Tafsir Buram Alquran dalam Fiksi Abad Kejayaan



EPISODE serial televisi Abad Kejayaan menjelang eksekusi Ibrahim Pasha, rada mengusik pikiran. Soal pemakaian dalil Alquran sebagai dasar hakim kerajaan untuk melaksanakan eksekusi mati terhadap dirinya.

Babak-babaknya terdahulu sejak awal, saya lewatkan begitu saja. Lantaran kemasannya terasa kalah ciamik dengan Jodha Akbar, sinema lain keluaran stasiun televisi yang sama. Busana para aktor perempuan dalam AK juga sarat dengan sensor. Maka, lebih dulu perlu disepakati tontonan ini sebatas hiburan. Walau berlatar sejarah Dinasti Ottoman (Turki Utsmani), kisahnya hanyalah fiksi yang ndak bisa dijadikan rujukan melongok peradaban Islam masa silam.

Memertanyakan Tokoh NU di Setiap Akhir Tayangan
Sebagaimana pandangan utamanya kalangan Nahdhatul Ulama (NU), ketika turut menyikapi kontroversi yang sempat ramai, pada awal-awal penayangannya hingga berbuntut teguran dari KPI dulu. Jadi, sekali lagi sinema berseri yang semula berjudul King Suleiman itu fiksi bukan film dokumenter! Sedikitnya dua tokoh berlabel NU lantas juga rutin memberikan tausiyah singkat, masing-masing di setiap akhir tayangannya belakangan.

Dari sini, entah mengapa tokoh ormas segede NU masih perlu mengulas pada tiap episode yang baru kelar tayang. Kesannya sekadar justifikasi bahwa acara itu memang laik ditonton oleh masyarakat. Toh bukankah telah dipahami bahwa serial yang judul aslinya Muhtesem Yuzyil itu fiksi guna menghibur pemirsa belaka yang bisa jadi pula ndak terkait dengan Islam?

Hingga pada satu malam, sambil menunggu iklan jedah acara talk show layar kaca, saya iseng menontonnya. Waktu itu episode detik-detik sebelum Ibrahim Pasha dijatuhi hukuman mati. Bermula dari intrik istri raja, Hureem, setelah mendapatkan bocoran informasi dari anteknya, tentang salah satu notulen bincang-bincang sang Perdana Menteri selama menerima utusan kerajaan lain. Di dalamnya tercatat pernyataannya yang bernada penghinaan, yakni mengonotasikan penguasa Ottoman bagaikan singa dan ia sendiri adalah pawangnya.

Catatan tersebut kemudian diserahkan kepada Baginda Suleiman dan membuat batinnya seketika mengaum bak singa tengah murka. Terbersit dalam pikirannya, sahabatnya yang telah mendampinginya dalam memegang tampuk kekaisaran bertahun-tahun itu, telah begitu menjatuhkan harga dirinya. Lalu, ia terpikir untuk segera menghukumnya. Pada saat bersamaan, ia teringat janjinya bahwa selama ia hidup akan menjamin keselamatan adik iparnya yang sudah ikut memberikannya sederet kemenangan dalam berbagai perang tersebut. Dilema pun menyelimuti hatinya.

Mengapa Harus Mencomot Dalil Kitab Suci?
Raja kemudian meminta Kadi (hakim) Efendi, untuk mencarikan solusi atas keinginannya. Yakni, memberikan sanksi hukum terhadap Ibrahim Pasha dengan tanpa melanggar janjinya sendiri. Hakim mengiyakan dan tanpa membuang-buang waktu memelajari seluruh perundang-undangan. Termasuk beragam literatur yang dijadikan pijakan dalam penjatuhan hukuman sebelumnya. Berhari-hari siang dan malam hakim sepuh ini memelototi tumpukan kitab, risalah dan pustaka lainnya. Sampai akhirnya ia merasa ada referensi yang relevan, lalu ia bergegas menemui raja untuk memberitahukannya.

Kaidah hukum itu disebutkan bersumber dari Alquran surah Az-Zumar ayat 42, terjemahannya berbunyi, ”Allah memegang jiwa (seseorang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (seseorang) yang belum mati sewaktu tidurnya; maka Dia tahan jiwa (seseorang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran) Allah bagi kaum yang berpikir.

Usul tersebut diamini oleh Baginda Suleiman, untuk kemudian dipakai sebagai acuan mengeksekusi Ibrahim Pasha, dengan ia tetap ndak mengingkari janjinya. Eksekusinya harus dilaksanakan saat dirinya sedang tidur. Lantas, raja mengondisikan karibnya buka puasa bareng di istananya. Ketika malam semakin larut, ia meminta pria yang juga suami Nigar Kalfa itu bermalam di kamar yang bersebelahan dengan ruang tidurnya. Perdana Menteri pun dieksekusi kala baru terlelap, dengan jeratan tali oleh kawanan prajurit khusus secara diam-diam, hingga meregang nyawa di tengah malam bulan Ramadhan yang mencekam akhirnya.

Nah, adegan yang dipertontonkan terasa janggal. Saya bukan sineas, bukan pula kritikus fiksi. Tapi, sebagai pemirsa dengan tetap menganggap AK hanya tayangan fiksi, saya merasa alurnya ndak konsisten dari gagasan dasarnya. Raja yang mulanya diharuskan sedang tidur seperti arahan hakim, masih diragukan benar-benar sedang lelap. Ia justru tampak galau hingga amat susah terpejam sebelumnya. Lalu, saat pengeksekusi melakukan tugasnya, Ibrahim Pasha sempat meronta dan berteriak  memanggil raja. Kejadiannya berlangsung di kamar yang terlihat berimpitan, sehingga agak susah dinalar jika ndak terdengar kegaduhan. Lebih janggal lagi, bukankah eksekusi akan terlaksana hanya atas perintah raja?

Fragmen itu menyisakan pertanyaan berikutnya. Mengapa harus mencomot dalil Kitab Suci hingga membacakan redaksi lafazh berikut terjemahannya segala yo? Sementara, terasa masih ada missing link dalam penafsirannya, saat ayat yang menyiratkan deskripsi kondisi parapsikologis antara mati dan tidur, digunakan sandaran penerapan hukum positif. Kalau sebagai penjelasan medis, barangkali masih nyambung, semisal tentang keadaan koma pasien. Sekaligus menandakan bahwa Alquran sudah menjelaskan tentang ilmu kedokteran dari berabad-abad lampau.

Jika ternyata hanya untuk ”akal-akalan” guna memecahkan kebuntuan hukum, kiranya ndak perlu menggunakan Alquran, terlebih sebatas urusan tayangan fiksi. Walau begitu, karena Abad Kejayaan semata tontonan fiksi, terlalu memersoalkan pencomotan nash Alquran demikian bakal dianggap berlebihan. Hanya saja, dari perspektif fiksi pula akan semakin maknyus bila pemecahan dilema sang raja, demi menuntaskan konflik dengan Perdana Menteri yang juga sahabat dekatnya itu, dengan strategi yang lebih kreatif dan seru. Bagaimana menurut sampean?
Tambahkan Komentar

0 comments