimah, aib dan hal-hal sejenis yang terpaut pribadi.


Ini tentu bukan dimaksudkan untuk pembatasan terhadap hak berpendapat dan sebagainya. Melainkan, sebatas konsekuensi logis dari predikat ke-MUI-an yang melekat pada setiap anggotanya. Bagaimanapun pegiatnya adalah figur publik layaknya pejabat publik, yang tak dapat berdalih atas nama pribadi maupun kebebasan belaka. Lagi pula, bukankah tidak elok jika bermacam postingan medsos para tokohnya tiada beda dengan narasi akun masyarakat awam tho?

Serangkaian pertanyaan dan harapan demikian, berujung pada satu pertanyaan: beranikah MUI sekalian menggagas rapor medsos untuk jajarannya ketika telah mengeluarkan Fatwa terkait? Dalam hal ini, MUI selain mulanya harus lebih menggiatkan kontrol internal yang sejatinya niscaya pada setiap organisasi formal, juga perlu membuka saluran untuk menampung aspirasi publik sebagai bahan masukan untuk penelisikan.

Masyarakat luas pun tidak muluk-muluk dengan mengharuskan publikasinya, melainkan cukup merasakan perubahan nyata atas perilaku bermedia sosial oknum struktural MUI yang dianggap tidak sebagaimana mestinya. Rapor medsos ini lebih memungkinkan ketimbang menyerahkan sepenuhnya pada subjektivitas respon netizen, lantaran bukan mustahil bisa memicu generalisasi negatif terhadap seluruh elemen MUI bahkan marwah kelembagaan.

Ilustrasi: Twitter Kemkominfo
Lanjutkan baca...

Kelucuan Desakan pada Bu Risma Nyagub di Jakarta



RISMA menjadi perbincangan aktual dalam beberapa hari terakhir. Lagi-lagi fenomenanya menyedot perhatian. Ibarat magnet yang kuat menarik, bahkan objek-objek nonmagnetik. Berapa pun rentang jaraknya, akan bergerak dan tertarik.

Bu Risma, begitu sapaan akrabnya, sudah amat lekat di ingatan masyarakat Surabaya umumnya. Mulai dari kalangan pejabat, stakeholder, hingga kaum pinggiran Ibukota Jawa Timur dan sekitarnya. Para murid-muri SD juga amat mengakrabinya.

Dalam tempo relatif singkat pula namanya melejit ke pentas nasional. Tentu jejak-jejak kiprah yang telah ditorehkannya sampai akhirnya mengemban amanah L1, tidak bisa dibilang sekejap. Dengan segala rintangan, tantangan, maupun sandungan yang menyertai.


Tak heran bila segelintir kalangan mengalihkan atensi padanya menjelang Pilgub DKI Jakarta kini. Mereka ngebet memintanya sudi menyebur di dalamnya. Berbagai rayuan gombal mereka lancarkan demi meluluhkan pendiriannya. Satu-satunya alibi, mereka sudah ogah melirik Om Ahok untuk nyalon lagi.

Ia tak girang mengamininya. Sejauh saya pernah nimbrung dalam forum yang menghadirkannya, ia bukan orang yang langsung ngiler disodori iming-iming macam itu. Baginya setiap jabatan berkonsekuensi komitmen, keseriusan, serta tanggungjawab yang tak bisa disepelekan. Meski kompensasinya menggiurkan.

Karena itu, dirinya berulangkali melontarkan penolakan. Ia tak pernah terpikir menjadi Gubernur DKI Jakarta, baru terpilih kembali sebagai Walikota periode kedua, masih banyak program yang kudu ia tuntaskan, dan pertimbangan-pertimbangan lain yang mestinya bisa dihormati semua pihak.

Orang nomor wahid di Surabaya yang telah mengupayakan berbagai perubahan bareng masyarakat itu pun, sempat mempertanyakan desakan padanya terkait Pilgub Jakarta, sebatas akal-akalan pihak tertentu yang menghendaki dirinya urung melenggang ke ajang Pilgub Jatim nanti. Mengingat ia memiliki kans besar untuk menjajalnya.

Namun, segelintir kalangan yang menggadang-gadangnya bertarung dengan Om Ahok juga pantang surut. Mereka terus pedekate pada beberapa elemen sosial Kota Surabaya, yang sekiranya bisa membuat dirinya berubah pikiran. Sejumlah media bahkan diam-diam ikut merayunya.

Mereka tak ambil pusing, upaya terus menyorong Bu Risma sebagai cagub DKI Jakarta, turut menimbulkan ekses yang tidak kondusif. Terutama kenyamanan masyarakat beraktivitas terganggu kehebohannya belakangan. Bukan mustahil pelaksanaan berbagai agenda juga tersendat. Ulah mereka pun terasa lucu.

Antara lain, ketika sekelompok orang mengatasnamakan Jaklovers meminta Bu Risma sebagai cagub DKI Jakarta belum lama ini. Seorang perempuan dari kelompok itu, entah koordinatornya atau apalah, sewaktu diwawancarai awak televisi menyatakan kurang lebih bahwa, mereka melakukannya untuk Indonesia lebih baik. Wuidih demi kebaikan Indonesia?

Jakarta memang berstatus Ibukota negara. Tempat jajaran pengendali urusan kenegaraan berkantor. Eksistensinya juga barometer Indonesia secara global. Tapi, mendesak Bu Risma terlebih ketika sedang dibutuhkan masyarakat Surabaya, untuk nyagub berdalih demi Indonesia rasanya terlalu sumir.

Eits, jangan dilupakan DKI Jakarta masih bersifat lokalitas bagian wilayah negara ini. Gubernurnya bukan sekaligus Presiden NKRI dan keduanya memiliki tugas, kewenangan, serta tanggungjawab berbeda. Justru mindset sentralistik demikian, sering menjadi awal fakta ketimpangan pembangunan antara Jakarta dengan pelbagai daerah selama ini.

Geliat segelintir politisi dan pegiat komunitas –dengan mengatasnamakan warga Ibukota– mendorong Bu Risma hengkang dari Surabaya, pun serasa kurang menghargai aspirasi masyarakat, guna menjaring cagub putra daerah sendiri. Di sisi lain, seakan kota megapolitan itu mengalami krisis figur kepemimpinan daerahnya, sekaligus cermin parpol-parpol gagal melangsungkan kaderisasi.

Lebih membikin tersenyum lagi, ketika petinggi tujuh parpol membuat ”Koalisi Kekeluargaan” terkini. Dengan menetapkan tujuh kriteria bagi cagub, antara lain beretika, yang akan mereka dukung. Ketentuan yang hanya ”abang-abang lambe” bahwa mereka ”talak tiga” dengan Om Ahok sebenarnya. Koalisi itu panggung politik mereka sendiri belaka.

Pada satu kesempatan liputan media televisi, di antara politisi koalisi itu secara inplisit sempat menyebutkan, Om Ahok tidak memenuhi semisal kategori beretika. Dikarenakan, sepak terjangnya sering ”tidak beretika” di muka umum. Kriteria yang bias dalam menerjemahkan etika ataukah etiket? Sedangkan unsur integritas tidak dicantumkan. Tapi, itulah politik, acap konyol dan menggelitik.

Yang perlu dipahami bersama, sejatinya tidak ada pro-kontra di masyarakat Surabaya berkenaan desakan pada Bu Risma untuk nyagub di DKI Jakarta sampai hari ini. Suara arek-arek Suroboyo bulat membutuhkan dirinya, tetap menunaikan tugas selaku Walikota sesuai masa jabatan yang telah ditentukan.

Aliansi perempuan dan ibu-ibu Surabaya menyuarakan kehendak serupa, yakni Bu Risma tetap di Surabaya dalam perkembangan mutakhir. Bahkan, murid-murid SD menangis nggandoli dirinya sebab khawatir ditinggalkan. Kalau pun seolah ada suara arek-arek Suroboyo yang menyepakati Bu Risma menjadi cagub DKI Jakarta, maka hal itu patut dipertanyakan.

Sekurangnya para sedulur meminta semua pihak agar menyerahkan pada Bu Risma untuk memutuskan sepenuhnya. Jangan mendesak apalagi memaksanya terus-menerus! Bagaimana pun bermacam desakan yang merebak, selain hanya ngeriwuki kerja Pemkot Surabaya berikut rutinitas masyarakat, keputusan yang didasari keterpaksaan juga akan percuma.

Upaya mempertahankan ”Ibunya” arek-arek Suroboyo itu bukan sikap primordial, bukan pula hendak mendewi-dewikannya. Melainkan, semata demi sekalian warga Kota Pahlawan menghirup semilir perubahan yang semakin melegakan bersamanya. Dan seluruh masyarakat Surabaya tentu percaya, Ibu Megawati sangat memahami hal tersebut.

Ilustrasi: Tempo
Lanjutkan baca...

Gaswat Syaikh Google Menghapus Peta Palestina?



SELASA malam kemarin, tayangan satu stasiun televisi swasta menampilkan running text rencana Kemenlu tentang peta Palestina yang hilang. Dalam perkembangan selanjutnya, media-media online merilis berita soal tampilan geografis negara Yasser Arafat yang diduga raib tersebut. Masalah itu pun gaduh dalam obrolan banyak kalangan, termasuk para netizen kemudian.

Fitur aplikasi Google Maps ndak mencantumkannya. Jika pengguna melakukan pencarian hanya akan mendapati penampakan kosong. Google menyampaikan bantahan atas tuduhan kesengajaan peniadaannya dan menegaskan ndak pernah ada ”Palestine” dalam pemetaan digital aplikasinya tersebut. Gaswat!

Hanya saja, pihak Google mengakui adanya kekeliruan. Terdeteksi label untuk Tepi Barat dan Gaza pada Google Maps memang hilang. Perusahaan raksasa itu menyatakan sedang berusaha memperbaikinya, sehingga bisa mengembalikan secepat mungkin ke tempatnya semula.


Lepas dari hal itu, adakah sesuatu di balik kegaduhan ini? Kala serentengan isu silih berganti menghentak di dalam negeri belakangan? Sensasinya langsung mengingatkan kampanye mantan Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, tentang kampanye penghapusan Israel dari peta dunia yang menghebohkan sekitar tahun 2010 silam.

Walau kemudian aliansi jurnalis Palestina (PJF) turut memprotesnya. Namun, isu raibnya peta Palestina kali ini rentan dimanfaatkan sumbu kompor mbleduk berlabel agama. Dengan begitu akan merebak pula keresahan yang bukan mustahil potensial menimbulkan perselisihan sosial.

Problematika seputar langgam Palestina memang laik mendapat perhatian dunia. Lantaran bukan sebatas ”konflik agama”, melainkan tragedi kemanusiaan yang masih saja terulang di sana. Ketika pelbagai kalangan dari sekalian penganut keyakinan yang berlainan di belahan dunia, juga menentangnya dengan keras. Itu bisa dirunut antara lain dari buku Hebron Journal catatan mutakhir aktivis perdamaian asal Amerika selama observasi secara langsung.

Terbayangkan betapa kecewanya para sedulur yang kadung sering menenggak ”pencerahan” agama secara bongkokan dari Google selama ini. Jangan heran, bila mereka yang telanjur begitu mempercayainya tak ubahnya ”syaikh” sebagai satu-satunya sumber mengunduh informasi keagamaan, juga geram kala menghadapi kenyataan Palestina suwung di Google Maps.

Dari sini, saya teringat saat adik mengirimkan capture, hasil telusur satelit Google Maps yang memotret dengan jelas ujung lorong jalan menuju rumah, lengkap dengan plakat nama lembaga pendidikan dan suasana rumah orangtua ayah pada tempat terpisah di kampung halaman. Tapi, ketika saya memintanya untuk mengaptur lebih dekat gedung sekolah-sekolah itu, ndak bisa sebab rupanya Google Maps hanya menjangkau objek yang terletak di pinggir jalan.

Apa yang saya pernah alami itu, mungkin relevan untuk memahami keterangan dari Kemenlu agar hilangnya peta Palestina jangan terlalu dipersoalkan. Toh data grafis Google Maps yang ndak memuat Palestina bukanlah peta resmi. Sementara, peta resminya bisa dilihat di PBB, meski negara itu belum menjadi anggota penuh di dalamnya.

Entah apakah penjelasan demikian bisa dimafhumi sehingga kegaduhan urung berkepanjangan. Apalagi, belum lama ini disusul dengan mencuatnya berita yang ndak kalah menghebohkan, tentang meninggalnya Manajer Akun Google, Vanessa Marcotte, dalam kondisi ndak wajar.

Ilustrasi: Dokumen Pribadi
Lanjutkan baca...

Naksir Itu Harus Ikhlas?



QAIS merasakan senja begitu hambar kali ini. Wajahnya kentara digelayuti mendung, setelah bertemu dengan Lila siang tadi. Pandangannya menerawang, seakan hendak menyibak garis maya langit dan laut lepas. Tarian ombak juga seolah hanya bayang-bayang di ruang hampa kini baginya.

Empat hari kemarin ia masih kesemsem senja. Hampir saban hari ia cangkruk di warkop kawasan Jembatan Suramadu, menyeruput wedang kopi hot sambil menikmati pesonanya. Ia bahkan sering berlama-lama menghabiskan waktu, hingga matahari raib ke peraduan semesta.

Gadis berwajah kalem yang kemudian memperkenalkan nama Lila, biasa mengajaknya ke sana. Memandang semburat mega, ombak yang berkejaran dan para nelayan sepulang melaut. Sambil mengobrol ngalor-ngidul, mulai dari urusan kerja sampai perkembangan kekinian. Irama musik yang kadang mengalun dari tape jadul pemilik warkop, menambah asyik suasana.


Perkenalannya berawal dari pertemuan secara kebetulan. Satu pagi dalam perjalanan hendak menyerahkan naskah ke penerbit, ia singgah di warung pinggir jalan untuk sarapan. Ketika ia beres makan, gadis berseragam karyawan training muncul tergopoh-gopoh, menanyai penjaga warung siapa pemilik motor di sebelah. Rupanya gadis itu dan ibu yang melayani pembeli telah saling akrab.

Ia jadi ikut melongok ke luar. Satu-satunya motor yang parkir terdekat adalah miliknya. Ia lantas mengacungkan telunjuk, seperti murid TK yang ditanya oleh guru di kelas. Gadis itu menghampirinya, bertanya apa ia keberatan bila dimintai tolong untuk mengantarkan dirinya ke tempat kerja. Sebab, gadis itu telah menunggu angkot setengah jam lamanya, dan bisa terlambat jika tetap belum mendapatkan tumpangan.

Apalagi, seandainya naik angkot sekalipun, turun dari rute pemberhentian nanti, gadis berbulu mata lentik itu masih harus berjalan kaki seratus meter, untuk sampai ke Mall tempat kerjanya. Ibu penjaga warung turut nimbrung, menerangkan bahwa gadis itu berasal dari luar kota dan baru sepekan kost di rumahnya. Qais ndak bisa menolak, untung Plaza dimaksud searah dengan jalur ke kantor penerbit tujuannya.

”Tapi, saya cuma membawa satu helm Bu, Mbak” ungkap Qais saat mengiyakan permintaan gadis itu.
Oh, ini nduk pakai helm Pak’e saja dulu” sahut ibu warung, lalu mengambil helm yang tersimpan di kolong bawah meja.

”Bagaimana kalau Pakdhe butuh helm nanti, Budhe?” tanya gadis itu saat menerima helm dari ibu setengah baya tersebut.
”Gampang, nanti biar Pak’e ambil helm yang lain di rumah. Yo wis segera berangkat gih”.

”Titip dia yo, nak. Dia belum tahu banyak daerah kota ini. Matur suwun sebelumnya dan sarapannya ndak usah bayar deh” ujar ibu warung.
”Siap! Lho jangan begitu, ini duit sarapan saya, Bu” jawab Qais sambil menyerahkan uang, pamit, lantas beranjak pergi disusul gadis itu.

Sepuluh menit berkendara menyusuri jalanan Kota Pahlawan, Qais tiba di pelataran Mall yang masih terlihat sepi. Mereka ndak terlambat. Entah dari mana keberaniannya mencungul, untuk berkenalan dengan gadis berambut gelombang pekat bernama Lila tersebut. Bukan hanya itu, ia juga menawarkan jasa antar-jemput padanya.

Lila semula menolak, karena ndak ingin merepotkan terlebih jika gratis. Qais lalu mengutarakan tawaran lain; gadis itu boleh tetap membayar, tapi lebih murah ketimbang ongkos pergi-pulang naik angkot. Jangan salah terka dulu, ia hanya berempati karena teringat masa-masa training kerja di tempat yang asing sebelumnya. Lila akhirnya menerima, Qais pun lega sebab akan mempunyai tambahan aktivitas baru di sela-sela waktu senggang.

Walau begitu, ia kerap menolak bayaran dari Lila pada hari-hari berikutnya. Kecuali bila gadis itu memaksa bingit, sehingga ia ndak bisa mengelak lagi. Sekurangnya ia benar-benar ndak bermaksud modus, hanya demi mendekati dirinya. Ia tulus melakukannya, ia mah begitu orangnya. Lagi pula samasekali ia ndak merasa dirugikan, justru hitung-hitung siapa tahu ketiban inspirasi untuk tulisan yang memang acap berderai, pada momen yang ndak terduga di alam bebas.

Nah, setelah gawe Lila sering mengajaknya ke pesisir Utara Surabaya itu. Awalnya untuk melepas penat. Qais pun tahu diri, ndak berharap ajakan tersebut sebagai ganti ia telah mengantar-jemput gadis itu. Apapun minuman dan jajanan pesanannya, tetap ia bayar sendiri meski saat Lila bersikeras hendak menraktirnya.

Tanpa disadari mereka berdua sering bersama. Qais sekadar menyeruput wedang kopi hot, Lila biasanya minum es jus melon. Kadang mereka berdua memesan panganan ringan. Sembari menikmati senja, ombak yang berlarian dan para nelayan seusai menangkap ikan di laut. Mereka juga sesekali berbagi cerita dan bercanda saling meledek.

Musik yang terdengar dari tape lawas pemilik warkop langganan, ndak luput pula menjadi bahan obrolan yang kian mengasyikkan kebersamaan mereka. Seperti pada senja tempo hari, mereka santai memperbincangkan hits Cintai Aku Karena Allah yang sempat melejit dulu, ketika terdengar di antara tabuhan debur ombak.

”Jika mencintai cewek itu kudu ikhlas. Tanpa pamrih, jangan dipamerkan, apalagi sampai diungkit-ungkit di kemudian hari, Mas” celetuk Lila mengomentarinya.
Hmmm...” sahutnya hanya bergumam. Lila terdiam, kemudian perbincangan mereka berlanjut tentang hal lainnya.

Kebersamaan mereka berdua pun tampak semakin dekat sebulan terakhir. Ada perasaan semriwing yang perlahan bergeliat di hati keduanya. Barangkali semacam orang Perancis bilang, witing gemuruh roso jalaran soko nggelibet. Kendati mereka ndak pernah menunjukkan kemesraan yang berlebihan, dan selalu menjaga jarak aman selama berduaan.

Hingga semua terasa berbeda seketika beberapa jam lalu. Ia mengantarkan Lila yang berganti jadwal shift siang tadi. Lila mengatakan sesuatu yang mengejutkannya setiba di Mall biasanya. Bahwa ia ndak perlu mengantar-jemput lagi, karena dirinya akan berangkat dan pulang kerja bareng Priyo, teman sekerja yang baru jadian sebagai pacarnya.

”Aku kok ndak tahu kabar ini yo, Lil? Sebenarnya aku jatuh hati padamu lho. Aku hanya sedang mencari cara supaya kamu tahu” ujarnya setelah bagai tersengat listrik.
”Tapi, Mas kan belum nembak aku” balas gadis itu dengan bersit canggung di wajahnya.
Lah kamu bilang, mencintai cewek itu harus ikhlas. Jangan pamrih, dipamerkan, apalagi sampai diungkit-ungkit di lain hari?”

* * * * *

Qais masih terpaku di tempatnya, mengingat romantika dengan Lila, sejak bertemu pertama kali sampai kejadian siang tadi. Sementara, matahari kian ngesot mendekati permukaan samudera. Tiba-tiba seraut wajah berambut pirang tergerai nongol di ujung hidungnya, membuyarkan lamunannya.

”Mas Qais yo? Ini aku, masih ingat nggak?” sapa gadis itu sambil menatapnya penuh riang.
”Siapa yo? Maaf, aku lupa” balasnya dengan masih kaget, lalu membetulkan posisi duduknya.

”Aku Lena, Marlena, adik kelas dua tingkat Prodi Sastra Inggris. Kalau sampean Prodi Sastra Indonesia tho?”
”Lena, Marlena? Apa kamu yang suka bareng Tantri, adik kelasku seangkatan kamu itu?”
”Ya, benuuul. Aku yang pernah sampean hukum, merayu sampean gara-gara terlambat sewaktu Ospek Fakultas dulu”.
Oalaaah hahaha...” ia baru ingat siapa gadis berwajah oriental di hadapannya. Maklum, penampilannya jauh berubah semakin memesona.

Wah kebetulan sekali bertemu sampean di sini. Aku memang sedang mencari-cari sampean selama ini. Omong-omong mengapa sampean melamun dari tadi?”
Lah kamu sendiri ngapain di sini? Terus ada perlu apa mencariku? Aku cuma merenung cari inspirasi saja kok”.
”Aku lagi shoot liputan wisata, Mas. Aku mencari-cari sampean ingin sharing soal tulis-menulis. Soalnya ada yang aku suka dari coretan-coretan sampean”.

”Suka tulisanku, apa suka orangnya? Kamu kok tambah cantik dan seksi, Len?”
Emang boleh suka orangnya sekalian? Lah dari dulu kan aku memang cantik dan seksi. Kalau ndak, mana mungkin sampean menghukumku, dengan merayu sampean waktu Ospek dulu hayooo...”.
Hahaaayy...” hanya seloroh itu yang meluncur dari mulut Qais.

Kehadiran gadis berbinar kejora itu menyegarkan pikirannya kembali. Paling ndak, perasaannya yang sedang didera ”gegana” (gelisah, galau, merana) terobati sejenak. Bukan, bukan, ia belum sampai mengalami stadium merana, akibat kalah start mengungkapkan perasaannya kepada Lila.

Ceblung, cebluuung...” tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia memberi isyarat pada gadis dengan senyum semerekah mawar di depannya itu. Satu pesan BBM anyar masuk, rupanya dari Lila.
Mas q telp dr tdi kok ga diangkat2 seh? Mas marah ma aq ta? Nti mlm k kostq yo, q mau curhat soal cowokq. Ternyata dia tuh playboy. Datang yo mas, pliiisss...

Qais menghela nafas. Ah, mengapa pula lantas dari tape rongsok pemilik warkop, sayup-sayup mengudara lagu kelompok musik Ada Band yang pernah ngehits.

Dahulu terasa indah, tak ingin lupakan
Bermesraan slalu jadi, satu kenangan manis
Tiada yang salah, hanya aku manusia bodoh
Yang biarkan semua ini, permainkanku berulangkali...

Ilustrasi: Girl Loves
Lanjutkan baca...

Malam Pertama



I
Surya cemberut
Hangatnya luruh salju
Kita menepi

II
Anggun rembulan
Pias dalam cemburu
Mesra hatimu

III
Gemintang risau
Terpercik bening gairah
Cinta jiwaku

IV
Kelu semesta
Penantian berpagut
Malam pertama

Peraduan Kalbu ElDe, 02.04.2016
Ilustrasi: Pinterest
Lanjutkan baca...

Tamu di Tengah Malam



WAKTU belum mendekati pukul setengah sembilan malam. Tapi, suasana begitu lengang di luar. Sepertinya gerimis yang masih awet berderai sejak menjelang isya tadi, membuat para warga lebih memilih berdiam diri bareng keluarga di rumah masing-masing. Barangkali pula mereka sedang dalam perjalanan berlayar menuju pulau mimpi.

Begitu juga dengan Mbok Sumi, meringkuk di pembaringan. Sendirian. Meski kantuk terus merajuk, pikirannya ndak kunjung rebah. Ia hanya membolak-balikkan badan hingga pegal. Sesekali ia melek lalu melirik jam dinding yang dirasakannya berayun teramat lambat. Padahal, ia kudu bangun pagi-pagi untuk menanam binis padi (baca: tunas) esok hari.

Saat melankoli irama butiran air langit menghening sekian detik, serupa jedah pergantian lagu di pemutar musik, endapan kenangan masa lalu justru berebut mencungul dari alam bawah sadarnya. Ingatan tentang semasa hidup suaminya. Juga riuh kebersamaan anak-anaknya sebelum beranjak dewasa, berkeluarga, menyebar jauh ke pelbagai tempat rantau, serta ndak pasti mudik lebaran.


Kenangan-kenangan itu berseliweran, saling melempar remasan lembar rindu di benaknya. Ia hanya bisa mengelak dan perlahan tergiring ke sudut kesendirian. Beruntung, cucu-cucu dari anak perempuannya yang tinggal bersama suami di kampung sebelah, rutin mengunjungi tiap sore. Ia pun hanyut terbawa lamunan yang melenakan.

Gerimis belum reda. Akhirnya ia bisa tertidur ketika jam dinding baru menapak tengah malam. Sunyi kian bergelayut sepanjang gelap sekeliling. Dalam lelap ia dikejutkan seseorang yang tiba-tiba menjawil lengannya dari samping ranjang. Tentu saja ia kaget dan menoleh. Sosok perempuan yang amat dikenalnya, berdiri memandang ke arahnya. Munaroh.

Perempuan muda yang tinggal di ujung selatan kampung. Hanya saja, mengapa kepalanya plontos mengilap sekarang yo? Apa yang terjadi dengannya, karena tiada kabar apapun dari para tetangga selama ini? Pikirnya sembari serasa bangun, hendak bertanya maksud kedatangan perempuan telah bersuami yang bahkan jejak langkahnya ndak terdengar sebelumnya itu.

”Ada apa kau mertamu ke mari, di tengah malam gerimis begini, Mun?” ujarnya.
Ndak ada apa-apa Mbok, maaf juga yo bila kedatanganku mengganggu istirahat sampean” jawab sosok perempuan tersebut.

”Iya rapopo. Ada apa sih, Mun?” tanya Mbok Sumi dengan tersenyum.
”Begini Mbok, sekali lagi aku minta maaf kalau waktunya ndak tepat. Aku cuma diminta untuk menagih upah Kang Bajrah yang membajak sawah sampean seharian tadi, Mbok.”

Lho bukankah aku sudah bayar sendiri padanya, setelah dia beres membajak? Tapi, yo wis-lah memang berapa, Mun? Dan omong-omong mengapa kepalamu digundul begitu?” balas Mbok Sumi tanpa beban, sambil beranjak mengambil dompet.
”Cuma dua ratus ribu. Ini model rambut kekinian, Mbok, hehehe...

Tanpa menunggu lama, Mbok Sumi kemudian menyerahkan empat lembar uang lima puluh ribuan pada sosok perempuan tersebut. Disusul suara ”krompyaaang” yang amat mengagetkannya. Ia celingukan, terjaga, rupanya hanya bermimpi. Angka jam dinding menunjukkan pukul 00.24 dini hari. Ia teringat perempuan yang baru saja meminta fulus, kok ikut menghilang. Ke mana perginya? Sejenak ia termenung, lantas reflek bergegas memeriksa dompet dan menghitung isinya.

Uang pemberian anak perempuannya siang tadi, jumlahnya ternyata berkurang dua ratus ribu. Mbok Sumi langsung merinding. Buru-buru ia balik ke ranjangnya. Melanjutkan tidur sambil terus menenangkan pikirannya.

Ilustrasi: Woman Around Town
Lanjutkan baca...

Wow Baru Hamil Setelah 26 Tahun Menikah



BELUM lama ini saya ikut tetangga, menyambangi kerabat tetangga lain yang mengadakan acara. Sebelumnya kami telah dibagi-bagi besek alias berkat-nya lebih dulu. Yang punya gawe, kakak perempuan suami tetangga saya. Bingung yo? Sebut saja ipar perempuannya tetangga deh.

Kami pergi naik motor, sebab rumahnya ndak terlalu jauh. Kira-kira dua puluh menit waktu tempuhnya. Perjalanan mulai seru setiba di wilayah perkampungan. Walau jalannya sudah beraspal (kasar), tapi bebatuan mencungul di sana-sini. Ketika masuk lebih jauh, kondisinya semakin rusak. Sisanya tanah becek sehabis hujan setengah jam lalu, membuat terasa licin dilewati.

Gara-gara penunjuk jalan keliru memberitahu arah, kami juga sempat nyasar pada tikungan yang kian menyempit. Semula kami masuk gang kecil menanjak, sehingga kudu menambah gas motor. Hati saya meragu, karena ujung lorong itu tampaknya mentok. Benar saja, kendaraan lantas nyelonong lewat samping ke pekarangan rumah warga.


Sewaktu saya menoleh ke kiri, ibu-ibu terlihat mengobrol di teras. Dengan sedikit keki, saya mematikan motor, lalu menanyakan alamat yang hendak dituju. Menurut keterangan ibu-ibu itu, kami memang salah rute. Seharusnya kami berbelok di pengkolan dekat sekolah. Usai mengucapkan terima kasih dan maaf, saya memutar kendaraan lumayan susah di ruang yang cekak.

Tetangga yang bertugas sebagai guide dan mengaku pernah tahu lokasinya terdahulu, dengan tampang konyol bergumam sendiri, ”Jalan yang dulu kok berubah sekarang, yo.” Dan saya hanya bisa menimpali, ”Sampean saja yang ”Lupa Lupa Ingat” seperti hits grup band Kuburan dulu keleees heuheuheu...”

Rombongan kami lantas berbalik arah sesuai petunjuk warga tadi. Kali ini benar, meski sempat terhenti pula di persimpangan dekat sekolah. Lima menit berlalu, kami sampai di tujuan akhirnya. Tuan rumah menyambut kami, namun suasana telah sepi. Nah, dari bincang-bincang pembuka, saya baru ngeh acaranya dalam rangka tujuh bulanan usia kehamilan ipar perempuan tetangga saya itu.

Mitoni dengan 47 tumpeng?
Hajatan itu tentu ditunggu-tunggu oleh keluarganya. Sebagaimana penuturan mertua tetangga saya, kakak perempuan suaminya itu baru hamil setelah 26 tahun berumah tangga. Penantian yang ndak sebentar bagi jamaknya pasangan suami-istri. Lah ada iparnya yang lebih awal beristri, telah memiliki salah seorang anak berumur 20 tahun.

Jangankan berkeluarga puluhan tahun lamanya, saat usia pernikahan baru satu-dua tahun saja, biasanya para sedulur kerepotan menjawab pertanyaan orang-orang. Misalnya, setahun menikah kok belum punya anak yo? Kapan ingin momongan, nanti telanjur ringkih untuk mengasuhnya lho. Dan serentetan tanya serupa yang kadang bikin ubun-ubun gatal.

Maka, kehadiran buah hati yang sekian lama dinanti, biasanya akan bersambut suka-cita. Begitu pula sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehamilan pertama ipar perempuan tetangga saya itu, keluarganya memenuhi nazar 47 tumpeng, dalam selamatan mitoni yang kelar tuntas pada siangnya. Pantas saja, mertua dan para iparnya yang menemui kami selama bertamu tampak kepayahan. Wow!

Para tetangga sekitar pun kabarnya menanyakan hal-hal yang menggelitik pada keluarga itu. Ada yang bertanya, apa resepnya hingga mereka dianugerahi bakal momongan kini? Ada juga yang penasaran, mereka ikut pengajian tertentu, atau mempunyai guru spiritual khusus? Padahal, mereka menjalani apa adanya. Dan sampean jangan menanyai saya, mengapa jumlah tumpengnya 47 buah lho yo.

Dengan meresapi karunia yang teramat membahagiakan pada keluarga ipar tetangga saya itu, ingatan jadi ikut terbawa pada kisah sosok perempuan tercantik pada masanya. Figur yang mulia kepribadiannya, Bunda Sarah istri Bapak Ibrahim as, yang baru hamil saat usianya telah amat uzur. Dalam berbagai literatur disebutkan keduanya berusia mendekati angka seratus tahun.

Ini memberi pembelajaran khususnya bagi saya pribadi, bahwa Kehendak Sang Mahapengasih di atas segala daya, upaya, bahkan perkiraan kita. Termasuk andaikan ikhtiar tertentu saran dari seseorang yang linuwih maupun dekat pada Gusti Tuhan, sekalipun benar terjadi di kemudian hari bukan lantaran ucapannya keramat. Namun, semata kebetulan sejalan dengan Ketetapan-Nya.

Adanya keturunan, rezeki, berikut segala perkara yang menyangkut kehidupan dan penghidupan kita, memang semestinya bermula usaha yang hendaknya disempurnakan pula dengan tawakkal. Selebihnya, jangan pernah menutup apapun kemungkinan, hanya karena perhatian teralihkan untuk tetap meyakini Rencana-Nya yang pasti akan indah pada waktunya. Bagaimana menurut sampean?

Ilustrasi: Health Usnews
Lanjutkan baca...