Zakat dan Tantangan Kemiskinan


Kemiskinan merupakan masalah kronik bangsa ini yang tak kunjung tuntas. Meski telah berganti-ganti pemerintahan, upaya mengurangi tingkat kemiskinan belum menunjukkan hasil yang signifikan.

Dari berbagai data yang sudah seringkali diungkap melalui media massa, alih-alih kemiskinan berkurang, justru jumlah masyarakat miskin di Indonesia cenderung meningkat. Apalagi dalam kondisi negara tengah terancam krisis ekonomi akibat penyelundupan, maka kelangkaan dan naiknya harga BBM seperti sekarang ikut memicu peningkatan angka kemiskinan.

Entah, apakah problem kemiskinan memang sedemikian rumitnya, sehingga berbagai langkah untuk mengatasinya seolah selalu menemui jalan buntu. Lebih memalukan lagi karena mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam, agama yang notabene sangat concern memerangi kemiskinan. 

MASALAH KEMISKINAN 

Jika dirunut dari perspektif ekonomi, kemiskinan di negara kita bisa disebabkan beragam faktor. Seorang pakar ekonomi Barat, Boyle, pernah mengemukakan analisis tentang hal itu dengan menggambarkan konfigurasi perekonomian Indonesia sebagai duo ekonomi. Yaitu, corak perekonomian yang ditandai pemusatan distribusi hasil ekonomi pada segelintir orang di satu pihak dan kelangkaan distribusi hasil ekonomi pada kebanyakan orang di pihak lain. Kesenjangan antara dua kelas ekonomi tersebut kemudian mengandaikan penyebab timbulnya kemiskinan, terutama ketidakberdayaan atas pemenuhan konsumsi yang dialami oleh kelas kedua.

Secara empiris fakta pembagian hasil ekonomi yang tidak merata antara kelompok kaya dan miskin tak terbantahkan. Umumnya golongan “the have” yang didukung dengan aneka fasilitas kekuasaan, akses jaringan informasi dan komunikasi, serta kepemilikan modal lebih banyak memiliki kesempatan untuk menyerap distribusi hasil ekonomi sebesar-besarnya. Sedangkan kelas the poorman dengan segala keterbatasannya kerapkali tidak dapat menikmati distribusi yang memadahi.

Alquran telah menyebutkan secara tegas bahwa dalam harta kekayaan orang yang hidup berkecukupan terdapat hak orang yang hidup berkekurangan. Ketidakmerataan distribusi hasil ekonomi di antara dua kelas ekonomi sebagaimana tercermin dalam istilah duo ekonomi pola perekonomian negara, berindikasi kuat terhadap merebaknya kemiskinan. Pertanyaannya, apa solusi yang bisa ditempuh untuk meminimalisasi masalah kemiskinan, khususnya bila mengacu pada pedoman Islam? 

ISLAM MEMERANGI KEMISKINAN 

Islam –sebagaimana agama lain– adalah agama yang luhur. Dikatakan demikian apabila Islam senantiasa mengobarkan spirit pembelaan terhadap golongan masyarakat lemah dan tertindas. Keluhuran Islam amat bergantung pada aktualisasi value pemerdekaan umat dari segala bentuk ketidakadilan, penindasan, dan masalah kemiskinan. Islam sangat tidak menghendaki kemiskinan global yang melingkupi sebagian besar umat. Dan karena itu, semua muslim mengemban amanah memerangi kemiskinan.

Dalam Alquran (107:1-3) ditegaskan, “Tahukah kamu siapa yang mendustakan agama? Merekalah yang mencampakkan anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” Pada bagian lain Alquran juga dengan tegas mengecam penumpukan harta kekayaan oleh segelintir orang. Dinyatakan, “Celakalah orang yang menyebarkan fitnah dan mengumpat, yang mengumpulkan kekayaannya dan menimbunnya, karena mengira kekayaannya akan mengekalkannya. Sama sekali tidak! Ia akan dilemparkan ke dalam Hutamah. Apakah Hutamah itu? Ialah api Allah yang dinyalakan, yang merasuk ke dalam hati, menutupi mereka seperti kubah dengan tiang-tiang menjulang” (Q.S. 104:1-4).

Pemaparan tamsil Alquran di atas meniscayakan integrasi keyakinan Islam melalui manifestasi perilaku mayoritas muslim, yakni perang terhadap kemiskinan. Bagaimana pun mengumbar kekafiran yang timbul akibat kemiskinan atau pun pemiskinan ekonomi, lebih berbahaya daripada memberi kebebasan orang-orang kafir (nonmuslim) dalam turut serta merajut harmoni hidup bersama yang berkeadilan sosial secara universal. 

BERZAKAT MENGENTAS KEMISKINAN 

Lantas bagaimana Islam berempati memperjuangkan upaya pengentasan kemiskinan? Untuk menjawab pertanyaan itu, sebenarnya Islam mempunyai instrumen yang kalau dijalankan dengan benar dan sejujurnya akan cukup efektif untuk mengangsur tingkat kemiskinan. Instrumen itu adalah zakat.

Sebagaimana telah diinformasikan dalam Alquran dan hadits, zakat merupakan kewajiban menyisihkan sebagian harta menurut takaran (nishab) dan limit waktu tertentu (haul) yang pemanfaatannya diperuntukkan bagi delapan kelompok kaum dhuafa (kalangan lemah ekonomi). Galibnya, zakat wajib dikeluarkan setahun sekali seiring dengan kewajiban berpuasa Ramadan seperti sekarang. Waktu pembayarannya dimulai selama bulan Ramadan hingga terbit fajar menjelang pelaksanaan shalat Idul Fitri.

Berbeda dengan amalan menafkahkan harta di jalan Allah seperti infaq, shadaqah, hibah, dan lainnya; zakat diatur dengan ketentuan khusus yang bisa menimbulkan konsekuensi tertentu bila diabaikan. Sekadar contoh, jika seseorang menunaikan zakatnya setelah shalat Id, maka amalan itu tidak dapat disebut sebagai zakat melainkan shadaqah atau istilah yang lain. Secara otomatis orang itu belum menggugurkan kewajiban berzakat. Konsekuensinya, puasa yang telah dilaksanakannya sebulan Ramadan terpaksa ditangguhkan.

Sayangnya, aturan zakat belum diterapkan sepenuhnya. Kebanyakan kalangan muslim memahami aturan berzakat secara konvensional, bersandar pada pengetahuan dari kebiasaan yang berlaku di suatu lingkungan sosial. Implikasinya, masyarakat baru sebatas menunaikan zakat fitrah dengan takaran kurang lebih dua setengah kilogram beras. Andaikan masyarakat mengeluarkan zakat maal, itu pun nilainya dikurs dengan harga beras untuk zakat fitrah.

Padahal aturan zakat cukup detail dan rada jelimet meliputi beragam jenis penghasilan dan harta kekayaan. Bentuknya pun sebenarnya tidak sekadar berupa zakat fitrah dan zakat maal, melainkan secara rinci pula mencakup zakat pertanian, peternakan, perdagangan, perhiasan, harta temuan (rikaz), kepemilikan badan usaha perorangan, zakat profesi dan sebagainya. Pelaksanaan jenis zakat itu juga tidak mesti menanti datangnya bulan puasa, tetapi harus dikeluarkan berdasarkan tahun buku (haul) operasionalisasi modal, pendapatan, dan kepemilikan sarana perekonomian.

Nah, dari sekian banyak pemilik perusahaan, pejabat dan kalangan profesi yang ada saat ini sudahkah melunasi tanggungan zakatnya sesuai dengan aturan yang fixed? Besar kemungkinan jika wajib zakat tersebut benar-benar telah memenuhinya berdasarkan koridor syar'i, kontribusinya dapat menekan tingkat kemiskinan secara perlahan. Perlu diingat, beban zakat itu tidak terhitung pajak yang dikenakan oleh negara atas semua sarana infrastruktur yang dinikmatinya. Karena itu, ke depan perlu diupayakan terobosan pengelolaan zakat yang lebih maslahah. Bukankah upaya demikian lebih diharapkan akan membebaskan fakir miskin dari belenggu kemiskinan? 

Dimuat di halaman "Opini & Tajuk" Harian Radar Surabaya, 27 Oktober 2005
Lanjutkan baca...

Risalah Jiwa untuk Boomberman


WAHAI saudaraku, di mana pun kau dan pengikutmu berada! Mungkin sekarang kau sedang bersenang setelah aksimu melancarkan teror bom Bali II yang tidak berperikemanusiaan itu berhasil membuat banyak pihak, terutama para keluarga korban, menitikkan airmata.

Aku ucapkan, “Selamat!” jika itu memang kau anggap sebuah kesenangan yang amat tidak menghargai selembar nyawa sesama makhluk Tuhan. Sesama gembala yang sama-sama ingin mereguk segarnya merumput di lembah milik-Nya.

Namun, ketahuilah saudaraku! Sampai kapan pun nafsu ammarah seperti itu takkan pernah kian mengukuhkan langkahmu menapak jalan (agama) Tuhan. Sebab, Tuhan telah mengatakan sendiri pada hatimu yang gulana itu bahwa harga selembar nyawa semahal kelangsungan hidup seluruh manusia.

Lalu bagaimana bisa kau tetap bersikeras melampiaskannya dengan mengacungkan nama Tuhan? Bukankah Tuhan tak memerlukan pembelaanmu? Bukankah kau belum tentu mampu membela kekhilafanmu sendiri di hadapan-Nya?

Maka, segera sudahi saja aksimu! Urungkan saja niatmu untuk melakukan aksi serupa itu! Belum cukupkah penderitaan korban silam yang berkepanjangan kini. Masih banyak hal terbaik yang bisa dilakukan demi tegaknya hidup penuh damai, adil, dan sejahtera. Itu pun jika jiwamu sungguh selalu merindukan kehadiran Tuhan sepanjang masa.

* Dimuat di kolom "Gagasan" Harian Jawa Pos, 14 Oktober 2005
Lanjutkan baca...

Hukum Seberat-beratnya Penyelundup Itu


POLISI berhasil membongkar penyelundupan minyak di Kalimantan Timur yang diduga melibatkan sejumlah oknum Pertamina. Kemudian, pada kamis malam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memanggil direktur utama dan petinggi Pertamina untuk diminta pertanggungjawaban. Terlihat jelas, betapa roman Presiden SBY sedang memendam geram.

Reaksi tersebut sangat wajar. Sebab, ketika pemerintah tengah kelimpungan mencari solusi terkait dengan kelangkaan BBM yang berimbas nyata pada keseharian masyarakat luas, di tempat lain terdapat segelintir orang –oknum Pertamina itu– secara diam-diam mengail di air keruh demi kepentingan sepihak yang bersifat pribadi.

Tindakan demikian dengan modus apa pun jelas sangat melukai penderitaan masyarakat sekaligus bisa dianggap sengaja menohok pemerintah dari belakang. Selain itu, jika dilihat dengan kacamata UUD 1945, BBM termasuk kekayaan alam untuk hajat hidup orang banyak yang sepenuhnya dikelola negara dan mestinya dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Ketentuan itu tidak membenarkan penguasaan minyak untuk kepentingan individu, kelompok, bahkan institusi tertentu.

Dengan demikian, pencurian BBM oleh oknum Pertamina bukan sekadar aksi kriminal atau tindak pidana, tapi juga dapat dinilai melanggar UUD. Perorangan atau kelompok yang terindikasi melanggar UUD disebut makar terhadap negara. Jadi, sangat pantas bila para pelaku dihukum seberat-beratnya, bukan hanya pencopotan jabatan.

* Dimuat di kolom "Gagasan" Harian Jawa Pos, 13 September 2005
Lanjutkan baca...

Menanti Penuntasan Kasus Korupsi


TERUNGKAPNYA beberapa kasus korupsi belakangan ini bisa dibilang membawa angin segar dalam upaya realisasi supremasi hukum. Berawal dari terkuaknya dugaan suap-korupsi di tubuh KPU dan kemudian merambah pada lembaga-lembaga lain hingga korupsi di Departemen Agama, rakyat cukup lega atas janji pemerintah dalam penegakan hukum, khususnya yang berkenaan dengan pemberantasan korupsi.

Selanjutnya, pemerintah tinggal menentukan prioritas penuntasan berbagai kasus tersebut. Sebab, rakyat sangat berharap kinerja pemerintah tidak hanya berkutat pada inventarisasi pengungkapan kasus korupsi. Lebih dari itu, penetrasi proses hukum terhadap para koruptor hendaknya segera diwujudkan.

Dengan demikian, rakyat benar-benar merasa bahwa hukum di negara ini tidak mati. Meski, para tersangka pelaku korupsi yang sekarang sudah diketahui tidak sampai dihukum mati untuk menebus dosa kejahatannya. Itu seperti komentar seorang ibu dalam tayangan iklan KPK di layar kaca. Nah, mari kita tunggu kapan para koruptor itu bakal dijatuhi hukuman tegas.

* Dimuat di kolom "Gagasan" Harian Jawa Pos, 21 Juni 2005


Lanjutkan baca...

Menyoal Manfaat Berita Kriminal



HAMPIR semua stasiun televisi memproduksi program tayangan berita kriminal. Bahkan, ada beberapa televisi yang menayangkan lebih dari satu label berita kriminal. Padahal materi yang disajikan sama, yaitu tentang hasil liputan seputar peristiwa kriminal yang terjadi di berbagai tempat. Waktu penayangannya pun tidak cukup sepekan sekali, tetapi seringkali ditayangkan saban hari.

Penayangan berita semacam itu dimaklumi sebagai sebuah kontribusi insan pertelevisian dalam turut serta meminimalisasi tindak kriminalitas. Artinya, setelah menontonnya pemirsa menyerap sejumlah informasi yang sekaligus menanamkan doktrin agar masyarakat selamanya menghindarkan diri dari hasrat berbuat sadisme. Baik perbuatan kriminal karena kebiasaan, sekadar ingin mencoba, maupun karena alasan desakan keadaan. Pemirsa dan masyarakat akan semakin menyadari bahwa kejahatan bukan hanya menghilangkan rasa aman orang lain, tetapi juga pasti mengancam kemerdekaan pelaku dengan aturan hukum yang telah ditetapkan. 

Anehnya, ketika berita kriminal semakin sering ditayangkan, tingkat kriminalitas seolah urung berkurang bahkan cenderung kian merajalela. Dari sini muncul pertanyaan mengenai manfaat berita kriminal dalam menumbuhkan pengendalian masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan. Ataukah justru berita kriminal memberikan referensi modus operandi kejahatan yang lebih variatif, sehingga membangkitkan inspirasi perbuatan kriminal dengan cara relatif berbeda. Sebab, kejahatan bisa terjadi karena hasil imitasi berdasarkan informasi yang diperoleh, lalu mencoba modus baru yang dianggap lebih aman.

Karena itu, media TV mestinya tidak sebatas menayangkan berita kriminal demi sebatas meraih rating tertinggi. Media TV mesti pula intens mengadakan evaluasi, dan terutama sering melakukan penelitian berkenaan dengan seberapa besar signifikansi berita kriminal yang ditayangkan dari waktu ke waktu, terhadap berkurangnya tingkat kriminalitas sehari-hari di masyarakat.

* Dimuat di kolom "Interupsi" Harian Surya, 20 Mei 2005
Lanjutkan baca...

Hindari Politisasi Agama


AGAMA ibarat perawan yang berparas cantik dan molek. Agama selalu tampil memikat dengan busana sensual dalam segala suasana. Tidak mengherankan bila orang yang mengaku kenal agama gampang sekali tergiur untuk mengintiminya hanya demi melampiaskan nafsu kepentingan tertentu.

Terutama para petualang politik yang sedang mengincar kekuasaan sampai ileran. Mereka cenderung terobsesi memanfaatkan momen bercinta dengan agama lebih dulu, kemudian mencampakkannya ketika kekuasaan telah jatuh dalam pelukan mereka dengan mulus.

Perangai mereka yang semacam itu tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Sebab, agama memang membersitkan rangsangan gairah kekuasaan.

Tentu, fenomena demikian sangat tidak kondusif untuk membidani lahirnya tiap bakal orok penguasa. Seperti temuan fakta mengenai beberapa calon kepala daerah yang menyematkan potret mereka pada sampul kitab suci dan sejenisnya, untuk membangun citra sebagai calon penguasa daerah pecinta sejati agama yang mesti didukung oleh semua rakyat daerah dalam pilkada nanti.

Padahal, dengan intrik tersebut, mereka justru tanpa sadar menelanjangi jatidiri sendiri sebagai pemerkosa agama. Maka, rakyat daerah mesti menyikapinya dengan cerdas. Jangan pilih cawali/cabup yang mengatasnamakan maupun memakai simbol agama.

* Dimuat di kolom "Gagasan" Harian Jawa Pos, 20 Mei 2005.
Tulisan yang lain juga dimuat di Harian Surya pada hari yang sama.
Lanjutkan baca...

Tanggapan tentang Dramatic Victimization


TULISAN Bang Eki Syachrudin berjudul Dramatic Victimization di harian ini, 23 April 2005, bisa menjadi sebuah novum bahwa penyampaian buah pikiran dengan gaya redaksional persuasif sangat mudah memukau audiens (pembaca).

Akibatnya, mereka pun enggan mengkritisi apakah pernyataan yang dilontarkan koheren dengan fakta empirik atau tidak. Apalagi, bila si empunya pernyataan seseorang yang telah memiliki “nama besar”.

Demikian kurang lebih konklusi tulisan –dengan ilustrasi kasus dugaan suap Mulyana– tersebut dalam memaparkan kelaziman kontradiksi antara wacana dan fakta yang sangat mungkin justru ditutup-tutupi. Faktanya, fenomena semacam itu memang selama ini selalu terjadi dalam aneka rupa drama di negeri ini.

Sayangnya, uraian tulisan itu terkesan kurang cermat. Terutama jika mencermati paragraf ke-14 yang menyatakan, “Patutkah Mulyana...dinonjobkan dari BPK”. Korelasi antara “Mulyana” dan “BPK” kurang tepat karena sebenarnya tidak sesuai dengan konteks.

Catatan redaksi: yang dimaksud dalam tulisan tersebut dinonjobkan dari KPU, bukan BPK. Terima kasih koreksi Anda.

* Dimuat di kolom "Gagasan" Harian Jawa Pos, 28 April 2005*
Lanjutkan baca...

Jangan Mewakili Belantik Politik


PILKADA langsung 2005 bagi banyak daerah merupakan hajatan politik untuk masyarakat. Dengan sistem pemilihan yang relatif berbeda dibandingkan masa-masa sebelumnya, tentunya warga kota dan warga kabupaten berharap agar pemilihan walikota atau bupati menghasilkan pucuk pimpinan pemkot atau pemkab yang dapat memperbaiki kondisi kesejahteraan mereka.

Diharapkan pula, momentum pilkada tahun ini memberikan pendidikan politik kepada warga agar lebih dewasa dalam menyikapi berbagai langgam dinamika sosial dan politik demi semakin mengukuhkan realisasi tujuan reformasi dan demokratisasi.

Harapan tersebut hanya bisa tercapai bila seluruh tahapan dan rangkaian proses pilkada berlangsung transparan, fair, jujur, adil, dan demokratis serta lebih mengutamakan akuntabilitas publik.

Setiap pasangan cawali atau cabup yang berkompetisi diharapkan dapat merebut simpati warga dengan mengedepankan teladan perilaku politik yang menjunjung tinggi nilai etika, moral, dan falsafah warganya.

Semoga kandidat yang kelak terpilih benar-benar dapat mengartikulasikan kehendak rakyat dan tidak merepresentasikan kepentingan para belantik politik yang selalu mengincar profit politik belaka. Selamat berlaga!

* Dimuat di kolom "Gagasan" Harian Jawa Pos, 5 April 2005
Lanjutkan baca...

Peranti Canggih untuk Jurnalis


HIKMAH yang bisa dapat dipetik dari peristiwa penculikan dua reporter Metro TV oleh kelompok pejuang di Iraq beberapa haru lalu ialah sudah saatnya jurnalis yang ditugaskan di medan konflik, dibekali sarana yang lebih memadahi. Dengan demikian, bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, semisal penculikan terhadap jurnalis, pemerintah tidak perlu bertanya sana-sini.

Contohnya, jurnalis hendaknya dibekali alat detektor yang didesain sedemikian rupa menyerupai peranti canggih yang sering digunakan agen Barat, seperti dalam film “007” atau “Mission Impossible”. Tujuannya agar para jurnalis dapat selalu dipantau keberadaan dan keselamatannya.

Upaya demikian bukan hal yang impossible dilakukan di era serbateknologi seperti sekarang. Apakah selamanya kita hanya menjadi pengagum kecanggihan teknologi bangsa asing, tanpa disertai keinginan untuk menciptakannya.

Bila pemerintah tak sanggup mengadakan peranti semacam itu, biarlah hal tersebut menjadi tanggung jawab perusahaan yang mempekerjakan para jurnalis. Pemerintah cukup menetapkan izin penggunaan alat yang amat dibutuhkan untuk kepentingan perlindungan juru pemburu berita itu di masa depan.

* Dimuat di kolom "Gagasan" Harian Jawa Pos, 26 Maret 2005
Lanjutkan baca...

Mempertanyakan Profesionalitas Guru


KEGIATAN belajar-mengajar (KBM) bukan semata transfer ilmu yang tercakup dalam buku pelajaran sesuai kurikulum yang ditetapkan, melainkan rangkaian proses transformasi pengetahuan yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk mengembangkan potensi peserta didik.

Dalam hal itu, guru menjadi penentu untuk menakar tingkat prestasi siswa berdasarkan penilaian evaluasi belajarnya. Berkaitan dengan hal tersebut, belakangan ini –diakui atau tidak– merebak fakta bahwa ada guru yang kurang memperhatikan tanggung jawabnya sebagai pengajar.

Tidak sedikit guru –entah karena menumpuknya kesibukan di luar sekolah– yang melimpahkan tugas mengoreksi hasil tes belajar kepada sesama siswa. Bahkan, tidak jarang pula hasil ulangan murid kelas yang lebih atas dikoreksikan kepada siswa kelas di bawahnya.

Tentu hal itu merugikan siswa. Sebab, umumnya terutama siswa yang masih tingkat sekolah dasar belum sepenuhnya mampu memberikan penilaian atas jawaban hasil ujian milik temannya sendiri.

Karena itu, alangkah bijak bila para guru meninggalkan cara-cara penilaian atas hasil ulangan siswa yang kurang mengacuhkan kode etik profesi guru tersebut. Hal itu bertujuan agar ketetapan penilaian prestasi siswa tidak menimbulkan kontroversi di kemudian hari dan tidak mengesalkan para siswa.

* Dimuat di kolom " Gagasan" Harian Jawa Pos, 27 Februari 2005
Lanjutkan baca...

Imlek dan Tahun Baru Islam


PERAYAAN Imlek tahun ini bisa dibilang istimewa. Sebab, waktunya hampir berbarengan dengan pergantian tahun baru Hijriyah yang hanya selisih sehari kemudian. Momentum seperti itu seharusnya dapat dimanfaatkan untuk saling memagut kemesraan antarsaudara yang berbeda “asal-usul” maupun keyakinan agamanya.


Memang, merajut harmoni lintas etnis dan lintas agama sejatinya tidak hanya menunggu peringatan hari raya agama yang jatuh bersamaan atau bersusulan. Melainkan, kerukunan antaretnis dan umat agama itu mesti senantiasa dipupuk di luar konteks perayaan hari besar agama.

Namun, perayaan Imlek dan Tahun Baru Islam kali ini diharapkan menjadi ajang untuk saling menggugah kesadaran, baik bagi saudara kaum Tionghoa dan muslim maupun umat lain. Apa pun bentuk ikatan primordialisme, konservatisme, ataupun fanatisme etnik dan religi semata adalah pandangan picik yang amat usang dalam membangun peradaban bangsa yang lebih mencerahkan di masa depan.

Karena itu, akan terasa menyejukkan bila sedulur Tionghoa dan muslim saling menyampaikan ucapan Gong Xi Fat Choi 2556 dan Selamat Tahun Baru Sura 1426 H.

* Dimuat di kolom "Gagasan" Harian Jawa Pos, 10 Februari 2005
Lanjutkan baca...

Award untuk Hakim Tipikor

GAGASAN Indopos (Grup Jawa Pos) di Jakarta tentang urunan menggaji para hakim khusus yang menangani kasus tindak pidana korupsi (koran ini, 22 Desember 2004) perlu mendapat sambutan banyak pihak.

Gagasan tersebut mestinya juga direalisasikan di tingkat daerah provinsi sampai kabupaten/kota. Hal itu tiada lain bertujuan agar benar-benar dapat memotivasi keseriusan pemberantasan korupsi di negeri ini.

Lebih dari itu, kiranya perlu juga digagas penganugerahan award bagi para hakim (tipikor) yang berhasil membekuk lebih banyak koruptor, baik kelas teri maupun kelas kakap. Tentunya, penghargaan yang diberikan plus bonus uang yang disisihkan dari dana hasil urunan tersebut. Sebab, bagaimanapun, penghargaan berupa award –apapun bentuk barang dan namanya– akan terasa lebih prestisius daripada sekadar gaji.

Penghargaan tersebut tidak seperti bagi para artis peraih award, tetapi itu pasti akan bernilai bagi para hakim yang saat ini sedang bertugas menangkap para tersangka koruptor yang telah melahap uang rakyat. Selamat berjuang!

* Dimuat di kolom "Gagasan" Harian Jawa Pos, 6 Oktober 2004
Lanjutkan baca...