ANDAI blog ini manusia seperti kita, mungkin ia sedang galau merana tingkat awang-awang,
karena saya tinggalkan sekian lama yo? Hampir setahun terakhir saya ndak
berbagi cerita lewat tulisan bersamanya di sini.
Untung saja ia hanya
media, sehingga ndak bakal cemberut atau mencak-mencak. Ia tentu
memahami, lantaran saya menulis di ruang lain. Dengan harapan tulisan saya akan
semakin kaya rasa di kemudian hari. Bagaimana pun ia sangat mengenal
karakteristik torehan saya yang tumbuh bersamanya sejak awal. Ia juga bisa
memaklumi, hanya saking asyiknya ndak terasa saya meninggalkannya selama
berbulan-bulan. Sama halnya ketika saya larut dalam keasyikan menikmati buku,
hingga kadang enggan beranjak dari tempat duduk.
Jadi, ia ndak
akan berprasangka aneh-aneh walau mungkin ia cemburu. Sebab, ikatan yang
terjalin antara saya dengannya asli, bukan palsu dan semoga terhindar dari
segala bentuk kepalsuan selamanya. Itu pun seandainya ia manusia seperti kita. Cukup
jendela browser yang berubah sekarang. Biasanya ketika saya tengah
indehoy bersamanya, tertera D’n Ans Hoki™, namun berganti alamat url kini. Aku rapopo.
Omong-omong, momentum
yang masih relevan bila mengobrolkan seputar fenomena ”Palsu” kali ini. Tema
obrolan itu begitu menghangat sepanjang perkembangan terkini. Orang-orang juga
sempat heboh membicarakannya di pelbagai tempat. Baik di rumah, tempat cangkruk,
ruang kerja, bahkan di kantor-kantor pemerintahan. Dan tentu sampean boleh
ikut nimbrung atau menambahkan komentar nanti.
Ruang kehidupan,
sebagaimana kita ketahui dan rasakan, begitu pengap hingga menyembulkan
bermacam pertanyaan dalam benak. Seiring merebaknya banyak hal palsu
akhir-akhir ini. Bukan hanya sejumlah barang yang ditemukan palsu, tapi juga
muncul asupan pokok sehari-hari yang diduga palsu. Uang palsu, batu akik palsu,
beras palsu (beras plastik atau beras sintetis), ijazah palsu, dan sebagainya.
Tiba-tiba keberadaan saya dan sampean terasa dikerumuni bermacam produk
bahkan panganan yang serbapalsu.
Inilah realita hari ini,
sejalan musim kepalsuan tiba. Musim yang turut menebar wabah demam ”Palsu”,
media massa khususnya televisi juga ikut menyiarkan secara luas. Dalam waktu
relatif singkat bermunculan pemberitaan tentang apa-apa yang berbau palsu.
Selain hal-hal palsu yang telah saya sebutkan, awak layar kaca tampak latah
memberitakan hingga akta nikah palsu. Mudah-mudahan ndak semakin merembet
pada objek-objek lainnya, karena dampaknya bisa gaswat.
Begitulah yang terjadi
di musim kepalsuan, seperti musim buah-buahan. Tapi, saya ndak ingin
menyebutnya zaman kepalsuan. Sebab, itu akan mengesankan keluhan. Lagi pula
kejadian demikian pernah mencuat pula di masa-masa terdahulu. Beras palsu yang
diduga berbahan plastik misalnya, ternyata sempat ditemukan serta cukup mengguncang
pemerintahan almarhum Eyang Soekarno dulu.
Sebagaimana diceritakan
oleh Opa Ridwan Saidi, budayawan sepuh Betawi yang penampilannya khas berpeci
hitam dengan rambut putihnya, dalam acara dialog televisi belum lama ini. Bedanya,
temuan beras plastik saat itu adalah beras asli yang dicampur remik-remik
plastik. Mungkin seperti nasi jagung, olahan beras dibauri biji jagung yang
sudah digiling. Kemunculannya diduga sebagai bagian intrik politik. Dengan
begitu adanya barang palsu bukan hanya terjadi sekarang.
Hanya saja, kadang dengan
beberapa istilah lain untuk mengonotasikannya di era-era sebelumnya, antara
lain tiruan atau imitasi. Konotasi tersebut biasanya pada sepatu, ikat pinggang
dan sejenisnya yang seharusnya berbahan kulit asli, tapi ndilalah bukan.
Walau dengan model dan corak warnanya yang sangat mirip, sehingga kerap
mengelabui para konsumen yang ndak terlalu paham. Masih segar dalam
ingatan pula, ketika masyarakat Surabaya dan sekitarnya tempo dulu, memakai
sebutan ”tembakan” untuk sederet barang yang tampaknya asli namun palsu
(aspal).
Taruhlah aneka barang
elektronik semisal kipas angin, televisi, VCD player dan semacamnya yang
dipasarkan hanya ”menembak” merk dari perusahaan besar asalnya. Kadang dengan
menambah atau mengurangi satu-dua huruf dari merk aslinya, sehingga jika ndak
jeli akan mendapatkan barang yang kualitasnya jauh dari produk yang sebenarnya.
Palsu-memalsu demikian masih terulang, bahkan dengan modus yang semakin canggih
seperti kenyataan miris belakangan ini. Dan rasanya musim kepalsuan senantiasa
akan mewarnai kehidupan sampai akhir zaman.
Praktik macam itu tentunya
disebabkan beragam hal, setidaknya dua penyebabnya. Semula kiranya bagian dari
efek lanjutan dari mentalitas suka menerabas. Dalam hal ini, Eyang
Koentjaraningrat pernah mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan,
Mentalitas dan Pembangunan (1983), tentang masyarakat yang gampang dihinggapi
perilaku suka menerabas dalam pembangunan. Tingkah polah yang mengambil jalan
pintas dalam mencapai keinginan, meski dengan menerabas pranata sosial maupun
ketentuan hukum positif.
Wujudnya telah sering
dijumpai pada keseharian. Demi pencapaian tertentu, orang-orang menghalalkan
segala cara dengan terabas sana-sini. Pertimbangan kemaslahatan terlebih menyangkut
kepentingan sesama kerap diabaikan seenak udel sendiri. Bahkan,
pengabaian yang terus berulang kemudian seakan ndak memedulikan hajat
hidup orang banyak. Orientasi meraup keuntungan yang juga diimpikan akan
membuahkan gelimang kekayaan dalam sekejap yang selalu dijadikan tolok ukur
kesuksesan, lagi-lagi merupakan hal terpenting.
Efek turunan mentalitas
suka menerabas tersebut lantas bersenyawa dengan kecenderungan pemenuhan
beragam kebutuhan secara instan. Bukan rahasia lagi, masyarakat cenderung
konsumtif hingga acap terkesan meremehkan persoalan mutu, kebermanfaatan dengan
skala prioritas, bahkan keselamatan diri. Seolah-olah pokoke kebutuhan
terpenuhi, urusan lain-lain mah belakangan.
Keduanya tanpa disadari
lalu menautkan permintaan dan suplai. Polanya yang berlangsung lama membuat
antara baik dan buruk, maslahat dan mudarat serta benar dan salah; dalam banyak
hal pada gilirannya mengesankan sulit dipilah. Jangan heran, bila turut memacu
antara lain ihwal dan keluaran barang-barang palsu selanjutnya. Dengan perkataan
lain, serangkaian fakta mengenai apapun yang beraroma palsu, sejatinya berawal
dari perbuatan kita sendiri yang kemudian menjadi mentalitas. Entah sampai kapan akan
berhenti, ketika ”revolusi mental” pun digaungkan sebagai jargon pemerintahan Jokowi kini. Ujung-ujungnya bisa jadi sampean ini asli atau palsu? Hayooo...