Pohon Besar: Antara yang Dipikirkan dan Realita



MULANYA sempat terpikirkan bahwa pohon besar, juga pasti besar alias banyak gunanya. Di antara lelaki-perempuan, tua-muda, kaya-miskin dan seterusnya bukan mustahil banyak yang menyukainya.

Ukuran batangnya yang melebihi lingkar pelukan tangan orang dewasa, tentu bukan sekadar pijakan dahan, ranting, daun dan (atau) buahnya. Tapi kegunaannya dapat pula sebagai tempat berlindung dari potensi bahaya. Lalu, rimbun dedaunnya bisa menepis deraan cuaca panas dan guyuran hujan. Dan masih banyak hal lain dari pohon besar yang membuat siapapun akan berpikiran serupa.

Setidaknya, kala para sedulur yang hendak menikmati jedah perjalanan di bawah terik matahari atau hujan, kemungkinan segera bergegas mencarinya. Jika tumbuh di sekitar pekarangan rumah, keberadaanya tentu akan disukai bocah-bocah untuk persembunyian. Semisal ketika mereka sedang bermain petak umpet bareng sebayanya, melampiaskan kesuntukan selepas bergumul dengan setumpuk kegiatan sekolah.

Anak-anak orang bule pun demen banget dengan pohon gede di luar negeri sana. Biasanya mereka akan membuat rumah pohon. Semacam ruang mini untuk bermain atau sekadar menyendiri. Kala riuhnya keramaian ndak lagi melipur keinginan. Dan saat kesendirianlah yang bisa memberikan kenyamanan.

Pembuatan rumah pohon bahkan seringkali didesain begitu ciamik, lengkap dengan perabotan sederhana. Lalu terdapat ayunan dan lain-lain di sekitar bagian luarnya. Dengan begitu, anak-anak bakal merasa nyaman ketika membutuhkan sedikit kamar privasi yang berbeda nuansanya. 

Sampean pun tentu masih ingat, ketika pria urban yang berstatus pemulung, bertempat tinggal di sebuah pohon meski ndak terbilang besar. Rumah pohon lelaki paruh baya itu berada di tengah keriuhan jalanan Ibukota Jakarta. Begitulah sebagian gambaran tentang pohon besar dan bisa jadi masih bejibun sensasinya yang terpikirkan oleh kebanyakan orang. Mungkin sama halnya geliat pikiran sampean, tho? hehehe...

Waktu terus merangkak, seakan ikut menggamit geliat pikiran silam tentang pohon besar ketika menapak ragam kenyataannya detik ini. Saat berbagai informasi berikut temuan keseharian terkini menyesaki benak dari hari ke hari, bahkan dari menit ke menit, ternyata pohon besar ndak selalu seindah yang dipikirkan antara dulu dan sekarang, yo?

Era kini, entah bagaimana awalnya pohon besar telah menjelma ”horor modernitas”, ketika sebarannya menebarkan teror utamanya di kota-kota besar. Tengok saja rangkaian kasus pohon-pohon tumbang hingga ndak jarang memakan korban selama ini. Memang kejadiannya melibatkan angin puting beliung, namun tetap saja tersangkanya yang kasat mata adalah pohon-pohon itu hehehe...

Di pelbagai tempat lain, pohon-pohon besar ”dibantai” habis-habisan oleh sekelompok Qarun abad teknologi yang kemaruk terus menimbun gelimang kekayaan dan kemewahan. Jangan heran, tingkah binal mereka sering membuat langit bersedu sedan, hingga saat berlinang derai hujan bumi pun ndak sanggup turut menanggungnya. Lantas guyuran airmata semesta mewujud bah yang mengakibat genangan banjir, longsor dan seterusnya. Pada akhirnya nyawa para manusia ikut beterbangan terbilas deras alirannya.

Itu pun baru permukaan realita yang sering terlihat, bahwa pohon lebih-lebih pohon besar bukan lagi naungan yang menyodorkan kenyamanan bagi sebagian orang. Pohon besar ndak bisa dijadikan tempat berlindung atau sekadar berteduh lagi. Para bocah tampaknya juga mulai enggan membuat rumah pohon atau sekadar mengajaknya bermain petak umpet dengan teman-teman sepermainannya. Mereka lebih suka bergaul dengan peranti-peranti teknologi ndak bernyawa seperti internet yang dianggap lebih mengasyikkan.

Ternyata besar pun ndak cukup di abad kekinian, yo? Mungkin apapun yang besar tetap akan diinginkan, tapi bukanlah jaminan untuk memuaskan kebutuhan. Kiranya segala yang besar di dunia ini, juga ndak selamanya menjamin apa yang dibutuhkan. Termasuk cinta sekalipun, yo? hehehe...
Tambahkan Komentar

0 comments