MENUNGGU memang hal yang membosankan. Apalagi, bila hanya ditemani matahari yang
sedang hot sekian lama hehehe...
Seperti yang saya rasakan pada siang bolong saat itu. Rada mendingan,
saya menemukan pohon nangka yang lumayan rindang daunnya untuk berteduh. Angin
sepoi-sepoi langsung berembus seakan juga hendak ikut mengademkan. Walau
begitu, kerongkongan terasa kering banget.
Di sela penantian yang boring, aksi sepasang merpati yang berada ndak
jauh dari tempat saya duduk, mencuri perhatian saya. Merpati yang bertubuh lebih
gede; kaprahnya jantan, berulangkali mematuk kepala merpati yang berbadan
sedikit langsing; galibnya betina, di sebelahnya. Si jantan sesekali pula megagah
dengan membangkitkan bulu-bulunya, lalu mengitari si betina, sambil bersuara
mirip orang mendengkur. Kata orang, kedua burung itu sedang bercengkerama hehehe...
Kadang pikiran tergelitik. Benarkah ketika burung dara jantan
mematuk-patuk kepala sejolinya bahkan sering hingga botak, pertanda kemesraan
atau ungkapan semacam cinta dan sayang? Apa tingkah demikian ndak justru
menyakiti yo? Sementara, jenis piaraan ini kerap dibilang paling setia
terhadap pasangannya, ketimbang binatang-binatang lainnya sekaligus dijadikan
simbol kesetiaan.
Namun, jika sejenak melongok kembali serangkum kenyataan geliat pergaulan
terutama di kalangan muda-mudi masa kini, memang ndak jarang berbumbu
kekerasan. Demi perasaan cinta, ndak sedikit ABG yang seolah rela
tersakiti bahkan sengaja kerap menyakiti kekasihnya. Saya telah beberapa kali sempat
menjumpai sendiri realitanya dan sekadar merangkumnya dalam catatan lawas dulu,
selengkapnya monggo cekidot di sini.
Cebluuung... cebluuung... ponsel
saya berdering, getarnya membikin kaget. Saya merogoh saku celana untuk
mengeceknya. Ternyata satu pesan baru masuk. Angka jamnya menunjukkan pukul
14.30, ndak terasa saya telah berdiam diri sejam lamanya di sana. Ketika
sedang membuka SMS, kuping mendengar perbincangan dari arah belakang.
”Gua punya hutang lima ribu ma Markoplak. Awalnya sih gua
hutang seribu, besoknya jadi dua ribu. Besoknya lagi karena gua belum juga
punya duit buat balikin, jadi tiga ribu dan jadi lima ribu hari ini” kata salah
seorang di antaranya.
Perbincangan itu sedikit mengusik konsentrasi saya ketika membaca pesan
di hand phone. Saya menjadi penasaran, siapa mereka yang berbincang-bincang
tersebut. Lalu saya pun menunggu untuk mengetahuinya tanpa menoleh ke belakang.
Dan suara langkah yang membuat kerikil jalanan beradu, makin lama terdengar
semakin dekat.
Busyet! Ternyata dua anak berusia
sembilan tahunan. Saya pikir, orang dewasa paling ndak remaja seusia
murid SMA atau mahasiswa. Atau, maaf, ibu-ibu yang biasanya memerbincangkan seputar
urusan tersebut. Yang lebih aktif mengoceh layaknya makelar tadi, ndak henti-hentinya
seakan berusaha memengaruhi teman yang tengah bersamanya. Sedangkan temannya
yang diajak bicara lebih banyak diam, hanya sesekali menyahut dengan nada
dingin.
Rampung membaca tuntas pesan di ponsel, saya bergegas pulang. Obrolan antara
kedua bocah itu masih bergelayut dalam benak sepanjang perjalanan. Entah apa saya
harus merasa geli, prihatin, atau gregetan mengingat percakapan rentenir
ingusan tersebut. Setiba di rumah, saya iseng browsing mencari persamaan
kata ”rentenir” versi bahasa Inggris untuk kemudian menyimak beragam ulasannya.
Ups, hasil pencarian yang saya dapatkan untuk kosakata
tersebut adalah ”loan shark” di beberapa situs, berikut pemakaian
sebutan lain bagi pegiat lelaku membungakan pinjaman fulus yang selama ini
diistilahkan ”lintah darat” oleh umumnya masyarakat di tanah air. Mungkin
serupa istilah ”hiu darat” yo? Oalaaah...