MALAM nanti, saat yang penting sekaligus
mendebarkan bagi gadis itu. Dirinya akan berbicara pada ayah dan ibunya tentang
rencananya. Ia sudah memikirkan dan mempertimbangkan kemungkinan maslahat dan
mudharatnya, bagi dirinya maupun kedua orangtuanya, sejak empat bulanan lalu. Waktu
yang ndak sebentar, untuk kemudian mengambil keputusan.
Jantungnya berdetak lebih kencang
seharian ini. Cemas serasa ogah lepas mendekap erat sekujur tubuhnya. Buliran halus
keringat dingin sering merembesi telapaknya yang berjemari lembut. Ia ndak
kuasa menebak-tebak reaksi orangtuanya, kala mengetahui kemauan yang akan ia
utarakan. Pikirannya jadi ikut terpacu mencari berbagai cara, agar ia bisa
meyakinkan ayah dan ibunya. Bagaimana pun tekadnya sudah telanjur sebulat bola
basket.
Ia sebelumnya juga telah meminta
pendapat Alya, sahabat dekatnya. Kala merayakan detik-detik pergantian tahun, ala
wong ndeso beberapa hari kemarin. Sekadar hiburan dengan lesehan di
saung belakang rumah guru ngajinya, hingga lewat tengah malam. Bersama sejumlah
anak-anak yang ikut menginap, selepas belajar baca-tulis Alquran seperti
biasanya.
Sambil menikmati singkong rebus yang
dimasak bareng-bareng. Di bawah derai gerimis yang sesekali berubah hingar-bingar,
saat kembang api disulut para bocah, ditimpali sorak-sorai mereka. Kebersamaan
yang belum tentu bisa ia lalui tahun depan. Walau mungkin bukan yang terakhir
kali, semoga Gusti Tuhan Memberinya umur panjang setahun mendatang dan seterusnya,
agar kesempatan untuk memoles hidup sebaik-baiknya juga lebih terbuka.
Waktu terus melaju, ndak terasa
jam di ponsel bututnya menunjukkan pukul 01.15 dini hari. Sebagian bocah yang
tadi meluapkan keriangan pecah bingit, menghilang ndak terlihat
lagi batang hidung mereka. Barangkali mereka sudah terlelap di ruang tamu beranda
samping rumah Kiai Ikhlas, dengan mimpi indah masing-masing. Impian tentang
masa kanak-kanak yang ndak diinginkan lekas berlalu; meski sederet beban
mengepung, tapi selalu masih bisa mengulas semringah bahkan tertawa lepas.
Gerimis telah lama reda. Udara terasa
semakin dingin. Tinggallah ia dengan Alya masih selonjoran di saung. Dua bocah
perempuan tertidur dekat mereka. Ia menyelimuti keduanya dengan sarung anak
lelaki yang tertinggal. Saat itulah dirinya memberanikan diri untuk berbincang
dengan karibnya tersebut.
Alya sendiri puteri bungsu guru ngajinya
yang akrab disapa Kai, jadi ia menganggap gadis itu masih terhitung gurunya. Sebagaimana
pendidikan seputar tertib berguru, dalam kitab akhlak pembelajar. Mungkin karena
usia mereka sebaya dan satu lingkungan sekolah dari kelas satu SD terdahulu,
mereka bersahabat layaknya saudara. Bahkan, ndak sedikit warga dusun-dusun
sekitar yang mengira keduanya bersaudara atau sepupu.
”Ning, ada yang ingin aku sampaikan neh.
Aku ingin meminta pendapat sampean” ujarnya memulai perbincangan, sambil
menyemil potongan singkong rebus yang tersisa.
”Ciyus? Tumben, Na. Apa tentang
Mas Bajra yo? Dia pulang tadi sore, liburan kuliah lho” balas
gadis di sebelahnya itu dengan tingkah menggoda.
”Ada-ada saja sampean. Nanti
bisa jadi gosip, Kai dan Nyai ikut kecipratan lho, Ning” sergahnya
dengan meminta sahabatnya itu memelankan suara.
”Kalau benar gimana? Lagi pula aku
senang andai kau jadi kakak iparku. Hanya saja, aku ndak bakal
memanggilmu Mbak tapi Mbok hahaha...” balas gadis berambut pirang bawaan
orok tersebut ndak mau kalah, dan tawanya memecah kesunyian.
”Ssst jangan keras-keras, nanti
orang-orang pada bangun. Aku serius, Ning” tukasnya dengan memegang lengan
karibnya itu. Walau begitu, ia ndak urung tergelitik mendengar canda gadis yang
selalu energik tersebut.
”Oh, jadi serius neh?
Baiklah, kalau bukan soal Mas Bajra, lalu apa yang hendak kau bicarakan, Na?”
jawabnya.
Beberapa saat kemudian, mereka
berbincang-bincang ganyeng. Pembicaraan mereka sempat pula
menegang. Ketika sahabatnya itu mempertanyakan alasan dirinya, hingga mengambil
keputusan yang juga akan disampaikan pada orangtuanya tersebut. Alya tampaknya ndak
menyetujui pilihannya yang dinilai edan. Ketegangan berlangsung sampai di akhir
obrolan.
”Pokoknya aku ndak setuju. Kau ini
sudah gila yo, Na? Dan aku beritahukan pada Mas Bajra, rencana edanmu
itu sekarang juga!” kata sahabatnya itu lalu beranjak meninggalkannya.
”Jangan bilang-bilang dulu, Ning!”
cegahnya. Tapi gadis itu lebih dulu ngeluyur pergi dengan
bersungut-sungut.
”Kenapa sampean yang justru
serius begitu, Ning?” batinnya setelah gagal mencegah langkah sahabatnya. Ia hanya bisa
menghela nafas. Pandangannya menerawang jauh, seakan hendak menjangkau sayap-sayap kelam. Di kejauhan terlihat bola-bola api kecil meluncur deras, lantas
berpendar sebentuk kembang menyibak pekatnya angkasa. Langit menjadi terang dengan cahaya
warna-warni sejenak. Rupanya masih ada yang belum tidur di sana.
Rasa was-was seketika terasa
menyergapnya. Ia baru membicarakan azamnya dengan karibnya untuk
meminta pendapat saja, mendapat penolakan begitu rupa. Lalu, bagaimana ia akan
menyampaikannya pada ayah dan ibunya malam nanti? Padahal, ia sebatas ingin menggapai
nyata secercah impian. Layaknya bola-bola pijar kembang api yang melesat ke awang-awang itu. Siapa tahu juga bisa sedikit
membenderangi kehidupannya yang gulita, dengan pendar berwarna-warni esok.
Cukup lama ia termenung, hingga
lamat-lamat terdengar suara jejak kaki mendekat ke arahnya. Semilir angin sekonyong-konyong berembus, membuat rambut kuduknya merinding.
Ilustrasi: Deviant Art