Ketika Mahasiswa di Antara Dua Pilihan


AHA, kegiatan tulis-menulis kalangan civitas akademika, sesekali masih terlontar ke ruang publik. Bincang-bincang mengenai topik itu tampaknya selalu menarik diperbincangkan. Kiranya begitu juga saat para mahasiswa baru mengenyam awal-awal perkuliahan di kampus sekarang.

Itu bisa dirunut misalnya, dari bahasan yang pernah cukup hangat beberapa waktu lalu. Semisal ulasan dari Om Anton Prasetyo yang pernah dimuat koran Jawa Pos edisi mingguan, dalam rubrik Di Balik Buku, dengan judul Gelora Menulis dan Berdemonstrasi Mahasiswa terdahulu. Lalu, bersahut dengan tulisan Mbak Mutimmatun Nadhifah bertajuk Tulisan, Demonstrasi, Gagasan Aksi di kolom yang sama dua pekan sesudahnya.

Sebelumnya, benak sekian lama hanya selalu digelayuti pertanyaan, bagaimana sebenarnya pandangan sekalian pihak atas fenomena itu, juga perkembangannya dari waktu ke waktu? Lebih-lebih suara gagasan mahasiswa kesannya nyaris ndak terdengar di jagat kepenulisan. Dibandingkan aksi demonstrasi yang bahkan kerap cenderung berakhir ricuh mutakhir.

Obrolan senada juga sempat mengemuka dalam acara Mata Najwa di televisi, dengan menghadirkan sejumlah politisi muda, sekaligus mantan aktivis mahasiswa beberapa waktu lalu. Narasumber yang hadir antara lain, Om Budiman Sudjatmiko, Om Fadli Zon, Tante Meutya Hafid, dan Om Akbar Faisal yang sudah cukup dikenal oleh khalayak. Pada kesempatan itu, mencuat kritik tentang hilangnya dimensi karakter mahasiswa. Semisal karakter berdebat dan karakter membaca peserta didik perguruan tinggi yang dinilai lemah kini.

Di sisi lain, terbersit harapan besar yang kadung dipikulkan ke pundak mahasiswa. Berkenaan dua lakon yang ”diwariskan” takdir sejarah pendahulu. Yakni, peran sebagai pegiat tradisi keilmuan, di antaranya melalui kegemaran menorehkan karya tulis (ilmiah). Lalu, selaku pemegang estafet ”agent of change” yang kaprahnya terlaksana dalam aksi demonstrasi menyuarakan aspirasi dan mengawal kepentingan rakyat.

Perbincangan demikian susah terelakkan. Belum lagi, ketika menyimak kecenderungan geliat sebagian mahasiswa yang serasa kian menjauh dari ”khittah”-nya selama ini. Taruhlah demonstrasi yang kerap berbuntut kekisruhan fisik. Kala manifestasinya juga cenderung tanpa ditopang basis ide argumentatif yang rasional. Sementara pengerjaan tugas karya tulis semisal makalah dan skripsi, terkesan masih jauh panggang dari api.

Hanya, sepatutnyakah bila semata mengarahkan sorotan high-light macam itu, mengingat beragam problematika yang sering terlewatkan, ikut pula melingkupi pasang-surut gerak pengenyam studi di universitas? Ingatan jadi tergamit kembali pada zaman pembicaraan soal mahasiswa sedang begitu cetar membahana dulu. Seiring tumbangnya rezim Orde Baru, hingga turut memunculkan sebutan tertentu.

Yakni, istilah mahasiswa biasa, mahasiswa luar biasa, dan mahasiswa biasa di luar. Pertama, julukan bagi mereka yang hanya datang, lalu pulang selepas jam kuliah dan masa bodoh dengan perkara unjuk rasa. Kedua, label bagi mereka yang selain bagus secara akademik, berorganisasi, dan berdemonstrasi ketika kebijakan pemerintah ndak senafas dengan kehendak rakyat, atau policy gedokan pemangku kampus yang ndak sejalan dengan kondisi mahasiswa. Dan ketiga, bagi para mahasiswa yang demen beraksi turun ke jalan, sampai acap meninggalkan jam perkuliahan.

Bukan hanya mahasiswa, sejumlah pengajar di kampus juga memilik julukan misalnya, ”dosen Orde Baru” serta ”dosen Reformasi” sesuai kebiasaan masing-masing. Istilah pertama bagi para dosen yang mementingkan pembelajaran di kelas belaka dan terbiasa dengan model pengajaran usang, layaknya para guru sekolah jadul. Mereka sebatas mengajar bermetode ceramah, mendiktekan bahan ajar, dan memberikan evaluasi.

Nilai ujian pun seringkali ditentukan hanya dengan lembaran jawaban yang sesak dengan tulisan, atau bagusnya rangkaian abjad guratan jemari mahasiswa. Dosen ini biasanya juga alergi berdiskusi dan ndak ambil pusing dengan pentingnya mengasah daya kritis mahasiswa, terhadap konteks sosial yang mengitari. Sedangkan kelompok dosen reformasi dicirikan sebaliknya.

Fenomena macam itu menyiratkan endapan sekelumit persoalan bawaan yang selanjutnya mengondisikan para mahasiswa, dalam pilihan yang ndak gampang bahkan kadang terasa dilematis. Taruhlah karakteristik setiap dosen bisa turut berpotensi memengaruhi pembentukan mindset untuk memilih sebagai mahasiswa biasa, mahasiswa luar biasa, atau mahasiswa biasa di luar. Begitu pun opsi berdaya dalam pergumulan tulis-menulis dan (atau) tegap dalam pergulatan aksi demonstrasi. Pertanyaannya, sudahkah gejala yang tanpa disadari ikut menyemai persoalan demikian, benar-benar telah berubah semilir pencerahan di setiap kampus hari ini?

Lebih jauh, gelora menulis para mahasiswa, tentunya ndak lepas dari semakin pudarnya teladan utamanya para dosen sendiri. Masih sedikit bingit pengajar universitas yang kuasa menorehkan karya ciamik dalam jurnal-jurnal ilmiah atau media massa. Pengamat edukasi sekaligus dosen Paramadina, Jakarta, Om M Abduh Zen, pernah mengungkapkan tentang rendahnya animo dan terbatasnya kemampuan menulis dosen.

Maka, perlu sinergi pihak-pihak terkait dalam menggelorakan tulis-menulis para mahasiswa. Bukan sekadar menaruh segunung harapan di bahu mereka, namun lantas membiarkan begitu saja atau mencak-mencak ketika mahasiswa sedang di persimpangan jalan. Bila komitmen dan keseriusan semua elemen sungguh terlaksana, rasanya tiada yang mustahil diwujudkan.

Jangankan ikhtiar melahirkan demonstran penulis layaknya Om Budiman Sudjatmiko yang mencetuskan buku Anak-Anak Revolusi: Kisah Nyata Budiman Sudjatmiko, membidani lahirnya generasi yang bugar dalam menggiatkan demonstrasi ide maupun demonstrasi fisik seperti Soe Hok Gie di masa lalu pun, kiranya bukan impian kosong. Walhasil, bagi sampean yang sedang menempuh pendidikan sebagai mahasiswa detik ini, akan memilih demonstrasi atau menulis? Hayooo...

Referensi bacaan:

Tambahkan Komentar

0 comments