Tentang Kehilangan


MATAHARI sedang dermawan, menghambur-hamburkan panasnya siang itu. Aspal jalanan sampai bercucuran peluh kebagian cipratannya. Mata juga terasa perih, kepala cenat-cenut dan kerongkongan bagai kemarau seumur penjajahan Londo hehehe... 

Sekuriti yang sebatang kara 
Andai saja bukan demi keperluan penting tingkat atap gubuk, tentu ogah banget keluar rumah saat tengah hari itu. Hendak kembali juga tanggung, hanya tinggal satu klien. Belum lagi eksekusinya ndak bisa ditunda pada lain waktu, bisa gaswat! Maka, dengan berat kepala perjalanan kudu terus berlanjut.

Sambil berlomba dengan aspal jalanan yang terus menepis gratisan dari matahari, akhirnya tiba juga di tujuan. Kantor BPOM Kota, alhamdulillah. Usai ba-bi-bu sejenak dengan sekuriti, langkah cepat-cepat menuju lobi. Setiup hembusan dingin AC wuuus menyambut setelah pintunya terbuka. Adem. Lumayan, sebagai jedah berciat-ciat dengan panas tadi, bisik hati kikikikikikkk...

Lebih bersyukur lagi, orang yang akan ditemui ternyata masih ngantor di ruang kerjanya. Cukup impas rasanya dengan tubuh yang serasa terpanggang dan kepala yang bagaikan ditimpuk sekarung onde-onde. Eh mata seketika ndak mau kalah, ikut menjadi 5 watt, hadeeeh. Tanpa menunggu lama, urusan pun digeber seksama. Dan jebreng jebreng sudah beres kurang dari setengah jam.

Tibalah saatnya pulang. Layaknya anak-anak sekolah yang mendengar bel akhir jam pelajaran, kaki melesat ke arah pintu keluar. Kemudian tergopoh-gopoh ke tempat parkir. Beberapa detik berikutnya, telah siap cabut dari sana. Ketika jemari siap menyalakan mesin kendaraan yang memang diparkir bersebelahan dengan pos sekuriti, terdengar suara dari balik punggung.

Nggak beli sale, Mas?” rupanya satpam yang tadi.
”Maaf, Pak?”
Nggak beli sale ta?” ulangnya dengan senyuman.
”Oh, maaf ndak, Pak”
”Salenya enak lho, Mas. Sebungkus ini hanya Rp12.000 kok” rayunya sambil menyodorkan bungkusan plastik tembus pandang berisi panganan dari pisang itu.
”Maaf ya, Pak. Barangkali lain waktu saja hehehe...”

Namun, petugas keamanan itu tampaknya masih ingin mengobrol. Ia semakin mendekat, keinginan untuk langsung tancap gas menjadi tertahan. Bagaimana pun hati ini ndak tega jika mengabaikannya lalu ngeluyur pergi begitu saja. Pada saat bersamaan, perut memulai intro lagu ”hujan mendadak di atap seng” oalaaah...

Ya begini, Mas, nyambi berjualan sale” selorohnya dengan tersenyum.
”Wah mantab tuh, Pak. Bapak termasuk orang yang ulet memanfaatkan kesempatan. Omong-omong Bapak asli sini?”
”Iya, Mas” ujarnya.
”Kalau ibu?”
”Asli Jawa dan sudah lama meninggal, Mas” tuturnya.
Hmmm... Maaf ya, Pak”
”Tidak apa-apa kok, Mas” jawabnya.

Raut wajah lelaki itu begitu ayem. Tapi pandangannya terasa membersitkan pilu yang terpendam. Semacam butiran duka yang menyertai di sela-sela masa lalunya. Antara lain kesedihan sebab istrinya berpulang ke rahmatullah sebagaimana dikatakannya. Hasrat untuk pulang jadi semakin mengendur. Tapi biarlah, toh agenda hari itu sudah terealisasi dengan baik.

”Putera bapak berapa?”
”Alhamdulillah saya dikaruniai oleh Allah dua orang anak. Keduanya juga telah meninggal beberapa waktu lalu sebelum istri saya kembali pada Yang Maha Kuasa” terangnya dengan tetap tersenyum.
”Sekali lagi maaf ya, Pak”
Nggak masalah, santai saja, Mas. Jadi, pertama kedua anak saya meninggal secara bergantian. Lalu istri saya. Dan belum lama ini, ibu saya yang menjadi satu-satunya orang pelipur kangen akhirnya menyusul ke alam baka. Kalau ayah sudah meninggal sejak saya lulus Sekolah Dasar. Saya tinggal sendirian sekarang” ungkapnya dengan pandangan yang mulai berkaca-kaca. 

Ups, mulut tercekat. Sungguh ndak terduga lelaki usia empat puluh tahunan itu ternyata menyimpan serangkaian balada sendu. Dalam keadaan begitu, ndak sempat terpikir jangan-jangan bapak dua anak tersebut hanya mengarang cerita. Siapa tahu memang demikian adanya, siapa tahu pula lebih getir dari yang terucap dan terlihat.

”Kenapa bengong, Mas?” sergahnya tiba-tiba sambil tersenyum.
Oh, ndak kenapa kenapa kok, Pak. Saya hanya berpikir, saya perlu banyak belajar kepada orang setegar njenengan
Ah, Mas ini bisa saja” kilahnya dengan senyum lebih merekah. Genangan air di matanya seakan hendak melinang, tapi buru-buru ia menatap ke langit.

Lho beneran kok, Pak. Omong-omong maaf banget, Pak. Sepertinya saya harus pamit untuk melanjutkan perjalanan”
”Silahkan silahkan, Mas. Ya, begitulah ujian dari-Nya yang harus saya jalani. Hidup ini kan memang hanya perlu terus bergerak penuh syukur, apapun yang terjadi” sahutnya.
”Bener banget itu, pak. Semoga kita masih dipertemukan lagi hingga saya berkesempatan menimba pelajaran hidup kepada njenengan geh
”Amin. Hati-hati di jalan, Mas”
”Siap, Pak. Terima kasih. Assalamu’alaikum”
”Wa ‘alaikum salam”

Keluar dari halaman kantor itu, semangat yang tersisa hanyalah ingin mencari warung terdekat. Sekurangnya untuk nyeruput wedang kopi hot pereda kepala yang terasa berat. Sementara elegi sekuriti yang sebatang kara tadi masih terngiang di kuping. Pikiran ndak sanggup membayangkan beban perasaan kehilangan yang ditanggungnya, andaikan diri ini yang mengalaminya.

* * * * * * *

Sungkawa gadis rantau
Jam terasa berputar cepat banget. Usai mengisi perut dan ngopi sepulang dari kantor lembaga pengawas obat-obatan dan makanan itu dengan bonus testimoni nestapa sekuritinya, eh lantunan ayat-ayat suci persiapan menjelang shalat Ashar sudah terdengar bersahut-sahutan dari corong sejumlah masjid sekitar. Pertanda memang harus cepat-cepat pulang sebelum hujan yang biasanya turun saban menjelang petang hingga malam.

Dalam perjalanan, benak teringat pada sahabat anyar di kota ini. Sudah berhari-hari ndak bertemu dengannya. Kabar terakhir dari gadis itu, ia akan pulang kampung sebentar. Tapi sampai lewat dari hari yang seharusnya ia telah kembali, masih belum terlihat batang hidungnya, membuat pikiran sempat bertanya-tanya.

Jangankan sahabat atau teman, terhadap kenalan baru yang sering bersua dan nyambung saja, diri ini biasanya langsung dihinggapi rasa ingin tahu ketika ndak saling jumpa atau berkomunikasi dalam beberapa kesempatan belakangan. Mungkin begitulah seharusnya kebersamaan dalam jalinan persahabatan yo? hehehe...

Ketika memasuki ruas jalan kawasan tempat gadis itu bekerja, mata melihat-lihat sekeliling. Mungkin akan berpapasan dengannya. Tiba di pertokoan yang hanya selisih beberapa blok dari tempatnya bekerja, terlihat dua gadis berjalan sehabis keluar dari warung depan seberang jalan. Kalau diperhatikan, salah seorang di antaranya mirip dengannya.

Lebih-lebih rambutnya yang sedikit pirang tergerai panjang dan cara berjalannya yang gemulai. Sedangkan gadis satunya lagi tampaknya memang teman dekatnya, itu bisa dipastikan saat ia menoleh kepadanya. Tanpa menunggu lama, coba memacu kendaraan untuk mendahului kedua gadis itu. Aih, benar saja, memang dirinya bersama teman dekatnya.

Ih, Mamas ini mengagetkan orang saja” celetuk teman dekatnya saat mereka terkejut melihat kendaraan berhenti di depan mereka. Dia tersenyum simpul. Tapi sepintas terpancar sesuatu di matanya.
”Apa kabar? Kok lama ndak mencungul rek?”
”Baik, Mas. Mas sendiri apa kabar?” jawabnya dengan senyum khasnya.
”Alhamdulillah, baik juga. Kapan balik neh?”
”Kemarin, Mas” balasnya, rona wajahnya mulai mencair lembut. Kami pun menepi untuk mengobrol.

Eh tiba-tiba menghilang. Biasanya kontak atau SMS, kok tumben jadi sepi beberapa hari ini. Ada cerita apa saja neh, berbagi geh
Mamas-nya saja yang ketinggalan info. Dia neh Mas, sedang berduka. Ibunya baru meninggal” sergah temannya dengan gaya centil.
Lho iya ta? Bagaimana ceritanya?”
”Tanya langsung saja pada orangnya geh! Ya, sudah, gua duluan, biar Mamas-nya ngobrol dengannya saja” tukasnya dengan bibir manyun. Yang ditunjuk hanya tersenyum kalem.
”Benar ndak apa-apa ngobrol sebentar neh. Apa kalian ndak dimarahi bos kalian nanti?”
”Tenang saja, bos sedang keluar kota, Mas. Ya, sudah gua duluan, yang rukun ya” ledeknya sambil melambaikan tangan, pergi.

”Apa benar ibumu meninggal?” kami mencari tempat duduk.
”Iya, Mas” ucapnya pendek.
”Kapan? Sakit apa?”
”Kemarin tujuh harinya, nggak sakit apa-apa sih” sahutnya.
Kok kamu ndak memberi kabar sih? Lalu?”
”Ibu memang begitu. Kalau sakit nggak menceritakannya kepada anak-anaknya. Setiap ditanya, ibu pasti bilang baik-baik saja. Mungkin ibu nggak mau bikin susah anak-anaknya” tuturnya dengan menunduk.

”Kerabatmu yang masih di rumah kini siapa saja?”
”Bude dengan kakak sulung gua, Mas” ujarnya
Lho ayah di mana?”
”Ayah kan sudah lama meninggal duluan, Mas?”
”Iya ta? Kok kamu ndak pernah cerita juga?”

Gua kasihan banget pada adik bungsu gua. Selalu mencari ibu, apalagi jika ia sedang terbangun di tengah malam” terangnya semakin menunduk. Sesekali ia melempar pandangan ke sekeliling.
”Adik bungsumu usianya berapa?”
”Baru empat tahun. Saudara-saudaraku juga masih kecil. Hanya, kakak sulung yang sudah berkeluarga” airmatanya pun berlinang.
”Sabar, ya. Kalau ingin berbagi cerita, jangan sungkan-sungkan kontak atau SMS, ya

Hanya kalimat terakhir itu yang bisa terucap dari bibir ini. Beberapa menit kemudian, ia pamit untuk kembali bekerja. Sekujur tubuh menjadi lemas sepanjang perjalanan ke rumah. Apalagi, bila coba memikirkan lagi perasaan orang-orang yang sedang dilanda kehilangan macam itu. Bagaimana ndak? Perasaan kehilangan menyergap ketika waktu lebih cepat membawa kabur apapun yang tanpa disadari masih teramat diinginkan bahkan dibutuhkan banget.

Namun kita memang kudu selalu siap dengan kehilangan. Sebab, pada dasarnya kita memang ndak memiliki apa-apa dalam kehidupan ini. Apapun hanyalah dari-Nya dan pasti akan kembali jua ke Hadirat-Nya. Ibaratnya kita ndak mempunyai HP atau BB dan peranti lainnya untuk menyokong kebutuhan sehari-hari, lalu dipinjami secara cuma-cuma yang suatu saat bakal diminta lagi. Wallahu a'lam bish-shawab!
Tambahkan Komentar

0 comments